Hari-hariku di LP Tanjung Gusta
Senin,
12 September 1994
------------------------
Seusai mengikuti kebaktian, aku dan Tengku Rachman mengada-
kan diskusi
yang mendalam di teras mesjid LP. Kami berdua mendis-
kusikan
apa misi kami masing-masing, dan apa yang dapat dilakukan
bersama-sama.
Aku melihat dari kepentingan rakyat banyak dengan
skop nasional,
Tengku Rachman melihat dari kepentingan rakyat
Aceh sebagai
daerah istimewa.
Dari percakapan kami yang berlangsung kira-kira 2,5 jam itu,
aku menangkap
sikap yang dilontarkannya. Bagi dia Pancasila dan
UUD 1945 adalah
tidak masalah, atau dia tidak keberatan. Yang
mereka keberatan
adalah kenyataan yang ada di Aceh yang jauh dari
keadilan dan kebenaran
apalagi bila Aceh dipandang sebagai daerah
istimewa yang
Islam akar budayanya. Yang tidak dapat diterima itu
jalah : 1. Sumber
kekayaan dieksploitasi, tapi bukan rakyat Aceh
yang menikmati.
2. Tidak diperlakukan propinsi Aceh sebagai
daerah istimewa
yang islam akan budayanya. 3. Bertumbuhnya pela-
curan dan semacamnya
di Aceh.
Bertitik tolak dari pembicaraan kami, UU NO.5 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah sudah harus diubah,
disesuaikan dengan
semangat UUD 1945. Adanya daerah istimewa dan
perlunya diatur
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ini kami
sepakati.
Cita-cita perjuangan saya yang saya tuangkan dalam buku
"MENUJU PERUBAHAN
SISTIM POLITIK MENURUT UUD 1945" keseluruhannya
dapat diterimanya.
Sorenya Silalahi komandan jaga memberitahukan, istriku dan
anak-anak bertelepon,
tetapi tidak bisa disambungkan kepadaku.
Menurutnya, tahanan
tidak boleh menerima telepon. Itulah aturan
yang dipesankan
Kalapas (Kepala Lembaga Pemasyarakatan).
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)