From: John MacDougall Subject: IN: PR - Kerusuhaan Tasik Bagian Limbah Keagamaan To: apakabar@clark.net (John MacDougall) Date: Tue, 31 Dec 1996 19:48:53 -70100 (EST) http://pikiran-rakyat.com/01311202.htm Menag: "Penyebabnya Harus Dipelajari Secara Lengkap" Kerusuhan Tasikmalaya Bagian Limbah Keagamaan TASIKMALAYA, (PR).- Menteri Agama, H. Tarmizi Taher mengungkapkan, kasus kerusuhan di Kab. Tasikmalaya merupakan bagian dari limbah politik keagamaan. Selain itu juga karena adanya kondisi kesenjangan sosial dalam proses pembangunan nasional. "Apakah masalahnya sosial, politik atau ekonomi, larinya ya ke limbah keagamaan," ujar Menag ketika ditanya wartawan di sela-sela acara pertemuan Pangdam III/Siliwangi dengan sekitar 700 ulama se-Jabar dan beberapa tokoh agama lain, di Pendopo Kab. Tasikmalaya, Senin (30/12). Dikatakan Menag, dalam masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) Indonesia paling sensitif, karena masyarakatnya yang agamis. "Karena itu, berdasarkan ide pendeta di Manado beberapa waktu lalu, saya ajukan perlu dipikirkannya Undang-undang Kerukunan Beragama," tuturnya. Dengan demikian, terdapat sanksi hukum dan penegakan hukum untuk mencegah ekstremitas dan radikalisme dalam agama di Indonesia, yang menjadikan orang beringas. Hal ini perlu dibahas secara akademis. "Jangan asbun (asal bunyi - red.) dengan menampilkan pro-kontra perlu dan tidak perlu. Dengan adanya pengaturan ini, kita bisa cekal orangnya. Bisa kita tindak, karena bertindak kriminal. Masyarakat kita senang dunia yang tertib," katanya. Selama ini, katanya, memang ada masalah dalam kerukunan umat beragama di Indonesia. Ujian kerukunan beragama pada 1996 sangat berat. "Karena itu, Insya Allah semua itu ada hikmahnya," kata Tarmizi Taher. Diungkapkan, kerusuhan yang terjadi memiliki banyak faktor penyebab. Kerusuhan di Tasik misalnya dipicu dengan adanya desas-desus kiai meninggal. Selain itu, karena ada kesenjangan dalam tahap pembangunan. Pada sisi lain, agama punya faktor untuk bisa membakar emosi orang menjadi beringas. Misalnya di Timtim, Katolik ya begitu dan di Srilanka ya Budha. Jadi tidak hanya Islam saja. "Agama itu masalah yang sangat dalam pada pribadi orang. Kalau dirangsang oleh suatu kejadian, gampang meledak," tegasnya. Alat kemauan politik Menurut Menteri Agama, kerukunan beragama di tanah air beberapa waktu lalu diuji, sekarang juga diuji lebih berat. Tanpa kehati-hatian kita melihat permasalahannya, maka masalah keagamaan akan dipakai oleh orang-orang yang tidak senang terhadap bangsa ini, sebagai alat untuk kemauan politik mereka, tanpa merasakan betapa penderitaan anak cucu nanti. Dikatakannya, kerusuhan agama itu berkembang dengan cepat. Hanya oleh sebab riakan, hanya oleh sebuah rekayasa yang ringan, kiranya cukup untuk menggoyang umat beragama. Karena itu, para pemimpin agama harus melihat, gangguan-gangguan lokal itu apa penyebabnya? "Itu yang saya lihat harus dipelajari dengan lengkap oleh lembaga pengkajian kerukunan umat beragama yang sudah terbentuk tiga tahun lalu. Jadi, minggu depan lembaga tersebut, yang anggotanya ada sarjana agama Islam, sarjana agama dari sekolah tinggi Protestan, dll akan datang ke sini mencari dan menggali apa yang menjadi penyebab kausalnya," tutur Menag. Tarmizi Taher mengharapkan para ahli benar-benar mendalami psikologi sosial, sehingga akar permasalahannya dapat ditemukan. "Dan saya berterima kasih betul kepada pemuka-pemuka agama, kalau terjadi gangguan agama dengan cepat mereka itu turun. Ternyata agama ini tidak dijaga oleh siapa-siapa, nyatanya dijaga oleh seluruh bangsa Indonesia," katanya. Pada