Setelah kurang lebih 2 (dua) bulan lebih secara berturut-turut terjadi
kerusuhan di Maluku, yang dimulai sejak tanggal 14 dan 15 Januari 1999 di Dobo Maluku
Tenggara, tanggal 19 Januari 1999 dan seterusnya di pulau Ambon, Sanana (Maluku Utara),
pulau Manipa, pulau Seram, kepulauan Lease (Haruku, Saparua dan Nusalaut), Banda (Maluku
Tengah), Saumlaki (Maluku Tenggara), maka frekwensi kerusuhan menurun setelah terjadinya
kerusuhan besar di sekitar Benteng Atas, Pohon Puleh, Air Mata Cina, Urimeseng dan Tantui
yang berlangsung dari tanggal 10 s/d 13 Maret 1999.
Turunnya frekuensi kerusuhan tersebut terlihat dengan munculnya
kesadaran masyarakat, untuk menyerahkan puluhan ribu senjata tajam seperti parang, tombak,
panah, anak panah, katapel, bom rakitan dan lain-lain sebagainya kepada aparat keamanan
dan berbagai kegiatan lainnya menuju perdamaian.
Namun menurunnya frekuensi kerusuhan di Pulau Ambon dan sekitarnya itu
tidak diikuti dengan aksi para provokator yang ternyata hingga saat ini masih terus
beraksi dengan menggunakan isu-isu yang tidak benar, yang ingin menghancurkan seluruh
tatanan kehidupan masyarakat di daerah seribu pulau ini.
Hal ini terbukti ketika pada hari Rabu, tanggal 31 Maret 1999 terjadi
kerusuhan secara besar-besaran di kota Tual Maluku Tenggara, yang menurut informasi
terakhir hari ini Selasa, 6 April 1999 telah melebar hingga ke Kei Besar (di luar kota
Tual - Kei Kecil).
Kondisi terakhir belum memungkinkan untuk melakukan investigasi, guna
mendapatkan data-data yang akurat, tentang kerusuhan tersebut.
Namun dari informasidi lapangan dapat disampaikan beberapa hal sebagai
berikut :
Kerusuhan di Kota Tual (Maluku Tenggara) tidak dapat dilepaskan dari
kerusuhan di daerah-daerah lain di Maluku yang pada umumnya bernuansa SARA.
Kerusuhan yang menyebabkan tindakan saling menyerang antara warga yang
beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen telah diikuti pula dengan tindakan
penculikan dan pembunuhan. Hal mana terbukti pada peristiwa yang terjadi atas diri korban FRITS
PATTIANAKOTTA dan ELISA TOISUTA pada hari minggu, tanggal 4 April 1999 di depan
toko ABC jalan Mayor Abdullah, Tual. Saat itu FRITS dan ELISA akan mengantar keluarga
FRITS yang akan berangkat dengan KM Bukit Siguntang ke Ambon. Namun walaupun berada di
depan aparat keamanan, korban sempat diambil dan kemudian dibantai hingga meninggal dunia.
Dikhabarkan keluarga korban (istri dan anaknya) hingga kini masih disekap oleh penculik.
Hal yang sama juga terjadi atas diri korban FRANSISCUS RUMANGUN saat turun dari KM
Bukit Siguntang, ia langsung dibantai di atas dermaga, kemudian dalam keadaan krisis di
Rumah Sakit Hati Kudus Langgur dan akhirnya meninggal dunia.
Pada kerusuhan yang terjadi hari sabtu, tanggal 3 April 1999
dikhabarkan seorang Pendeta dari Gereja BETHANI Tual BUCE HEHANUSA bersama anaknya
dan 2 (dua) orang pelayannya ikut dibunuh, disamping korban jiwa lainnya (meninggal dan
luka-luka) maupun ratusan rumah penduduk, gedung-gedung pemerintah dan swasta musnah
dibakar.
Kerusuhan di Kota Tual dengan cepat melebar ke daerah-daerah pinggiran,
seperti pada hari minggu, tanggal 4 April 1999 terjadi pembakaran atas sejumlah rumah di
Desa Debut (bagian selatan kota Tual). Sedangkan di ELAT (Kecamatan Kei Besar) terjadi
penyerangan warga Desa Wartahait terhadap warga desa ELAT yang menyebabkan 2 orang
meninggal dunia dan 2 buah rumah dibakar massa. Selain itu di Desa Larat (Kecamatan Kei
Besar), desanya Bupati Kepala Daerah Tingkat II Maluku Tenggara terjadi kerusuhan
besar-besaran yang menyebabkan hampir seluruh rumah penduduk terbakar habis serta puluhan
korban meninggal dan luka-luka. Malah hingga Senin pagi, tanggal 5 April 1999 di atas
reruntuhan rumah-rumah di Desa Larat (Kei Besar) masih ditemukan puluhan mayat manusia
yang terbakar dalam kerusuhan di Desa tersebut, yang ternyata sudah sulit diidentifikasi.
Dikhabarkan aparat keamanan yang ikut mengamankan kerusuhan berlaku
tidak adil dan memihak pada golongan tertentu yang menyebabkan jatuhnya korban (meninggal
dan luka-luka) akibat tembakan petugas.
Jumlah pengungsi yang ditampung di tempat-tempat penampungan
diperkirakan kurang lebih 25.000 orang, belum termasuk warga yang terpaksa meninggalkan
Kota Tual dengan tujuan, Ambon, Sulawesi dan Pulau Jawa yang merasa tidak aman untuk
tinggal di kota Tual dan sekitarnya. Ratusan rumah penduduk, berbagai fasilitas umum
lainnya musnah terbakar, jumlah korban meninggal kurang lebih 60 orang dan ratusan orang
luka-luka (berat maupun ringan).
Dikuatirkan para pengungsi akan mengalami kelaparan, karena walaupun
jatah beras untuk kota Tual dan sekitarnya dijamin cukup untuk beberapa bulan mendatang,
namun dikhabarkan gudang Dolog yang berada di kota Tual kini dikuasai oleh salah satu
kelompok, di antara kelompok yang bertikai, malah kelompok tersebut mengancam akan
membakar gudang Dolog tersebut.
Diperkirakan kerusuhan di kota Tual ini akan melebar ke daerah yang
berada di sekitarnya, apabila aparat keamanan tidak bertindak tegas dan memihak kepada
salah satu kelompok, seperti yang terjadi pada saat ini. Apalagi sesuai informasi dari
lokasi kejadiaan telah terjadi mobilisasi massa dari pulau-pulau yang ada di sekitarnya
menuju kota Tual.
Kerusuhan Tual ini kini telah memasuki hari keenam dan warga masyarakat
masih tetap berada dalam keadaaan was-was.
HENGKY HATTU - YAYASAN SALA WAKU MALUKU