PR: Tasik 2

Eng Go MSGID EKGO 480-7179 (ego@barney.msptest.sc.ti.com)
Thu, 26 Dec 1996 15:15:17 -0600

PIKIRAN RAKYAT

Ketua Umum NU Mengutuk Peristiwa Tasikmalaya

BANDUNG, (PR).-
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH. Abdurrahman Wahid
secara tegas mengutuk tindakan perusakan pertokoan dan rumah peribadatan di
Tasikmalaya. "Apapun alasannya, tidak semestinya peristiwa tersebut
terjadi," kata Gus Dur--panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid-- dalam
siaran pers menanggapi kasus kerusuhan di Tasikmalaya, kemarin.

PB NU menyesali peristiwa tersebut, meskipun mungkin saja di antara para
pelaku terdapat warga NU. Kasus kerusuhan di Tasikmalaya, menurut Gus Dur,
merupakan tindakan emosional yang tidak bertanggung jawab serta dapat
mengganggu stabilitas, persatuan, dan kesatuan, serta ukhuwah sesama
komponen bangsa.

"Sikap tegas ini adalah tanggung jawab moral dan keprihatinan yang mendalam
terhadap masih adanya kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama dengan
melampiaskan luapan emosinya melalui cara-cara yang merugikan kelompok
lain," ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Gus Dur mengajak semua pemuka agama, masyarakat,
pemerintah, serta aparat keamanan untuk mawas diri dan meningkatkan peran
dan tanggung jawabnya agar peristiwa semacam itu tidak terulang lagi.

Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais lebih menyinggung akar
permasalahan mengapa kerusuhan di Tasikmalaya bisa terjadi. Dalam pandangan
Amien Rais, peristiwa penganiayaan oleh oknum polisi merupakan suatu
tindakan gegabah, karena mereka tidak memperhitungkan masalah agama.

"Jika suatu umat sudah tersingung, maka tindakannya pun bisa dilandasi oleh
emosi. Aparat seharusnya tidak main hakim sendiri," tandas Amien yang
dihubungi wartawan seusai berceramah di Mesjid Universitas Islam Bandung
(Unisba), kemarin.

Menurut Amien, langkah yang perlu diambil adalah menindak oknum polisi
sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan itu harus dilakukan secara
sungguh-sunguh, jangan hanya untuk menenangkan massa, tanpa pemecahan
masalah.

Selain itu, kata Dr. Amien Rais, pengasuh pondok pesantren hendaknya bisa
menahan diri dan menenangkan massa. "Juga, harus ada permintaan maaf dari
seluruh oknum polisi yang melakukan penganiayaan, dan mereka harus berjanji
untuk tidak mengulangi perbuatannya."

Senada dengan Amien Rais, Forum Komunikasi Santri dan Generasi Muda Islam
Tasikmalaya -- dalam surat pernyataannya -- menuntut agar oknum polisi yang
terlibat penganiayaan terhadap salah seorang dewan pengajar dan santri
Pondok Pesantren Condong diproses secara hukum. Surat pernyataan tersebut
tembusannya diantaranya disampaikan kepada seluruh unsur Muspida, dan Ketua
DPRD.

Merugikan semua pihak

Ketua Badan Pengawas Yayasan Universitas Siliwangi (Unsil), Tasikmalaya,
Letjen TNI (Purn) H. Mashudi menyatakan sangat prihatin terhadap kerusuhan
di Tasikmalaya. "Dengan dalih apa pun setiap kekacauan itu sesungguhnya
merugikan semua pihak. Ini sebetulnya tidak boleh terjadi," katanya.

"Kita bangsa yang bermartabat, jadi harus memperlihatkan bahwa kita
bermartabat. Bukan berarti kalau tidak ada keadilan kita harus diamkan,
tetapi harus ada upaya yang ditempuh secara wajar sesuai peraturan yang
ada," ujar Ketua Badan Pengawas Yayasan Universitas Siliwangi menjawab
wartawan sambil mengawasi di sekitar jalan Siliwangi, Tasikmalaya, Kamis
(26/12).

Menjawab pertanyaan, ia mengatakan, langkah yang harus diambil yaitu tertib
hukum, dan ini perlu keteladanan. Diingatkannya, dampak dari kejadian
tersebut tentunya akan diketahui di seluruh dunia melalui pers.

Berkaitan dengan kemungkinan aksi kerusuhan ditunggangi pihak ketiga,
Mashudi mengatakan, kemungkinan itu bisa saja. Tetapi biar pun tidak ada
pihak ketiga, bangsa Indonesia sebenarnya tidak boleh lalai. "Jadi, kalau
sudah terjadi peristiwa hendaknya jangan sampai cari kambing hitam.
Kejadian ini cenderung merupakan kelalaian semua pihak."

