Para kiai dengan kelebihan pengetahuan dalam Islam seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam (Dhofler, 1984) sehingga mereka dianggap memiliki kedudukan yang agung dan tak terjangkau, terutama bagi kebanyakan orang awam (Arifin, 1988). Dalam beberapa hal kiai menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yakni kopiah dan serban (Horikoshi, 1987). Para kiai tidak saja merupakan pimpinan pesantren tetapi juga memiliki power di tengah masyarakat bahkan memiliki prestise tinggi di kalangan masyarakat (Geertz, 1981).
Kebanyakan kiai di Jawa dan Madura beranggapan bahwa pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil, dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pesantren (Dhofier, 1984:56) kecuali terhadap kiai lain yang lebih besar pengaruhnya. Dalam kedudukan itu, kiai memiliki kemampuan menggerakkan massa yang bersimpati dan menjadi pegikutnyat (Arifin, 1992: 52).
Menurut Ziemek (1986) pengaruh kiai dalam memotivasi penduduk acapkali berdasar kekuatan kharismatik. Seni berbicara dan pidato yang terlatih digabung dengan kecakapan mendalami jiwa penduduk desa, mengakibatkan kiai dapat tampil sebagai jurubicara yang diakui. Dengan begitu kiai mempunyai kemungkinan yang besar sekali untuk mempengaruhi pembentukan kehendak di kalangan penduduk (Ziemek, 1986). Dalam kedudukan yang sedemikian rupa penting di tengah masyarakat, maka kiai dapat disebut sebagai agent of change dalam masyarakat karena peranannya dalam suatu proses perubahan sosial (Sunyoto, 1990).
Berdasar uraian singkat ini, dapat dijelaskan bahwa bagi masyarakat muslim Situbondo yang umumnya Madura keberadaan kiai sangat besar pengaruhnya. Setiap gerak kehidupan komunitas muslim di daerah itu tidak bisa dilepaskan dari figur seorang kiai. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap warga Madura di Situbondo jika memiliki suatu keperluan baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi selalu dimintakan restu kepada kiai. Singkatnya, keberadaan kiai oleh masyarakatnya selalu dikaitkan dengan konsep barokah dan karomah sekaligus laknat dan kutukan. Bahkan berdasar konsep barokah dan karomah itulah figur kiai begitu dikultuskan oleh masyarakat sebagai pemilik kekuatan adi-duniawi yang wajib dipatuhi tanpa syarat serta wajib dibela dengan taruhan jiwa.
KH Zakki Abdullah, 26, Pimpinan Pesantren Mamba'ul Hikam Panji Kidul yang merupakan cucu KH Achmad Sofyan menuturkan bahwa kuatnya pengaruh kiai terhadap masyarakat pengikutnya sedikitnya terlihat saat pecahnya kerusuhan 10 Oktober 1996. Saat itu, ungkap Kiai Zakki, umat Islam di Bondowoso yang mendapat informasi palsu bahwa KH Achmad Solyan merestui kerusuhan itu sudah akan berangkat sebanyak tiga truk. "Tapi saat mereka menelpon ke pesantren dan dijelaskan bahwa Kiai Sofyan tidak tahu-menahu dan tidak terlibat kasus itu, maka rombongan itu membatalkan keberangkatannya," ujar Kiai Zakki.
KH Kholil As'ad, 26, Pengasuh Pondak Pesantren Walisango yang merupakan putera almarhum KH As'ad Syamsul Arifin menuturkan bahwa saat kerusuhan itu pecah ia mendapat telepon dari berbagai tempat seperti Sumenep, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Telepon itu ungkap Kiai Kholil, rata-rata meminta penjelasan apakah dirinya terlibat kasus kerusuhan itu atau apakah ada tokoh kiai yang ditangkap aparat. "Saya katakan jika saya tidak tahu-menahu dengan kerusuhan itu. Saya jelaskan juga bahwa tidak ada kiai yang ditangkap. Dan kepada mereka saya minta untuk tidak ikut terpancing peristiwa yang belum jelas itu. Alhamdulillah, mereka bisa ditenangkan dan mematuhi ucapan saya," ujarnya. Demikianlah, akibat tidak didukung massa dari KH Achmad Sofyan dan KH Kholil As'ad, maka kerusuhan 10 Oktober hanya diikuti sekitar 2000 orang.