---------- Forwarded message ---------- Date: Sun, 22 Dec 1996 22:21:13 -0500 (EST) From: indonesia-l@igc.apc.org To: apakabar@clark.net Subject: IN: TIRAS - UU Kerukunan INDONESIA-L http://www.indonesian-society.com/obrolan/wei.htm Weinata Sairin, M.Th.: UU Kerukunan ---------------------------------------------- [Image] Agama-agama senantiasa mengajarkan perlunya diwujudkan sikap saling menghargai, saling mengasihi di antara sesama umat manusia. Dalam konteks itu, terminologi kerukunan dalam kehidupan agama-agama di Indonesia bukanlah sesuatu yang asing; sebab hal itu terkait erat dengan ajaran setiap agama. Kekristenan mengenal banyak sekali referensi Alkitab serta contoh-contoh tentang bagaimana suatu kehidupan yang rukun, yang saling menghormati, saling mengasihi, saling menolong menjadi hal pokok yang sepatutnya diwujudkan dalam kehidupan para pemeluk agama Kristen. Salahsatu inti pokok ajaran Kristen untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, merupakan titik tolak yang amat penting dalam melandasi pengembangan kehidupan yang rukun di antara umat beragama. Melalui referensi tersebut, pengembangan kerukunan mendapatkan legitimasi teologis itu telah dipahami dengan baik oleh umat sehingga dapat dijadikan titik tolak dalam mewujudkan kerukunan di tengah-tengah kehidupan mereka. Kerukunan yang memang telah menjadi bagian integral dari ajaran agama harus benar-benar dipahami dari sudut pandang agama. Umat harus didorong dan diyakinkan benar bahwa kerukunan itu pada dasarnya adalah terminologi yang berdimensi keagamaan. Seorang yang mengamalkan ajaran agama dengan baik, sudah seharusnya mengembangkan sikap rukun dalam hidupnya. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk, kerukunan kemudian menjadi terminologi yang lebih berkonotasi politis. Kerukunan dalam konteks itu dihubungkan dengan stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan, pembangunan nasional. Artinya umat beragama didorong untuk mewujudkan kehidupan yang rukun (intern atau antar) agar pelaksanaan pembangunan dan stabilitas nasional tidak terganggu. Pemikiran seperti itu sah-sah saja, tapi kerukunan yang adalah terminologi bernuansa keagamaan tidak boleh menjadi kering dan kurang nilainya hanya apabila kerukunan itu kemudian menjadi terminologi yang berkonotasi politis. Umat dan masyarakat kita harus benar-benar memiliki wawasan yang tepat agar kerukunan yang ia kembangkan itu bukan sekadar berhubungan dengan soal-soal horisontal/sekuler, soal kekinian, stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan, pembangunan, tetapi juga berhubungan dengan soal-soal vertikal/transendental, keakanan, teologis, dan relasi dengan Allah. Hal yang amat menarik untuk dicatat adalah bahwa MenteriHHHH Agama kembali menegaskan lagi pentingnya umat beragama mewujudkan kerukunan. Menteri mengimbau agar lahir kesadaran baru untuk meningkatkan kerukunan hidup di antara umat satu kelompok agama, maupun antarkelompok umat beragama. Menurut evaluasi Menteri yang didukung oleh tokoh-tokoh negarawan dan pemimpin keagamaan besar, termasuk para cendekiawan tingkat kerukunan di negara kita dapat menjadi model bagi dunia. Tak kurang dari cendekiawan tingkat kerukunan di negara kita dapat menjadi model bagi dunia. Tak kurang dari Presiden Clinton dari AS, Grand Syekh Azhar di Kairo, Paus Paulus di Roma dan sejumlah intelektual seperti dikemukakan Dr. Alwi Shihab di Istana Negara, tanggal 27 Juli 1996. Menurut Menteri Agama, apa yang sudah baik ini wajib dipelihara. Kerukunan hendaknya tidak dianggap taken for granted, akan terjadi dengan sendirinya. Dunia sekitar kita penuh dengan konflik politik bernuansa agama atau menggunakan agama sebagai bensin pembakar untuk meningkatkan eskalasi konflik. Akibatnya, pihak lain berbuat serupa, sehingga yang terjadi bukan penyelesaian, tetapi hancur-hancuran. Kita perlu waspada, karena kaum radikal dan ekstrim agama ada di mana-mana, pada semua agama, dan lebih-lebih dari luar. Semua umat beragama perlu merasa malu di depan sejarah dan peradaban, manakala terdapa kelompok agama yang menimbulkan keonaran, membuat kerugian atas harta, dan lebih-lebih jiwa. Agama diberikan oleh Yang Mahasuci, justru untuk menyejahterakan dan menghormati manusia. Kita merasa sedih dan kecewa kalau masih saja ada kekerasan oleh kelompok agama, sebab hal itu bertentangan dengan nilai dasar setiap agama yang membawa pesan cinta kasih atau rahman rahim dari Tuhan Yang Mahaesa. Menteri Agama juga mengajak semua umat beragama mencari, menggali, dan menyebarkan bingkai-bingkai teologis dan sosiokultural ''Pela" di Maluku, atau ''Rumah Bentang" di Kalteng adalah di antara jawaban untuk ini. Bingkai teologis dapat digali dari kitab suci atau doktrin keagamaan, hasil renungan para ahli agama yang jujur dan penuh takwa. Para pemimpin agama agar menyebarkannya di tengah umat, sehingga kerukunan