From: John MacDougall Subject: IN: PMB - Tasikmalaya dan Matriks Peradaban To: apakabar@clark.net (John MacDougall) Date: Tue, 31 Dec 1996 20:19:21 -70100 (EST) http://www.SuaraPembaruan.com/News/1996/12/301296/Headline/h2/h2.html SUARA PEMBARUAN ONLINE ---------------------------------------------------------------------------- Analisis Christianto Wibisono Tasikmalaya Dan Matriks Peradaban DI penghujung tahun dan suasana Natal kita melihat dua kebringasan, di Dili terhadap seorang kopral dalam acara penyambutan Uskup Belo dan di Tasikmalaya akibat konflik yang menyangkut ulama pesantren dengan polisi setempat. Di Dili jatuh korban jiwa, di Tasikmalaya korban harta benda, jiwa dan kerukunan, padahal kita masih belum mampu membangun kembali Situbondo di mana rangka gereja masih tak beratap ketika umat merayakan Natal. Ketika bertamu ke rumah Soedjatmoko di Tokyo pada waktu almarhum menjabat Rektor United Nations University saya memperoleh kerangka matriks yang sangat mengesankan mengenai riwayat perkembangan manusia dalam kaitan dengan perubahan zaman dan sistem politik, ekonomi maupun mekanisme konflik. Saya mengamati kembali matriks tersebut dan mencoba merenungkan apa yang sedang dialami bangsa ini memasuki tahun 1997. Matriks Peradaban Matriks yang dikemukakan Soedjatmoko lebih luas dari teori tiga gelombang Alvin Toffler karena memperkenalkan "Gelombang Keempat" yang disebut Conscious Technology. Tiga matriks lain paralel dengan Toffler yaitu gelombang peradaban "Pertanian, Industrialisasi dan Informatika". Pada gelombang pertama, manusia masih dikuasai atau sangat tergantung dari alam dan karena itu sosiologi agama mencatat bahwa kekuatan sosial yang dominan ialah agama, sedang kekayaan diukur dari lahan atau tanah yang dikuasai dan digarap sebagai tempat bercocok tanam. Para brahmana, ulama dan pendeta mempunyai fungsi dominan dalam struktur dan sistem sosial. Masyarakat awam sangat patuh terhadap pemuka agama karena dianggap mewakili kekuatan supranatural dewa dan atau Tuhan Allah di muka bumi. Metodologi peperangan pada era gelombang pertanian ialah penguasaan lahan dengan senjata konvensional mulai dari senjata tajam sampai benteng seperti Tembok Besar Cina tujuannya penguasaan teritorial secara fisik dan tradisional. Penguasa politik, kaisar, firaun, raja, sultan, sunan, bahkan kepala suku selalu mengidentikkan diri sebagai wakil Dewa Langit atau Tuhan untuk mengukuhkan legitimasi mereka walaupun dalam praktek mereka menjadi raja melalui kekerasan berdarah menggulingkan tahta pendahulu mere- ka atau melanjutkan sebagai keturunan penguasa yang sudah mapan. Era ini akan dikenal dengan era personifikasi raja dan penguasa sebagai simbol atau eksistensi negara itu sendiri sebagaimana disemboyankan oleh Louis XIV dengan kata bersayapnya l' etat cestmoi, negara adalah saya. Konvensi gelombang pertama ini berlangsung merata di seluruh bumi dan dialami oleh imperium Indian Amerika Latin dari peradaban Inca, Maya dan Aztec, imperium Mesir, Asiria dan Babilonia, imperium Hindu dan imperium Cina, Mongol bahkan sampai imperium Sriwijaya dan Majapahit. Hegemoni agama dan penguasa politik merupakan simbiose Eropa abad pertengahan hingga datangnya era reformasi oleh Martin Luther. Reformasi, Renaissance, Aufklarung menjungkirbalikkan absolutisme agama dan monarki dan mulai memperkenalkan pluralisme masyarakat. Perubahan di bidang cara berfikir, filsafat, rasionalisme dan pluralisme masyarakat telah menimbulkan iklim subur untuk revolusi di bidang iptek sebagai cikal bakal revolusi industri. Pada era industrial, maka nation state mulai berperan secara dominan menggeser fungsi agama. Jika di masa pertanian, masyarakat bisa pasif saja menunggu panen, maka pada era industrialisasi, tenaga kerja harus dimobilisasi, dimotivasi, didisiplinkan untuk mengikuti metode dan ritme kerja yang berbeda dari era pertanian. Kekayaan mulai bergeser dari lahan atau tanah menjadi modal atau kapital yang bisa membeli atau membuat mesin dan mendirikan pabrik untuk menghasilkan produk manufaktur dari komoditi pertanian dan pertambangan atau komoditi primer lain yang diberi nilai tambah oleh