Kronologis Kerusuhan Ambon (Sept 1999)
|
KRONOLOGIS KERUSUHAN MALUKU (AMBON)(Bagian Pertama) Yayasan Salawaku
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang terjadi sejak bulan Januari 1999 hingga saat ini telah memasuki periode kedua, yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah membawah penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya. Kerusuhan Ambon (Maluku) yang semula menurut pemahaman kalangan masyarakat awam sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak/peristiwa kriminal biasa, ternyata berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan adalah merupakan sebuah rekayasa yang direncanakan oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan mempergunakan isu SARA dan beberapa faktor internal didaerah (seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi dibidang pemerintahan dll) untuk melanggengkan skenario yang ditetapkan. Begitu matangnya rencana yang dilakukan yang diikuti dengan berbagai penyebaran isu yang menyesatkan, seperti adanya usaha-usaha dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) yang sengaja diidentifisir dengan Republik Maluku Serani (Kristen), adanya usaha untuk membantai umat Islam di Maluku, keterlibatan preman Kristen Jakarta, isu pemasokan senjata kepada umat Kristen di Maluku dari Israel dan Belanda, serta berbagai isu menyesatkan lainnya telah menimbulkan semakin kuat dan mengentalnya sikap dan prilaku fanatisme terhadap masing-masing agama (Islam dan Kristen). Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan ABRI untuk mengklarifikasi isu-isu yang tidak bertanggung jawab tersebut ternyata tidak mampu meredam kekuatan dari mereka yang menginginkan agar kerusuhan Ambon (Maluku) terus diperpanjang dan diperluas. Penciptaan kondisi ini semakin menguat ketika ABRI (TNI dan Polri) telah dengan sengaja ikut menciptakan konflik yang berkepanjangan melalui penanganan pengendalian keamanan yang tidak profesional dan terkesan bertendensi mengipas-ngipas agar kerusuhan di Maluku tak kunjung selesai. Peranan Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Militer serta komponen bangsa lainnya yang ada di daerah melalui berbagai upaya rekonsiliasi untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai hanya bersifat "semu" belaka. Satu dan lain hal disebabkan karena tidak ada kemauan yang transparan dalam upaya menyelesaikan pertikaian, juga upaya rekonsiliasi lebih bersifat Top Down dan bukan Bottom Up. Sejauh mana kebenaran dari pikiran-pikiran di atas, berikut kami dari YAYASAN SALA WAKU MALUKU sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) lokal mencoba menurunkan rangkuman kronologis peristiwa kerusuhan di Maluku (Ambon) yang diperoleh berdasarkan hasil investigasi di lapangan.
Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali dengan terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda Kristen asal Ambon yang bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dengan seorang pemuda Islam asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan dan sering melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" ) khususnya terhadap setiap sopir angkot yang melewati jalur Pasar Mardika – Batu Merah. Saat itu tanggal 19 Januari 1999, masih dalam hari raya Idul Fitri (hari kedua), pemuda Bugis NS bersama temannya seorang pemuda Bugis lain bernama T, melakukan pemalakan di Batu Merah terhadap pemuda Kristen J.L selama beberapa kali ketika J.L mengendari