Date: Mon, 27 Jan 1997 09:13:20 +1100 (EST) From: indonesia-p@igc.apc.org Mime-Version: 1.0 Subject: IN: KMP - Situbondo dan Tasikmalaya: Bukan Ditunggangi To: apakabar@clark.net INDONESIA-P Kompas Online Senin, 27 Januari 1997 _________________________________________________________________ Situbondo dan Tasikmalaya: Bukan Ditunggangi Oleh Sarlito Wirawan Sarwono MENJELANG akhir tahun 1996 republik Indonesia diguncangkan oleh berbagai kerusuhan massal. Dua di antaranya adalah kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya. Keduanya menimbulkan korban besar: sejumlah warga tewas, toko-toko, kendaraan bermotor dan gereja (di Situbondo ditambah dengan sekolah-sekolah Kristen) dibakar atau dirusak. Penjelasan yang klasik dari para petugas, pejabat, pengamat dan pakar ada dua yaitu: penunggangan (ada PKI, organisasi tanpa bentuk, ekstrem kanan atau ekstrem kiri atau LSM tertentu di belakang kerusuhan itu) dan kesenjangan (kesenjangan sosial antara kaya dan miskin menyebabkan massa frustrasi dan akhirnya mudah terpancing untuk berbuat kerusuhan). Kedua jawaban ini mungkin ada benarnya, akan tetapi ketika peristiwa-peristiwa sejenis terjadi berulang dan berulang lagi dan penjelasannya hanya itu-itu saja maka patut dipertanyakan kebenaran penjelasan itu. Jangan-jangan penjelasan itu hanya klise saja. Malah mungkin hanya sekadar mencari kambing-hitam agar kesalahan tidak ditujukan pada orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Karena itu ada baiknya jika kita coba untuk mengkaji lebih mendalam apa sebetulnya yang mendasari kerusuhan-kerusuhan itu, khususnya yang terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya. *** KEDUA kota itu terletak berjauhan (Jawa Timur dan Jawa Barat) dengan struktur sosial-ekonomi yang juga berbeda (yang satu Jawa, yang lain Sunda dan yang satu pertanian sedangkan yang lain industri kecil). Tetapi ada satu persamaan yaitu keduanya merupakan pusat-pusat pesantren yang kuat yang dengan sendirinya berkaitan erat dengan kuatnya tradisi keagamaan (Islam) di kedua daerah itu. Di pihak lain, terbukti bahwa pemicu kerusuhan di kedua kota itu bukan masalah antar agama. Di Situbondo awalnya adalah gugatan keluarga seorang Kiai yang merasa dihina oleh keponakannya sendiri dan keponakan itu dihukum hanya lima tahun, sementara masa pendukungnya menuntut hukuman yang jauh lebih berat. Maka dirusaklah ge-dung pengadilan negeri. Di Ta-sikmalaya, seorang anak Kopral polisi di hukum oleh guru agamanya di pesantren karena ulahnya yang nakal. Pak Kopral tidak terima dan mengajak konco-konconya (sesama oknum) untuk menahan dan menyiksa empat guru pesantren. Jelas massa menjadi marah pada polisi dan markas polisi di rusak. Tetapi yang unik adalah bahwa dari pengadilan negeri di Situbondo dan dari markas polisi di Tasikmalaya, massa di kota itu sama-sama cepat beralih sasaran, yaitu ke gereja-gereja, sekolah-sekolah Kristen (di Situbondo) dan toko-toko (yang konotasinya Cina dan Kristen). Jelaslah bahwa faktor pemicu yang non-agama beralih ke kerusuhan antar agama. Kalau ciri ikatan tradisional Islam di kedua kota itu dikaitkan dengan pola kerusuhan dari non-agama menjadi kerusuhan antar agama, maka bisa diperkirakan bahwa masalah intinya adalah masalah hubungan antar agama, sedangkan faktor penunggangan dan kesenjangan (dan mungkin juga