From: John MacDougall Subject: IN: RPK - Apa Yang Terjadi di Tasikmalaya? To: apakabar@clark.net (John MacDougall) Date: Sat, 28 Dec 1996 15:08:04 -0500 (EST) [Republika Online] Sabtu, 28 Desember 1996 Tajuk: Apa yang Terjadi di Tasikmalaya? "Peristiwa Situbondo" belum lagi lepas dari ingatan. Namun, kerusuhan masal telah meletus di Tasikmalaya, Jawa Barat. Massa -- dengan segala kemarahannya -- merusak puluhan bangunan: kantor polisi, toko, bank, gereja, pabrik, dan kendaraan. Tak ada korban jiwa. Situasipun kemudian mampu dikendalikan. Kerusuhan itu tentu saja mengejutkan. Kota Administratif Tasikmalaya selama ini dikenal sebagai rumah bagi penduduknya yang ramah. Kota Payung ini memang semakin mempermodern diri, namun nuansa sejuk dan tenang masih tetap terasa. Lantaran itu, tatkala Kamis pagi massa berarakan dan melakukan perusakan, orang pun bertanya: Apa yang sesungguhnya terjadi? Dibandingkan Situbondo, kultur masyarakat Tasikmalaya agak berbeda -- katakanlah dalam bahasa yang agak mudah, "bukan pemberang" dan lebih pas dengan sebutan "masyarakat pedagang". Akan tetapi, kerusuhan kali ini memperlihatkan betapa sebagian masyarakat yang berada di kota itu demikian cepat terhasut dan terbakar hatinya. Isu matinya ustad sebuah pesantren oleh polisi telah memporakporandakan ketenangan di kota itu. Proses meletusnya kerusuhan di kedua tempat itu tampak serupa. Mula-mula yang muncul adalah ketidakpuasan terhadap sikap dan keputusan aparat penegak hukum -- di Situbondo masyarakat tidak puas terhadap keputusan hakim, dan di Tasikmalaya masyarakat memprotes tindakan main hakim sendiri petugas kepolisian. Ketidakpuasan itu lalu berkembang menjadi kemarahan masal, dan kemudian melenceng dengan perusakan dan pembakaran. Mungkinkah aksi perusakan itu merupakan tindakan spontan massa? Apakah ini merupakan letupan dari "bisul" masalah sosial yang selama ini tak terpecahkan? Benarkah, mengingat pola serupa dengan di Situbondo, kerusuhan terjadi karena ada yang memanfaatkan momentum ketidakpuasan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan, semestinya dapat kita jawab. Untuk mencari jawaban itulah, kita seharusnya mengusut hingga tuntas kerusuhan Tasikmalaya. Pengusutan ini demikian penting untuk mengetahui simpul-simpul masalah dan pola-pola meletusnya kerusuhan untuk menekan kemungkinan terjadinya kerusuhan serupa di tempat lain. Apapun halnya, masyarakat kita memang harus terus mendewasakan diri agar tak mudah terhasut -- meminjam istilah KH Hasan Basri, "jangan menjadikan diri kita kayu api yang mudah disulut". Apapun alasan kemarahan massa itu, aksi kerusuhan tersebut patut disesali. Banyak biaya sosial yang harus dibayar untuk memulihkan kerukunan yang telah dibangun selama ini. Pelajaran yang tak kalah penting dari kasus ini ialah betapa masih gegabahnya sebagian aparat polisi kita. Tindakan sembilan polisi yang menganiaya tiga pengasuh pesantren itu, yang kemudian menjadi "bahan" untuk memicu kerusuhan massa, memperlihatkan bahwa hukum belum ditegakkan sepenuhnya bahkan oleh aparat yang semestinya mengawal penegakan hukum itu. Rasanya kita sepakat bahwa aksi "main hakim sendiri" oleh aparat kepolisian, maupun masyarakat, tak boleh terjadi lagi. Sayang sekali, para polisi itu belum berpikir jauh bahwa apa yang mereka lakukan terhadap tiga pengasuh pesantren itu berpotensi untuk meletuskan peristiwa yang di luar kendali. ^¿ ----- End Included Message -----