angkotnya dari jurusan Mardika – Batu Merah. Namun permintaan kedua pemuda Bugis tersebut tidak dilayaninya, karena J.L belum mempunyai uang, mengingat belum ada penumpang yang dapat diangkutnya, karena hari itu hari raya Idul Fitri. Permintaan dengan desakan yang sama dilakukan oleh pemuda NS hingga kali yang ketiga saat pemuda Ambon J.L berada di terminal Batu Merah, malah pemuda Bugis NS tidak segan-segan mengeluarkan badiknya untuk menikam pemuda Ambon J.L. Untunglah J.L sempat menangkisnya dengan mendorong pintu mobilnya. Merasa dirinya terancam, pemuda J.L langsung pulang ke rumahnya mengambil parang (golok) dan kembali ke terminal Batu Merah. Disana ia masih menemukan pemuda Bugis NS bersama temannya T. Ia kemudian memburunya, dan NS kemudian berlari masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. NS kemudian ditahan oleh warga Batu Merah, dan ketika ia ditanya apa permaslahannya, maka ia (NS) menjawab bahwa, "ia akan dibunuh oleh orang Kristen". Jawabannya ini kemudian yang memicu kerusuhan Ambon, dengan munculnya warga Muslim dimana-mana untuk menyerang warga Kristen dan sebaliknya juga warga Kristen yang muncul untuk mempertahankan diri. Beberapa saat berselang atau sekitar 5 menit setelah peristiwa saling kejar-mengejar antara pemuda Muslim asal Bugis, NS dengan pemuda Kristen asal Ambon J.L, seperti ada komando, kerusuhan akhirnya pecah dimana-mana dalam kota Ambon. Kira-kira jam 15.00 WIT ratusan masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah (lokasi dimana pemuda Bugis NS dikejar dan berteriak akan dibunuh oleh oleh orang Kristen) bangkit menyerang warga Kristen di kawasan Mardika (tetangga desa Batu merah) dengan menggunakan berbagai alat tajam (parang, panah, tombak dan lain-lain) dengan seragam dan berikat kepala putih. Mereka sempat melukai, merusak dan mebakar rumah-rumah warga Kristen Mardika. Demikian juga pada waktu yang bersamaan, beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, Silale dan Waihaong ikut diserang oleh kelompok penyerang Muslim. Beberapa orang warga Kristen terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja yang terletak di kawasan Silale dirusak dan akhirnya dibakar oleh masa. Dari lokasi-lokasi ini, kerusuhan berlanjut terus dan hanya berbeda waktu beberapa menit dari lokasi ke lokasi yang lain. Warga Kristen yang mendiami lokasi Batu Gantung , Kudamati dan sekitarnya setelah mendengar penyerangan yang dilakukan oleh masa Muslim terhadap warga Kristen di Mardika, Galunggung, Kampung Ohiu, Waihaong dan Silale serta mendengar gereja Silale telah terbakar, bangkit amarahnya dan memberikan serangan balasan terhadap warga Muslim melalui pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah di kawasan Batu Gantung dan Kompleks Pohon Beringin, serta melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap berbagai kendaraan seperti becak, sepeda motor dan mobil. Setelah terjadi kerusuhan pada beberapa lokasi seperti tersebut di atas yang berlangsung sejak siang hingga menjelang malam tanggal 19 Januari 1999, maka memasuki malam hingga pagi hari tanggal 20 Januari 1999, suasana terasa semakin mencekam dengan semakin berkembangnya isu telah terjadi pertikaian antar sesama warga Ambon (Maluku) yang bernuansa SARA, terutama diantara kelompok yang beragama Kristen dan Muslim. Beberapa lokasi di dalam wilayah kota Ambon terus berkecamuk. Di lokasi Pohon Puleh, Tugu Trikora dan Anthony Rhebok hingga tengah