faktor-faktor lain seperti pemilu dan sebagainya) hanya merupakan faktor pendukung saja. Sikap negatif antar agama ini (khususnya dari pihak Islam ke Kristen, bukan sebaliknya dan juga tidak pada agama-agama lain) nampaknya sudah seperti api dalam sekam. Kalau hal ini benar, maka kondisi di Indonesia sudah sangat gawat, karena api dalam sekam ini bisa merambat ke bagian-bagian Indonesia yang lain yang juga punya tradisi Islam yang kuat (dan daerah-daerah seperti ini sangat banyak di Indonesia), sehingga kerusuhan-kerusuhan bertema anti Kristen bisa meledak dan meledak lagi di waktu-waktu yang akan datang di tempat-tempat lain di Indonesia. Pada gilirannya (dan sekarangpun sudah mulai nampak misalnya di Timor-Timur), daerah-daerah yang mayoritas Kristen-pun akan mengembangkan sikap yang sama negatipnya terhadap Islam. Pada titik tertentu Pancasila sudah tidak dapat menjadi lem perekat rasa kebangsaan lagi karena dikalahkan oleh fanatisme agama. Akibatnya jelas: perpecahan (dan mungkin juga keruntuhan) republik Indonesia. *** TUMBUHNYA sikap anti-Kristen ini sebenarnya berawal dari perkembangan positip agama Islam sejak awal masa Orde Baru. Setelah menjadi kambing hitam dan sangat ditekan semasa Orde Lama yang didominasi golongan komunis dan sekuler, Islam (dan juga agama-agama lainnya di Indonesia) dikembangkan dengan upaya yang sangat maksimal. Pemerintah bukan hanya memberi dukungan mental (misalnya dengan mencantumkannya dalam GBHN), melainkan juga mengerahkan sejumlah dana yang besar untuk pembangunan tempat-tempat ibadah, pengembangan organisasi-organisasi keagamaan dan manajemen kehidupan beragama (ibadah haji, angkutan lebaran, angkutan Natal dan sebagainya). Akibatnya maka kehidupan beragama timbul makin subur. Di kalangan Islam hal ini ditandai antara lain dengan meningkatnya jumlah jemaah Haji dari tahun ke tahun, selalu penuhnya jemaah Jum'at walaupun jumlah masjid terus bertambah, berkembangnya majelis-majelis taklim, menjamurnya organisasi remaja masjid, pengajian ibu-ibu, sekolah-sekolah Islam (dari TK sampai perguruan Tinggi), makin populernya busana jilbab, makin kritisnya umat terhadap isu-isu keagamaan seperti keluarga berencana, makanan halal, perilaku musrik (misalnya: ziarah ke makam dan sebagainya) dan tentu saja makin menjamurnya pesantren-pesantren. Inti dari perkembangan Islam itu pada hakikatnya adalah kembali ke ajaran agama yang murni. Selama perkembangan ini hanya menyangkut kalangan umat Islam sendiri, (seperti busana jilbab, ziarah ke makam dan makanan halal) sebetulnya tidak ada masalah, bahkan boleh dikatakan sangat positip. Tetapi ketika perkembangan ini sudah melebar ke persoalan-persoalan antar agama, mulailah terjadi benturan-benturan yang berbahaya. Pada tahun 1973, menjelang lahirnya Undang-undang Perkawinan 1974, massa Islam berdemontrasi sehingga akhirnya sekarang ini sangat sulit (bahkan bisa dikatakan tidak mungkin) dilaksanakan perkawinan antar agama (akibatnya banyak yang kawin di luar negeri atau kumpul kebo saja). Sejak akhir tahun 1970-an mulai dipermasalahkan pemberian selamat Natal oleh orang Islam kepada orang Kristen. Kemudian lahirlah berbagai fatwa yang menyatakan bahwa perilaku pemberian selamat Natal haram hukumnya. Di lapangan timbul berbagai persoalan sosial: pejabat (termasuk menteri Agama) yang harus memberi selamat kepada