dihayati tidak sekadar temporer dan politis, tetapi sebagai bagian dari keberagamaan kita dan ketakwaan kita. Adalah ilusi besar kalau ada orang atau kelompok agama bermimpi hanya ada kelompok yang sama di sekitarnya. Modernisasi, globalisasi dan mobilitas horisontal bangsa-bangsa di dunia dewasa ini, kecuali di Vatikan dan Mekkah-Madinah, membuat kemajemukan menjadi gejala universal di seluruh dunia. Mari kita hormati manusia, karena ala manusia, karena ia sengaja diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Kita hormati manusia tanpa memandang apa agamanya. Kita hormati manusia, termasuk agama dan keyakinannya tanpa harus mengubah atau mencampur-adukkan ajaran-ajaran agama yang berbeda. Demikian pandangan-pandangan yang amat mendasar dari Menteri Agama, dr. Tarmizi Taher. Hal yang patut disyukuri adalah bahwa para pendiri negara kita, telah sejak awal menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat dan bangsa kita ini adalah masyarakat majemuk. Itulah sebabnya, mereka sepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan membuang rumusan-rumusan dalam UUD 1945 yang bisa dipersepsi dan atau berkecenderungan diskriminatif yang dipikirkan akan dapat memicu potensi disintegratif dalam kehidupan membangsa. Penghapusan 7 kata yang amat terkena dalam Rancangan Pembukaan UUD 1945 serta penghilangan kriteria agama bagi seorang calon presiden sebagaimana kini dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dilaksanakan dalam konteks memahami kemajemukan sekaligus dalam upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Terminologi kerukunan yang pertama kali diangkat oleh K.H.M. Dachlan, menteri agama RI 1968-1971 adalah kata kunci yang amat penting dalam konteks kemajemukan agama di Indonesia. Terminologi itu adalah ruang, kerangka, bingkai yang di dalamnya agama-agama di Indonesia bisa bertemu, berinteraksi dan memberi kontribusi bagi masyarakat dan bangsanya. Kerukunan sebab itu tidak boleh berhenti hanya sebagai istilah, jargon dan atau diperkecil maknanya menjadi sesuatu yang artificial, sesuatu yang verbal dan tidak mewujud-nyata. Dalam beberapa waktu terakhir ini kerukunan antarumat beragama di Indonesia mengalami cobaan, ujian dan tantangan yang amat berat. Peristiwa-peristiwa perusakan gedung gereja di Surabaya 10 Juni 1996 dan peristiwa serupa di Situbondo 10 Oktober 1996 yang sudah menelan korban jiwa merupakan bukti nyata bahwa kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Gagasan untuk menyusun suatu undang-undang tentang kehidupan beragama, bukanlah soal yang baru. Pada bulan Maret 1982 Karo Hukum dan Humas Departemen Agama H.R. Djatiwijono, S.H., memperkenalkan Rancangan UU tentang kehidupan beragama sebagai hasil konsultasi tanggal 12-13 Februari 1982 di Wisma Haji Jalan Jaksa 26 Jakarta. Rancangan tersebut yang berjumlah 8 bab dan 18 pasal berikut rancangan penjelasannya itu dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa agama-agama yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Pokok penting yang diatur dalam RUU itu adalah tentang pengamalan Ajaran Agama (Bab II), Penyiaran dan Penyebaran Agama (Bab III), Pembinaan dan Pengembangan kehidupan beragama (Bab IV), tempat Peribadatan (Bab V), Ketentuan Pidana dan Sanksi Pidana (Bab VI, VII). Tidak terlalu jelas mengapa kemudian RUU tersebut tidak berlanjut. Kegigihan dan kerja keras Menteri Agama untuk memantapkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia perlu diacungi jempol. Namun ide Pak Tarmizi untuk menyusun suatu UU Kerukunan memerlukan pengkajian lebih dalam karena beberapa hal: 1. Kerukunan sebagai aktualisasi nilai-nilai agama, sikap hidup dan implementasi kultural, amat kaku jika pelaksanaannya mesti diatur oleh sebuah undang-undang. Sementara itu ambivalensi, dan inkonsistensi dalam pelaksanaan sebuah ketentuan perundangan yang acapkali terjadi, justru tidak akan menolong upaya perwujudan kerukunan itu sendiri. 2. UUD 1945, Pancasila, GBHN, P4, telah memberikan arahan yang amat jelas, mendasar dan normatif tentang bagaimana masyarakat majemuk Indonesia mewujudkan kerukunan. Jika komitmen persatuan dan kesatuan itu menjadi nada dasar dalam hidup membangsa dan seluruh ketentuan perundangan itu diwujudkan secara konsisten, kerukunan itu akan dapat terwujud dengan baik. Daripada memikirkan suatu Undang-Undang Kerukunan, adalah lebih baik jika Pak Tarmizi mendorong pengaktifan Wadah Musyawarah Antar-Umat Beragama Tingkat Pusat serta pembentukan WMAUB di daerah-daerah sebagaimana yang diminta Presiden Soeharto, ketika beliau meresmikan Pembukaan Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI di Balai Sidang Jakarta, tanggal 9 November 1996. Wadah seperti WMAUB jika secara optimal dimanfaatkan perannya amat strategis dalam memantapkan kerukunan di Indonesia. Penulis adalah teolog dan peminat masalah keagamaan. ----- End Included Message -----