malam tanggal 19 januari 1999, terlihat masa diantara kedua kubu saling berhadap-hadapan dan mencoba untuk saling melakukan penyerangan dengan pelemparan batu yang diteruskan dengan pengrusakan dan pembakaran sejumlah rumah diantara kedua belah pihak, pembakaran kendaraan (becak, sepeda motor dan mobil) dan pembakaran sebuah sekolah Al Hilal di Jl. Anthony Rhebok. Sementara itu di kawasan Batu Merah Tanjung yang dihuni oleh mayoritas warga Muslim, terjadi pengrusakan, pembakaran terhadap rumah-rumah dan pembantaian terhadap beberapa warga Kristen. Di lokasi inipun sebuah gereja sempat dirusak kemudian dibakar oleh masa Muslim. Sedangkan di lokasi Puleh (Karang Panjang) warga Kristen sempat merusak dan membakar rumah-rumah warga Muslim, demikian juga sebuah mesjid yang terletak di lokasi ini. Menjelang pagi hari tanggal 20 Januari 1999, terjadi penyerangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh warga Kristen terhadap kompleks Pasar Gambus, kompleks Pasar Mardika dan kompleks Pasar Pelita yang berada di tengah-tengah jantung kota. Penyerangan ini dimulai dengan kosentrasi masa Muslim disekitar Jl. A. J. Patty menuju ke lapangan Merdeka Ambon yang diduga akan melakukan penyerangan ke gereja Maranatha (gereja Pusat Ambon). Masa Kristen yang berada di sekitar kompleks gereja Maranatha merasa terancam, akhirnya melakukan penyerangan ke lokasi tersebut yang merupakan daerah yang mayoritas dihuni oleh warga muslim dengan jalan membakar habis kompleks tersebut. Diperkirakan banyak korban yang meninggal, karena terjebak kebakaran yang hingga saat ini sulit teridentifikasi. Pecahnya kerusuhan Ambon tanggal 19 Januari 1999 akhirnya melebar keluar kota Ambon. Pada tanggal 20 Januari 1999, kira-kira jam 09.00 WIT, warga Muslim jazirah Leihitu yang terletak bagian barat dan utara Pulau Ambon mulai bergerak dengan sasaran menuju kota Ambon. Menurut data yang ditemukan di lapangan , tujuan mereka bergerak menuju kota Ambon karena adanya isu yang tidak benar bahwa mesjid Al-Fatah di kota Ambon telah dibakar oleh orang-orang Kristen. Selain itu juga ada data yang mengungkapkan bahwa tujuan mereka ke Ambon adalah dalam rangka silahturahmi berkenan dengan hari raya idul fitri. Namun apapun alasan yang dibuat oleh mereka, ternyata semuanya hanya untuk membela diri, karena cukup bukti yang ditemukan di lapangan bahwa setelah terjadinya kerusuhan tanggal 19 Januari 1999 di kota Ambon, telah terjadi kontak antara umat Muslim kota Ambon dengan umat Muslim jazirah Leihitu untuk melakukan penyerangan terhadap desa-desa Kridten yang berada di sekitarnya maupun yang menuju arah kota Ambon. Bukti-bukti di atas didukung pula dengan adanya fakta bahwa dalam waktu yang relatif singkat, seluruh warga Muslim jazirah Leihitu dapat dikumpulkan, pada hal jarak antara desa yang satu dengan yang lainnya cukup berjauhan. Pada saat penyerangan, mereka telah menggunakan simbol-simbol tanda pengenal khusus (baju seragam dan ikat kepala putih) serta membawah alat tajam seperti parang, panah, tombak dan bom yang cukup banyak. Malah strategi penyerangan yang dilakukan cukup sistimatis dan terencana. Menurut data yang ditemukan di lapangan saat terjadinya penyerangan, pasukan Muslim yang menyerang desa-desa Kristen tersebut terdiri dari 3 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok pengusir yang menggunakan bom rakitan, kelompok kedua adalah kelompok penjarah dan kelompok ketiga adalah kelompok perusak