From: John MacDougall Subject: IN: SM - Komnas HAM: Mirip Situbondo To: apakabar@clark.net (John MacDougall) Date: Mon, 30 Dec 1996 20:08:16 -0500 (EST) [SUARA MERDEKA] Komnas HAM: Mirip Situbondo JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kemarin menurunkan tim untuk mengumpulkan fakta seputar kerusuhan yang melanda Kota Administratif (Kotif) Tasikmalaya. Tim itu terdiri atas Prof Charles Himawan, Dr Albert Hasibuan SH, dan Mayjen TNI (Purn) Syamsudin. Anggota Komnas HAM Asmara Nababan mengatakan, tim tersebut mengumpulkan fakta yang melatarbelakangi kerusuhan itu. "Sebagaimana kasus Sitobondo, kita juga akan mengumpulkan fakta yang melatarbelakangi kasus tersebut,'' ujarnya. Ia melihat kasus kerusuhan itu mirip dengan kerusuhan di Sitobondo, yaitu dari persoalan kecil kemudian menyulut menjadi kerusuhan besar yang melampaui batas. Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) AA Oka Mahendra SH mengatakan, untuk menangani kerusuhan itu perlu dicari akar permasalahannya dan diselesaikan secara hukum. Selain itu, aparat pemerintah dan keamanan perlu bersikap antisipatif jika menghadapi gejala gerakan massa. Kalau bisa para aparat ini melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi kerusuhan itu meluas. "Penanganan seperti itu penting, sebab kasus-kasus yang berlatar belakang agama sangat mudah menyulut emosi untuk melakukan tindak perusakan. Bahkan dalam beberapa hal dapat mengganggu stabilitas keamanan,'' katanya kepada Suara Merdeka, kemarin. Oka menilai, dalam penanganan kasus Tasikmalaya ada kesan setelah pemanggilan terhadap individu yang terlibat kerusuhan itu, masalah itu dianggap sudah selesai, tanpa dilakukan pemantauan lebih jauh. Akibatnya, kerusuhan itu meluas dan menimbulkan banyak korban. Menurutnya, setelah aparat selesai memanggil individu itu, seharusnya memantau apakah cara yang ditempuh itu sudah dipahami oleh masyarakat atau tidak dan aparat perlu mengikuti perkembangan sampai tuntas terhadap kasus itu. Dari kasus Tasikmalaya ini Oka melihat, stabilitas keamanan yang dikatakan mantap terkendali, ternyata masih mengandung kerawanan-kerawanan. Masalah yang sebenarnya tidak punya latar belakang SARA, bisa berkembang menjadi SARA seperti kasus Tasikmalaya dan Situbondo. "Saya melihat, sekarang ini ada kecenderungan terjadi keberingasan sosial dalam penyelesaian setiap persoalan kemasyarakatan, baik skala nasional maupun lokal. Kasus Tasikmalaya kan awalnya hanya persoalan intern antara murid dan guru mengaji, tetapi bisa berkembang menjadi masalah kemasyarakatan nasional.'' Dalam kasus ini juga terlihat adanya gejala menurunnya kewibawaan aparatur di daerah, sehingga massa berani melakukan perusakan kantor-kantor pemerintah dan melawan petugas. Selain itu, terlihat adanya arogansi kekuasaan yang ditiru oleh kelompok lain. Gejala seperti ini tidak bisa dibiarkan, katanya, sebab akan terjadi mobokrasi. Artinya, rakyat yang merasa mayoritas akan melakukan pengadilan terhadap kelompok lain yang dianggap salah. Dilihat dari segi demokrasi, gejala ini jelas tidak menguntungkan. Untuk itu, Oka meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi secara serius dalam menghadapi gejala sosial seperti itu. Ini penting, tandasnya, sebab bila wajah masyarakat seperti itu berkembang dapat dipastikan akan ada sekelompok orang yang merasa tidak aman hidup di negeri tercinta ini. Indikasi Asmara Nababan mengatakan, kejadian di Tasikmalaya dan kejadian-kejadian sebelumnya, memberikan indikasi ada masalah besar yang perlu dikaji dan dicari penyelesaiannya. "Kalau hanya persoalan kecil kemudian menjadi kerusuhan besar, ini