Tentu saia mendirikan organisasi tanpa restu pemerintah
-karena yang diakui pemerintah hingga saat ini sebagai organisasi
buruh hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)- mengandung
risiko besar. Itu sangat saya sadari! Banyak pihak anti SBSI.
Walaupun demikian saya berjanji tidak akan membubarkan SBSI,
kecuali atas permintaan anggota. Dari ancaman, bujukan sampai
tawaran sudah saya hadapi, tapi tetap akan saya lakukan.
Risiko yang saya alami bukan sekedar 'gertak sambel'. Nyawa
saya pernah hampir melayang. Seseorang meminta supaya saya mele-
paskan kaum buruh. Saya menolak, karena yang saya lakukan adalah
perintah Tuhan. Saya katakan padanya, "Saya lakukah ini bukan
untuk perutku, tapi perut orang banyak. Sebaliknya, kamu lakukan
ini demi perutmu. Kalau kau tembak dan saya mati, maka saya pasti
berada di surga. Dan saya berterima kasih padamu. Namun bila
belum saatnya Tuhan panggil, saya tidak akan mati. Dan peristiwa
ini akan membuat kau dan lembagamu rusak!".
Selain itu, dukungan dan pengertian keluarga saya sangat
besar. Isteri saya, Rosintan Marpaung, sangat begar peranannya.
Ia lebih pengasih dari saya. Hal ini terbukti dari tegurannya.
Suatu ketika saya menggerutu karena ada buruh yang datang meminta
makan dan transport. Isteri saya justru marah melihat sikap saya.
Amsal 31 ternyata benar. Saya tidak mungkin sekuat ini tanpa
dorongannya.
Anak-anak pun sangat memahami dan bangga terhadap ayahnya.
Kebanggaan itu mungkin karena di sela-sela libur, saya selalu
mengajak mereka mengikuti pertemuan kaum buruh. Sehingga dialog
berlangsung natural. Bila melihat kenyataan yang dihadapi para
buruh, dari mulut mereka sering terlontar kata-kata, "Kasihan,
ya!" Bahkan ketika menyaksikan penggusuran di sekitar rumah,
mereka mendorong orang-orang yang tergusur mengadu supaya saya
bela. Proses sosialisasi seperti itu memang sudah saya lakukan
sejak mereka dulu. Bila saya menghadapi risiko, seperti diintero-
gasi, mereka tidak kaget lagi.
Hal lain yang tidak dapat kami abaikan adalah doa bersama
sebelum tidur. Dalam doa, kami selatu memohon supaya Tuhan mem-
persiapkan kami menghadapi risiko yang ada. Dari doa dan firman-
Nya membuat kami mengerti bahya untuk menyatakan kebenaran harus
berani memikul risiko. Saya sendiri melihat risiko sebagai kehen-
dak-Nya. Bila saya harus mati, saya yakin keluarga saya tetap
dalam pemeliharann-Nya.
[Prev: Process Penyadaran] [Next: Penjara dan Iman] [Main Page]
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net]