dan pembakar rumah-rumah warga sekaligus melakukan pembersihan dalam bentuk pembantaian terhadap warga Kristen yang ditemukan. Ketika mereka mulai bergerak pada tanggal 20 Januari 1999, sedikitnya ada 3 pasukan penyerang. Pasukan pertama terdiri dari warga Muslim desa Hitu, Mamala, Morela dan sebagian lagi warga Desa Wakal yang melakukan penghancuran terhadap warga Desa/Dusun Kristen Telaga Kodok, Benteng Karang, Hunuth/Durian Patah, Waiheru, Nania dan Negeri Lama. Operasi penyerangan yang mereka lakukan sejak pagi hingga sore hari tanggal 20 Januari 1999, sempat membumihanguskan perkampungan di atas, merusak, membakar, menjarah rumah-rumah dan harta milik serta melukai dan membunuh sejumlah warga Kristen yang ditemui. Dari data yang ada ratusan rumah dirusak, dibakar dan dijarah. 5 buah gereja dibakar habis (3 buah di Benteng Karang, 1 buah di Nania, 1 buah di Negeri Lama), 1 buah sekolah dibakar, kurang lebih 25 orang dibunuh, termasuk salah seorang pendeta yang baru selesai berdoa di gereja Nania, yaitu Pdt. THYSEN dan mayatnya kemudian dibakar, ratusan warga dilukai serta sebagian besar harta benda milik warga, dijarah dan diangkut dengan mobil-mobil truck. Tragisnya lagi dari kurang lebih 20 warga Kristen yang dibunuh di dusun Benteng Karang, 15 diantaranya kemudian dibakar dan salah satunya adalh Ny. RINA SERPIELA, ibu hamil (6 bulan) dibunuh dengan cara membelah perutnya kemudian janinnya dikeluarkan dan dibakar bersama mayat ibunya. Peristiwa ini disaksikan sendiri oleh suaminya YOPY SERPIELA. Sedangkan anaknya yang berusia 2 tahun sempat diculik dan dijadikan tameng oleh penyerang dari lemparan batu warga Kristen yang bertahan. Seorang pendeta dari gereja Sidang Jemaat Allah yang bersama-sama dengan beberapa orang tua, wanita dan ank-ank juga sempat dibom oleh penyerang, saat mereka bersembunyi di sebuah goa di Dusun Benteng Karang, untunglah bom tersebut tidak meledak. Pasukan kedua terdiri dari warga Muslim Desa Wakal yang melakukan pengrusakan, pembakaran dan pembantaian terhadap warga Kristen yang berada di sekitarnya hingga ke arah Desa Hitu dari arah timur hingga ke Desa Hila. Mereka merusak, membakar dan menjarah rumahdan harta milik warga Kristen. Malah di Desanya sendiri- Desa Wakal - mereka sempat membantai seorang pendeta yaitu MECKY SAINYAKIT dan sopir truck DIRK MATAHERU yang saat itu menggunakan mobil truck dari arah Desa Hila menuju desa Wakal untuk mencari angkutan bagi rombongan Bible Camp GKPB yang akan pulang ke Ambon. Setelah selesai mebunuh pendeta dan sopir mobil tersebut, mereka kemudian menuju ke kompleks Field Station Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, dimana anggota jemaat dari sang pendeta sedang bersiap-siap pulang ke Ambon setelah melakukan kegiatan Bible Camp. Rombongan yang sebagian besar anak-anak dan wanita itu (kurang lebih 100 orang) kemudian diserang dan dibantai. Beberapa orang anak sempat melarikan diri dengan cara berenang ke laut dan masuk hutan. Mereka kemudian ditolong oleh warga Muslim asal Buton dan beberapa penduduk Muslim lainnya, kemudian dievakuasi melalui hutan (gunung) ke Desa Hative Besar dan Poka /Rumahtiga. Sebagian yang lain memilih tetap tinggal akhirnya disiksa, dilukai dan 4 (empat) orang dibunuh dan kemudian mayatnya dilempar dan ditinggalkan begitu saja di dalam got. Dalam peristiwa ini seorang pemuda Kristen yang bernama ROY PONTOH sempat dibunuh karena ketika ditanya "kamu siapa", ia menjawab "saya tentara Allah" secara berulang kali kepada para pembantainya. Pasukan ketiga terdiri dari warga Muslim Desa Hila Islam yang melakukan penyerangan terhadap Desa Hila Kresten dan pembantain terhadap 8 (delapan) orang warga Kristen asal Desa Ulath Pulau Saparua yang sementara membersihkan kebunnya di hutan Desa Hila Islam. Menurut data yang peroleh di lapangan beberapa saat setelah terjadi penyerangan dan pembantaian pasukan pertama dan pasukan kedua di lokasi-lokasi yang disebut di atas, warga Desa Hila Islam menyerang dan membumi hanguskan Dusun Hila Kristen yang sebenarnya dari segi adat istiadat dan budaya masih mempunyai hubungan keluarga. Penyerangan ini mengakibatkan seluruh rumah-rumah warga Kristen di Dusun ini terbakar termasuk 1 (satu) buah Gereja tua yang mempunyai nilai sejarah, 1 (satu) orang dibunuh dan dibakar serta 2 (dua) orang lainnya mengalami luku-luka. Warga Kristen Dusun ini terpaksa harus mengungsi dengan berjalan kaki melewati gunung (ada yang sampai dua hari perjalanan untuk tiba ditempat pengungsian yaitu Desa Hative Besar).v Dalam perjalanan pengungsian ini mereka juga ditolong saudara-saudaranya dari Desa Kaitetu yang beragama Muslim. Kerusuhan demi kerusuhan di Pulau Ambon pada akhirnya bersangkut paut dengan sikap toleransi warga yang berdomesili di Pulau Ambon. Sementara isu pertikaian yang bernuasa SARA semakin dipertajam sehingga menimbulkan panatisme antara masing-masing umat beragama. Berkenaan dengan itu maka pada tanggal 21 Januari 1999 warga Kristen yang berdomisili di Batu Gajah Dalam mendengar terbunuhnya 2 (dua) orang pendeta dan pembakaraan beberapa buah gereja dalam penyerangan yang dilakukan oleh warga Muslim dari jasirah Leihitu kemudian bangkit menyerang warga Muslim Dusun Batu Bulan dan membantai sejumlah warganya. Dari data di lapangan terungkap 150 buah rumah dibakar/dirusak, 5 (lima) orang dibunuh dan 1 (satu) buah Mesjid terbakar. Demikian juga pada tanggal yang sama warga Kristen yang berdomesili di Batu Gantung Dalam (Kampung Ganemo), Mangga Dua, Kudamati ikut melakukan penyerangan terhadap warga Muslim yang berada di sekitarnya. Dalam penyerangan ini 8 (delapan) orang meninggal dunia.. 5 (lima) orang warga Muslim diantaranya dibantai kemudian dibakar bersama mobil truk yang mengangkutnya di kawasan Mangga Dua karena diduga sebagai propokator dan membawa bahan peledak. Sementara itu di kawasan Desa Hative Besar Kotamadya Ambon terjadi penyerangan dari warga Muslim asal Buton, Bugis dan Makasar dari Dusun Wailete yang berada di bawah wilayah Desa Hative Besar yang mengakibatkan puluhan rumah warga Kristen Desa Hative Besar terbakar. Peristiwa ini selain dipicu oleh dampak kerusuhan Ambon tanggal 19 Januari 1999, juga diakibatkan oleh dendam lama yaitu peristiwa kerusuhan yang terjadi pada bulan Nopermber 1998. Tindakan penyerangan warga Dusun Wailete tersebut dibalas oleh warga Kristen Desa Hative Besar yang membakar habis lokasi pemukiman mereka. Akibat Peristiwa ini ratusan rumah terbakar dan 4 (empat) orang Warga Muslim Meninggal, 1 buah Mesjid dan 1 buah Mushola terbakar. Begitu liciknya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang tidak menginginkan kedamaian di Maluku, akhirnya mereka mampu memprovokasi isu SARA dalam kerusuhan Ambon yang semakin mengental di kalangan masyarakat. Selain faktor di atas semakin terasa dikembangkan pula isu-isu yang tidak benar di kalangan umat Muslim di luar pulau Ambon