mesin dan iptek menjadi produk bermanfaat untuk konsumen. Negara dan ideologi tampil sebagai organizing principal, walaupun agama dan suku serta ikatan primordial lain masih tetap menggejala karena warisan turun-temurun selama belasan millenium. Sasaran yang ingin dikuasai dalam era ini tidak perlu penguasaan fisik lahan, tapi penguasaan aset industri. Persenjataan modern berupa kapal perang, rudal dan kompleks industri dipakai untuk melindungi dan atau mendukung nation states dalam kompetisi global antar nation states. Yang Menonjol Pada gelombang ketiga, era informasi maka corporation dan pasar menjadi kekuatan yang menonjol dan naik daun walaupun peranan agama dan negara masih tetap eksis berdampingan tapi keduanya dalam kondisi declining sedang kekuatan korporasi dan market dalam proses pasang naik. Produk yang diperebutkan ialah jasa dan informasi, kekayaan diukur dari akses terhadap informasi dan perkantoran menjadi tempat mata pencaharian. Dari kawasan industri atau pabrik ke gedung perkantoran yang mengendalikan pabrik melalui sistem informasi komputer canggih. Metodologi persaingan dan penguasaan juga bergeser, karena tidak perlu lagi menguasai lahan atau aset fisik, melainkan penguasaan persepsi melalui komputer, media, chips dan informasi atau disinformasi. Matrix yang saya peroleh dari Soedjatmoko beranjak lebih maju dari Toffler dengan gelombang keempat era Conscious Technology dengan produk abstrak, linkage dan powernya tidak perlu mengandalkan massa seperti agama, negara dan korporasi, melainkan individu yang berkharisma dan berkinerja optimal sehingga membuktikan eksistensi yang diakui masyarakat karena karya dan prestasinya. Mereka tidak terikat oleh lahan, pabrik atau kantor tapi bisa bergerak bebas melanglang buana tapi eksistensi dan peranannya diakui dan dirasakan oleh dunia internasional melalui media informasi global yang juga tidak bisa dibendung oleh nation state era industri. Contoh dari individu yang mencapai kelas Conscious Technology adalah alm Soedjatmoko sendiri yang di Indonesia tidak mencapai jabatan menteri, tapi diakui dan diorbitkan oleh dunia menjadi Rektor United Nations University. Kemampuan individu Soedjatmoko adalah rahasia suksesnya, bukan backing atau jatah karena Koko berasal dari Indonesia, melainkan benar-benar karena kualitas karakter dan kapabilitas otak serta kecanggihan intelektualnya yang mengorbitkan Soedjatmoko pribadi ke puncak karier global tersebut. Pakar seperti Alvin Toffler, John Naisbitt dan Samuel Huntington misalnya tidak mempunyai jabatan politik apa pun, tapi jika mereka keliling dunia, disambut oleh raja, kepala negara, presiden, PM, menteri dan honorarium berbicara mencapai puluhan ribu US$ per jam. Dengan demikian John Naisbitt yang tinggal di kota kecil Telluride di AS, barangkali sekecil Tasikmalaya memang tidak perlu sowan ke Washington atau kasak kusuk di New York untuk memperoleh perhatian Gedung Putih atau Markas Besar PBB. Tapi dari kota Telluride, Naisbitt bisa populer di kalangan kelas menengah dan intelektual dunia. Naisbitt bukan ulama, bukan politisi, bukan menteri, ia orang biasa atau individu yang sudah mencapai tahap Conscious Technology, di mana prestasi dan kinerja individu bisa memukau umat, nation states dan incomenya barangkali sama dengan GNP negara kecil gurem ataupun nett profit perusahaan MNC dengan ribuan karyawan. Padahal John Naisbitt adalah "pengusaha kecil" bersama istrinya seperti juga Toffler selalu tampil bersama istri di pelbagai seminar. Telluride - Tasikmalaya Dunia sedang mengalami transformasi yang memperkenalkan empat gelombang peradaban manusia secara tumpang tindih. Seluruh dunia masih mempunyai potensi yang terserap pada peradaban pertanian dengan segala macam sistem nilai sosial budaya primordial, SARA, chauvinis, primitif dan mudah emosional, sentimental dan brutal. Inilah kebringasan yang bisa meledak di Sarajevo, Burundi, Situbondo dan Tasikmalaya. Bahkan Jakarta ketika 27 Juli. Kebringasan primitif dan primordial seperti itu bisa diorganisir secara modern dalam bentuk terorisme internasional yang bernuansa politik maupun agama, seperti gerilyawan