kesempatan itu, Ketua MUI Pusat, KH. Ali Yafie mengatakan, umat Islam supaya mampu mengendalikan diri. Menjelang bulan Ramadhan kesadaran itu harus sudah dapat dihayati. "Intern umat Islam tingkatkan ukhuwah islamiahnya, kemudian antara umat berlainan agama kita kembangkan kerukunan. Selanjutnya, antara pemerintah dan rakyat tingkatkan kerjasama ulama dan umaro. Jadi itu kuncinya yang harus terbina terus-menerus," katanya. Kurang interaksi Pertemuan Menag dengan para tokoh agama tersebut juga dihadiri tiga anggota Komnas HAM, yakni Albert Hasibuan, Mayjen (Purn) Syamsudin, dan Charles Himawan. Albert Hasibuan mengatakan kepada wartawan, berdasarkan pengamatannya, masyarakat Tasik pada umumnya hidup rukun dan bersatu. Kalau kemudian timbul peristiwa kerusuhan 26 Desember, itu merupakan kejadian yang disebabkan adanya unsur-unsur dari luar dengan memanfaatkan adanya masalah kesenjangan sosial. Ia melihat kurangnya interaksi antara sebagian masyarakat kecil yang tingkat ekonominya lebih baik dengan masyarakat lainnya. Padahal interaksi itu sangat penting dalam masyarakat. Karena itu, masyarakat Tasikmalaya yang sebetulnya sudah baik dan rukun, harus ditambah lagi dengan usaha-usaha bersama untuk meningkatkan kerukunan itu. Albert juga menekankan pentingnya HAM dipahami oleh berbagai pihak. Dikatakan, HAM itu bukan hanya berguna bagi aparat pemerintah, tapi juga harus diwujudkan dan dipahami oleh sesama anggota masyarakat. Dengan adanya peristiwa 26 Desember, katanya, aparat kepolisian mau tidak mau harus meningkatkan kemampuan dirinya agar lebih baik di mata masyarakat. Sebaliknya masyarakat juga harus menyadari bahwa polisi itu bertugas untuk menjaga kita semua. "Pada dasarnya polisi harus kita hormati. Tapi sebaliknya, oknum tertentu yang melanggar HAM harus ditindak. Komnas HAM memuji langkah pertemuan para ulama dengan pihak Pangdam," ujarnya. Seusai mengikuti pertemuan tersebut, anggota Komnas HAM meninjau bekas lokasi kerusuhan. Mereka juga meninjau Pesantren Condong di Kec. Cibeureum, sekitar 6 km arah timur Kota Tasikmalaya. Menurut Bupati Tasikmalaya, H. Suljana WH mengungkapkan, kerugian akibat kerusuhan 26 Desember 1996 diperkirakan mencapai Rp 84,9 miliar, diderita oleh sekitar 12.700 warga Kab. Tasikmalaya. Belum ada bukti Sementara itu Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, M. Adenan, SH menegaskan, sejauh ini belum ditemukan adanya bukti bahwa pelaku kerusuhan di Tasikmalaya mengarah kepada tindakan subversi. Perbuatan para perusuh saat ini masih diklasifikasikan sebagai tindak pidana umum. Tanggapan Kajati Jabar tersebut dikemukakan kepada wartawan seusai temu ulama di Gedung Pendopo, Senin kemarin. Menurut dia, para perusuh akan didakwa melanggar pasal 170 atau 362 dan 406 KUHP. Namun tidak menutup kemungkinan bila bukti lain ditemukan, tuduhan subversi diberlakukan. Untuk itu, menurut Kajati Jabar, klasifikasi para tersangka dan pengumpulan barang bukti masih terus dilakukan. Saat ini terdapat 83 orang tersangka, dua orang di antaranya wanita. Kedua wanita tersebut diajak berdemonstrasi ketika sedang teler. Kepadanya diberikan bensin untuk melakukan pembakaran di kota. Diakuinya, kerusuhan yang terjadi di Tasikmalaya selain menimbulkan korban jiwa juga mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Untuk itu para pelaku kerusuhan akan ditindak secara hukum dan proporsional. Para pelaku akan dituntut dengan hukuman berat, karena mereka melakukan perbuatan kekerasan di muka umum. Perbuatan mencuri, membakar, menghasut sudah jelas melanggar hukum, katanya.** ----- End Included Message -----