seperti telah terbakarnya Mesjid Al-Fatah yang merupakan pusat kebanggaan umat Muslim di Maluku, terbakarnya rumah dan terbunuhnya beberapa tokoh Muslim di kota Ambon yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Isu-isu yang tidak benar ini, akhirnya keluar dari wilayah pulau Ambon. Serentak dengan itu umat Muslim di kota Sanana (Kabupaten Maluku Utara) bangkit dan menyerang kelompok minoritas Kristen di kota Sanana dan sekitarnya pada tanggal 21 Januari 1999 tengah malam. Puluhan rumah dan bangunan dirusak dan dibakar termasuk 4 (empat) buah Gereja serta 3 (tiga) orang warga Kristen dibunuh oleh masa dan 6 (enam) orang lainnya (3 orang warga Kristen dan 3 orang warga Muslim) mengalami luka-luka. Demikian juga 24 Kepala Keluarga minoritas Kristen yang tinggal di Dusun Papora, Desa Luhu (beragama Muslim) Kecamatan Seram Barat Piru dibumi hangsukan oleh warga Desa Luhu. Rumah-rumah dan harta benda mereka dibakar habis termasuk 2 (dua) buah Gereja. Mereka terpaksa lari ke hutan-hutan untuk melindungi diri selama beberapa hari, sebelum akhirnya dengan menempuh jalan kaki berkilo-kilo meter, akhirnya tiba di Desa Lokki (sebuah Jemaat Kristen) dan mengungsi di situ. Sayangnya Desa Lokki ini juga telah dibumi hanguskan oleh kelompok Muslim pada kerusuhan periode kedua yang dimulai pada pertengahan bulan Juli 1999, sehingga akhirnya pengungsi asal Dusun Papora ini bersama-sama warga Kristen Desa Lokki harus menempuh jalan hidup baru dengan mengungsi ke Desa Piru (ibu kota Kecamatan Seram Barat). Nasib malang ini juga ikut dialami oleh warga Kristen Desa Tomalehu Timur di pulau Manipa (Kecamatan Seram Barat). Desa Tomalehu Timur yang merupakan satu-satunya Desa Kristen di pulau ini ikut dibumi hanguskan oleh warga Muslim dari Desa Kelang Asaude, Hasaoi, Luhutubang, Aman Jaya, Tuniwara dan Buano Hatuputih. Semula mereka sempat dilindungi oleh warga Muslim Desa Tomalehu Barat yang mempunyai hubungan Gandong (dari satu moyang hanya berbeda agama). Namun upaya perlindungan ini tidak membuahkan hasil, karena kelompok Muslim Desa tetangga lainnya yang menyerang warga Kristen Tomalehu Timur berada dalam jumlah yang cukup banyak. Desa ini akhirnya dibumi hanguskan pada tanggal 25 Januari 1999 jam 04.00 WIT. Seluruh rumah dan bangunan dibakar habis termasuk 1 (satu) buah gedung Gereja, 1 (satu) orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang lainnya mengalami luka berat. Sama halnya dengan Dusun Papora, warga Kristen Desa Tomalehu Timur ini merupakan kelompok minoritas yang berada di tengah-tengah kelompok mayoritas Muslim. Ketika terjadinya penyerangan terhadap mereka, jalan satu-satunya yang mereka tempuh adalah lari masuk ke hutan untuk menyelamatkan diri, sebelum mereka dievakuasi oleh aparat keamanan dan diungsikan ke Desa Tomalehu Barat (Desa Muslim) yang merupakan Desa Gandong mereka. Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tomalehu Barat, perasaan was-was selalu menghantui mereka karena hampir setiap hari mereka mendapat ancaman dari Desa-Desa penyerang untuk dihabisi. Akhirnya atas koordinasi dengan aparat keamanan dan tanpa memikirkan bagaimana masa depan mereka, mereka dievakuasi dengan kapal TNI Angkatan Laut pada akhir bulan Pebruari 1999 ke kota Kecamatan Piru. Di lokasi pengungsian yang baru ini mereka diterima oleh warga Kristen pada beberapa Jemaat/Desa di antaranya : Piru, Neniari, Lumoli, Translog Mata Empat, Eti dan Morakao.
----Bersambung----
|
|