masyarakat atau bawahan dipermasalahkan, menantu yang mertuanya kebetulan Kristen kebingungan, warga yang tetangga-tetangganya Kristen jadi salah tingkah dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya adalah isu Kristenisasi. Adanya menteri-menteri Kristen di kabinet dianggap Kristenisasi. Dibangunnya sebuah gereja di lingkungan RW setempat dianggap Kristenisasi. Terpilihnya ketua RW atau kepala kantor atau dekan atau rektor yang kebetulan Kristen dianggap Kristenisasi. Akhirnya berkembanglah sikap dan prasangka anti Kristen yang secara tidak disadari dan dengan segala itikad baik dikembangkan dan berkembang dalam masyarakat, khususnya yang erat pertaliannya dengan pesantren. Tidak mengherankan jika api dalam sekam itu lambat atau cepat menjalar ke mana. *** MASALAHNYA adalah bagaimana meredakan dan kalau bisa memadamkan api dalam sekam ini. Kiranya banyak pihak yang sudah mengusahakan pemadaman api kebencian antar agama itu. Ketua NU, KH Abdurrahman Wahid meminta maaf atas peristiwa Situbondo dan dengan tegas mengutuk peristiwa Tasikmalaya (bahkan intra umat pun beliau sudah menggalang hubungan baik dengan Dr Amin Rais yg Ketua Muhammadiyah). Ketua MUI, KH Hasan Basri berkali-kali menyerukan sikap terbaik umat Islam, yaitu: toleransi terhadap penganut agama lain. Menteri Agama, bahkan Presiden sendiri sudah menegaskan bahwa kerukunan umat perlu mendapat perhatian dan prioritas dari semua umat beragama di Indonesia. Tetapi lain di atas, lain pula di lapisan bawah. Para kiai dan ajengan di pesantren-pesantren, guru-guru agama di sekolah-sekolah, ustad-ustad di berbagai pengajian dan majelis ta'lim dan para da'i di masjid-masjid tetap saja mengembangkan sikap dan prasangka negatip terhadap agama lain dengan versinya masing-masing. Intinya adalah bahwa boleh toleran dalam hal-hal yang tidak prinsip, tetapi harus tegas (kalau perlu berjihad) dalam hal-hal yang prinsip. Dan perilaku-perilaku seperti tidak memberi selamat Natal atau tidak menjawab salam dari orang yang tidak seagama dianggap prinsip karena sesuai dengan akidah (berbagai ayat dan hadis bisa dikutip untuk mendukung pandangan ini) dan karenanya tidak boleh dilanggar. Tidak mengherankan jika lama-kelamaan sikap anti agama lain (khususnya Kristen karena dianggap sebagai ancaman yang paling kuat) mengendap dalam alam bawah sadar umat (baca: massa), sehingga ketika terjadi pemicu, apapun jenisnya, agresivitas umat langsung beralih sasaran, yaitu menyerang segala hal yang berkait dengan agama lain. Karena umat pada hakikatnya jauh lebih banyak mendengarkan (dan karenanya lebih percaya pada) kiai, ajengan, guru agama, ustad atau da'i-nya masing-masing dari pada mendengarkan Ketua NU, Ketua MUI, menteri Agama, bahkan Presiden, maka sudah saatnya dikembangkan program yang konkret (dengan dukungan dana, personil dan media massa yang besar) untuk meluruskan kembali pandangan-pandangan anti Kristen yang sudah telanjur menjadi api dalam sekam. Program Keluarga Berencana Nasional mungkin dapat dijadikan contoh, karena melalui program ini, pandangan tradisional umat Islam (dalam waktu kira-kira 10 tahun) menjadi pro-KB. Jadi program yang perlu segera diluncurkan pemerintah bisa dinamakan program KB juga, artinya program Kerukunan Beragama. * Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog, tinggal di Jakarta.