"Saya tidak tahu awalnya, saya sendiri mau mengecek menghubungi bupati dan
pejabat lainnya bagaimana bisa terjadi. Karena ini tidak bisa dibiarkan.
Jadi ini saya kira, tantangan yang paling berat di masa-masa akan datang
bagi kita semua, baik bagi rakyat maupun aparat negara there is something
wrong.

Alumni Gontor

Pembina Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor Ponorogo Cabang Bandung Jabar,
Dr. H. Juhaya S Pradja mengimbau segenap alumnus Pondok Modern Gontor di
Tasikmalaya, Bandung dan daerah-daerah lain di Jabar untuk menahan diri
dari tindakan yang dapat memperkeruh situasi.

"Kami belum menemui korban yang dikenal sebagai pengasuh salah satu pondok
pesantren di Tasikmalaya itu. Namun, sebagai sesama alumnus Pondok Modern
Gontor kami merasa prihatin apabila memang kejadiannya benar-benar
demikian. Meski begitu, kami imbau kepada rekan-rekan alumni untuk tetap
menahan diri," tutur Juhaya S Pradja.

Pembantu Rektor I Institut Agama Islam Latifah Mubaroqiyah Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya ini mengimbau aparat keamanan di Tasikmalaya agar
benar-benar bertindak arif dan bijaksana dalam mengatasi kasus ini.

"Ya, meskipun selama ini aparat berwajib sudah bertindak arif dan bijak,
namun dalam kasus ini hendaknya lebih ditingkatkan, mengingat yang dihadapi
adalah saudara-saudara kita juga," kata Ketua Umum DPW Jamiyatul Muslimin
Indonesia (Jami) Jabar ini.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kodya
Bandung, Drs. KH. Miftah Faridl mengimbau para pimpinan pondok pesantren di
Bandung Raya khususnya untuk "mendinginkan" situasi umat.

Demikian halnya kepada para santri pondok-pondok pesantren, hendaknya
mempercayakan sepenuhnya penyelesaian permasalahan tersebut pada aparat
berwajib.

"Kepada alim ulama pimpinan pesantren di Bandung Raya dan sekitarnya, kami
imbau untuk membantu 'mendinginkan' kembali situasi masyarakat. Jangan
terpancing untuk menyebarkan informasi atau isu yang tidak benar dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan, atau makin memperkeruh suasana," kata KH.
Miftah Faridl yang dihubungi "PR" melalui saluran telepon internasional di
sela-sela ibadah umroh rombongan Safari Suci di Mekah, kemarin.

Dikemukakannya, setiap Muslim baik itu ulama maupun santri hendaknya saling
bertolong-tolongan dalam perbuatan kebajikan, dan bukannya dalam perbuatan
kerusakan. Dalam hal ini, kaum Muslimin juga dituntut untuk memberi suri
tauladan dan keadilan sekalipun kepada kaum atau pihak yang dibenci.

"Sungguh, Allah SWT berfirman, hendaknya kebencian kita kepada suatu kaum,
jangan menjadikan kita berbuat tidak adil," ujar KH. Miftah Faridl.

Sedangkan sosiolog Judistira Garna, Ph.D melihat kejadian di Tasikmalaya
merupakan curahan ketidakpuasan terhadap keinginan memperoleh teladan yang
baik dari pemimpin.

Ia menilai, kini semakin menipis contoh dan teladan dari para pimpinan baik
tingkat nasional hingga lokal.

Di sisi lain Yudistira Garna melihat ada titik kelemahan di kedua belah
pihak yang pada dasarnya sama, yakni masing-masing memiliki rasa "lebih".
Pihak polisi merasa memiliki kekuatan dan pihak pesantren memiliki
kelebihan dalam hal agama. Dengan kelebihannya masing-masing mereka
seolah-olah merasa melakukan sesuatu yang terkadang melupakan faktor etika
sehingga membuat emosi pihak lain.

Dengan demikian, penyelesaiannya sebetulnya bisa dilakukan hanya dengan
keasadaran dari kedua belah pihak untuk introspeksi diri dan saling
memaafkan. Mereka mengadakan pertemuan dan mencoba membuat kejelasan
tentang kejadian sehingga menghasilkan perdamaian.

Selain itu, masyarakat serta para penegak hukum dan pihak-pihak terkait
hendaknya melihat kasus ini dari kacamata yang arif dan bijaksana. Hal ini
penting agar tidak terjadi kasus lanjutan yang merugikan pihak lain atau
mereka sendiri. "Jangan sampai kejadian ini juga dimanfaatkan oleh pihak
ketiga," tegasnya.***