Para saksi mata menyaksikan bahwa massa rakyat dengan jumlah sekitar 2000 orang bergerak dari blok jalan satu ke blok jalan yang lain untuk melakukan perusakan dan pembakaran. Dalam tempo singkat, kota Situbondo diselimuti asap hitam. Warga kota yang umumnya orang Madura keluar dari rumah masing-masing untuk menyakSikan gerakan massa yang bergerak sambil meneriakkan yel-yel diselingi pekikan takbir. Dan tak lama sesudah itu, pecah pula kerusuhan di Panarukan, Besuki, Asembagus, dan Banyu Putih yang berjarak antara 20 – 50 kilometer dari kota Situbondo.
Bagi warga Situbondo -- baik dari kaum muslimin maupun non-muslim -- pecahnya kerusuhan itu benar-benar mengherankan. Karena kalau kerusuhan itu dipicu dari PN Situbondo yang berkaitan dengan proses peradilan terdakwa pelecehan agama Saleh, bagaimana mungkin itu dikaitkan dengan pembakaran rumah ibadah dan bangunan milik umat Kristen dan Katholik yang umumnya warga keturunan Cina. Dan sejauh itu, dalam kasus Saleh tidak didapati tanda-tanda sedikit pun terjadinya masalah yang bisa memicu pecahanya konflik antara umat Kristen-Katholik di satu pihak dengan umat Islam di lain pihak.
Dr. Amir Santosa, pengamat sosial dari Universitas Indonesia yang berasal dari Madura menyatakan pula keheranannya atas pecahnya kerusuhan tersebut. Sebagaimana ditulisnya pada harian Kompas, 14 Oktober 1996, Amir Santosa mengaku heran bahwa masyarakat Situbondo yang beretnis Madura itu bisa melakukan tindakan anarkis. "Sepanjang sejarahnya, orang Madura kalau menyelesaikan masalah selalu dengan jantan. Mereka tidak pernah melakukan tindakan anarkis seperti itu," tulis Amir.