artinya ada persoalan besar yang lebih serius,''jelasnya. Disebut sebagai contoh kasus Situbondo. Beberapa pejabat menilai kasus ini ada yang merekayasa. Namun itu hanya sebatas perkataan, tidak mencari siapa yang merekayasa, apa tujuannya, dan sebagainya. "Akar permasalahan itulah yang seharusnya oleh pejabat dan aparat keamanan dicari. Artinya, mereka harus mencari siapa yang merekayasa dan apa tujuannya menyulut massa untuk melakukan perusakan. Kalau memang melihat ada yang merekayasa harus dikejar terus sampai tuntas,'' tandasnya. Kalau dibiarkan, bukan tidak mungkin kerusuhan itu akan terjadi kembali di daerah lain. Bahkan mungkin akan terjadi yang lebih besar. "Ini masalah stabilitas yang dampaknya akan luas terhadap kehidupan bangsa, baik ekonomi, sosial maupun politik,'' katanya. Ia menilai munculnya kerusuhan itu bukan hanya karena adanya brutalisme dari aparat keamanan terhadap warga atau tidak bisa disimpulkan bahwa umat beragama di Indonesia seakan-akan mudah tersinggung oleh hal-hal kecil dan kemudian mengamuk. "Pendapat ini hanya meraba-raba saja, yang justru akan menimbulkan citra buruk bagi umat beragama, khususnya Islam,'' ujarnya Antisipasi Sementara itu Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Subagyo HS mengatakan dalam kasus Tasikmalaya, sampai kemarin belum ada laporan bahwa orang Jateng terlibat. "Kita sekarang ini terus melakukan antisipasi, agar kasus seperti itu tidak sampai terjadi di wilayah Jateng,'' katanya kepada para wartawan setelah memberikan ceramah dalam diskusi "Kontribusi Islam terhadap Wawasan Kebangsaan'' di Monumen Pers yang diselenggarakan DPC PPP Solo, kemarin. Menurutnya, dalam kasus tersebut, ternyata para santri atau anggota beberapa pondok pesantren tidak terlibat. Mereka yang melakukan perusakan itu justru pihak-pihak yang ingin memanfaatkan untuk kepentingan pribadi saja. "Mereka ternyata melakukan pencurian dan tindak kriminal lainnya,'' katanya. Untuk itu, sebagai warga Jateng yang baik, sikap waspada dan kritis terhadap adanya hasutan harus benar-benar dimiliki. Jangan sampai mendengar isu saja sudah bertindak gegabah. "Sikap waspada dan kritis terhadap hasutan ini harus benar-benar dimiliki warga Jateng yang memang memiliki semangat kerukunan yang tinggi,'' paparnya. Salah satu cara untuk melakukan antisipasi tidak ada lain kecuali terus membina kerukunan antarumat, warga, dan agama. Saling pengertian dan tidak mudah terpancing situasi yang dimunculkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Tiga Keprihatinan Pada bagian lain, Pangdam mengatakan, dalam arus globalisasi ini ada tiga keprihatinan yang dirasakan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah mendangkal atau terjadi erosi terutama di kalangan generasi muda. Sering kali disebut bahwa sifat materialistis telah menggantikan idealisme yang merupakan sukma dari kebangsaan. Kekhawatiran ini sebenarnya lebih mencerminkan perkembangan gaya hidup, cara berpakaian, corak musik atau lagu, makanan, bahasa, bahkan sikap sehari-hari. Hal itu sering kali mencerminkan gaya hidup internasional, terutama perkotaan. "Peningkatan taraf hidup, globalisasi dan arus informasi merupakan penyebab terjadinya perubahan tersebut,'' katanya. Kedua, adanya kekhawatiran ancaman disintegrasi kebangsaan dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, seperti di Yugoslavia, Uni Soviet, Sri Lanka, dan negara-negara lainnya. "Masih ada lagi, yakni munculnya keprihatinan terhadap upaya untuk melarutkan pandangan hidup ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini,'' tambahnya (ng, bs-51) ----- End Included Message -----