Tupac Amaru yang menyandera di Lima atau organisasi kultus Aum Shinrukyu di Jepang yang juga menimbulkan korban di kalangan masyarakat yang tidak berdosa demi kepuasan "emosional primordial". Mayoritas negara berkembang masih dikuasai sistem nilai era pertanian, bahkan elite yang berpendidikan Chicago atau West Point saja, masih doyan merekayasa sentimen primordial yang bisa meledak seperti Situbondo. Mereka mengira dengan membakar gereja, supermarket dan public areas, sudah menyalurkan "orgasme politik" mereka dan menyampaikan pesan kepada "penguasa" bahwa mereka eksis dan harus diperhitungkan dalam skenario alokasi dan distribusi nikmat politik yang selama ini dianggap dikuasai secara tidak fair oleh oligarki tertentu. Padahal persaingan pada millenium ketiga Masehi ini bukan lagi era pertanian, melainkan sudah bertumpang tindih dengan persaingan di sektor tercanggih Conscious Technology. Kita mengira dengan mengintegrasikan Timtim secara fisik juridis legal masalah sudah beres. Padahal dalam sistem matrix peradaban, kita hanya memenangkan metodologi kuno, berperang dengan senjata, menduduki suatu teritori. Tapi dalam peperangan menguasai dan mengontrol persepsi yaitu perang gelombang ultra modern, kita mengalami kekalahan telak. Karena Ramos Horta dengan metoda Conscious Technology berhasil menerobos barikade dan cara berpikir obsolete yang mendewakan nation state. Kita boleh menepuk dada mengintegrasikan de fakto lahan Timtim, tapi dalam perang persepsi kita mengalami "kekalahan fatal" menghadapi metodologi pertempuran era Conscious Technology. Saya sulit mencari terjemahan Conscious Technology, barangkali harus diciptakan istilah baru, yaitu iptek yang berhati nurani. Artinya manusia yang canggih dan mampu menciptakan teknologi tetapi mempunyai hati nurani yang mampu menangkap aspirasi dan jeritan atau tuntutan hati nurani pihak lain yang menjadi lawan politik atau yang menjadi mitra dalam kehidupan yang majemuk ini. Pelaku peristiwa Situbondo yang diadili dan dituntut hukuman 5 bulan, barangkali hanya sekadar figuran atau "kroco" yang hanya ikut-ikutan terserap kepada kebringasan massa yang direkayasa oleh oknum elite politik berpandangan dan berwawasan primitif era gelombang I. Begitu juga massa di Tasikmalaya tidak lebih jelek dari massa di Los Angeles yang juga merusak harta orang lain secara "spontan" dan "lupa daratan". Tapi jika benar sinyalemen Pangdam Siliwangi bahwa ada yang merekayasa gerakan massa untuk merusak dan membakar, maka kita ingin mengingatkan oknum-oknum siapa saja, di mana saja dan dalam jabatan apa saja untuk mempelajari dan merenungkan matrix peradaban yang diwariskan oleh Soedjatmoko. Anda mungkin merasa telah memenangkan ''pertempuran'' dan ''peperangan''. Tapi dalam hal ini Anda sebetulnya masih hidup di zaman abad gelap pertengahan ataupun zaman jahiliyah. Jika Anda ingin bermain api kembali ke zaman itu, percayalah hukuman Tuhan kepada bangsa ini barangkali tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun juga. Sebab, hanya bangsa yang cinta damai dan mampu berkreasi dengan keringat dan kerja keras serta halal, tidak munafik, tidak Machiavelis dan tidak menindas orang lain dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama, yang dikarunia sukses dan kinerja yang menjadi panutan dunia. Tidak ada rezim diktatur totaliter yang akan diberi perkenan oleh Tuhan untuk menguasai dunia. Hanya bangsa dengan hati nurani, dengan kemanusiaan, akan diizinkan untuk menjadi bangsa besar bukan secara kuantitas, melainkan dalam kualitas, mutu, karakter dan kharisma. Kita ingin menyerukan kepada seluruh elite Indonesia, terutama yang gemar bermain api "SARA" dan "menyulut kebringasan massa" bahwa, cara-cara Anda tidak akan membawa bangsa ini kepada kemandirian dan kedewasaan, melainkan bisa menyeret kepada kehancuran nation state yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1997 kita berdoa semoga Tuhan mempertobatkan mereka yang gemar "bermain api SARA". Jika elite bangsa ini sengaja menyulutnya, barangkali mereka akan harus menuai, memanen hasilnya yang tidak kita kehendaki bersama.*** ----- End Included Message -----