Hari-hariku di LP Tanjung Gusta
Senin, 19 September
1994.
-------------------------
Sesuai dengan pesan Jaksa, Jam 6:30 pintu sel kami sudah
dibuka.
Aku sport pagi sejenak, dan seorang pegawai L.P memberi-
tahukan didepan
sudah banyak polisi, perasaanku agak tegang juga.
Selesai sarapan sekira Jam 07.30, pegawai L.P datang membe-
ritahukan berangkat
sidang padahal biasanya orang orang berangkat
sidang adalah
Jam 10:00. Aku berdoa dan menyanyi lagu faforitku
"Betapa hatiku",
aku meneteskan air mata. Tuhan terlalu berat
beban ini kupikul
kataku. Kalau bisa angkatlah kuk ini, kuatkan-
lah dan sertailah
aku hambamu, berikan hakim majelis V.D Napitu-
pulu, K.L Nainggolan,
dan Netty Barus bertindak yang benar. Aku
tahu peradilanku
ini adalah suatu panggung sandiwara, dimana aku
ikut bertindak
sebagai aktor yang dipaksa dan terpaksa. Aku
keluar blok,
semua tahanan kusalami mohon doa.
Sesampai aku di meja misteri, kudapati disana Jaksa Manik
dan Herry, dan
satu lagi yang kemudian kuketahui namanya Mayor
Pol. Panjang
yang memimpin perjalanan. Lewat H.T mereka tetap
membuat kontak
ke Pengadilan apakah sudah siap. Jam 08:30, kami-
pun berangkat.
Beginilah protekolernya. Didepan sekali ada 6 sepeda motor
lalu lintas yang
digelar cheef. Dibelakangannya satu unit mobil
sedan patroli
menyusul mobil tahanan jaksa, di dalamnya ada
polisi dua orang
dan satu orang berpakaian sipil. Menyusul mobil
kami, dibelakang
kami masih ada 6 mobil termasuk mobilnya penga-
caraku Siburian,
dan puluhan sepeda motor. Mobil yang kami tum-
pangi adalah
Jeep Taft, disamping supir adalah Mayor Pol. Pan-
jang, kami barisan
kedua, aku di tengah, dikiriku Jaksa Manik dan
dikananku Jaksa
Henry.
Rombongan meluncur melewati pasar Sunggal Jl. Gatot Subroto,
S. Parman, Gajah
Mada masuk Diponegoro dan pengadilan. Perjalanan
lancar, tetap
ada monitoring Lewat H.T, dan disepanjang jalan
banyak orang
yang memperhatikan.
Sesampai didepan Pengadilan, masyarakat sudah ramai dan
mengejar mobil
tahanan Jaksa. Mereka terutama wartawan dan Crew
T.V tertipu.
Aku berdoa sejenak, kuatkanlah dan sertailah aku
hambamu, semua
ini demi kemuliaanmu.
Keluar dari mobil aku dikapit oleh dua orang polisi yang
tinggi tegap,
J Butar-butar dan Binsar P. (Pakpahan) . Sampai-
sampai kakiku
rasanya tidak menqinjak tanah. Wartawan yang hendak
memfhoto dan
menyalam ditolak secara kasar. Ku dengar juga teria-
kan "hidup Muchtar
Pakpahan".
Kami istirahat sejenak dikamar istirahat, yang menurut Jaksa
dipersiapkan
khusus buat aku. Di dalam ruangan itu datang juga
Kejari Medan
Budiharjo Siraj dan Aspidum KejatiSu Hutajalu.
Sebelum sidang
aku ke toilet buang air kecil. Juga dengan tangan-
ku di kapit,
aku di hadapkan kehadapan hakim. Aku lihat ruangan
penuh sesak,
petugas keamanan, wartawan dan beberapa diplomat.
Aku tidak melihat
keluargaku di dalam. Hatiku mulai protes.
Sidangpun di mulai, denqan pertanyaan formal, sehat, nama,
kelamin, umur,
pekerjaan, kebangsaan, alamat, dan agama. Ketika
Hakim Ketua mempersilahkan
Jaksa membacakan dakwaannya, aku
tunjuk tangan
"kuminta agar keluargaku terlebih dahulu diizinkan
masuk".
Ketua mengatakan "tidak ada diatur dalam acara". Aku
tandaskan "aku
tidak bersedia sidang bila keluargaku tidak dima-
sukkan".
Akhirnya diizinkanlah masuk, mertuaku, kakakku, adikku
dll. Ketua
bertanya "apakah mereka keluarganya ? kujawab "ya" dan
ketawa.
Dilanjutkan dengan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa.
Tim Jaksa lengkap,
Marbun, Marpaung, Panjaitan dan Indra Pribadi
Mulai jaksa membacakan surat dakwaan, Mahyudanil dan Samekto
meminta agar
sidang diundurkan satu minggu untuk mempersiapkan
eksepsi.
Akhirnya hakim memberi waktu sampai Hari Kamis, 22
September 1994.
Tim Penasehat Hukum yang duduk di depan, Samokto,
Mahyudanil, Mangasi
Simbolon, Sabam Siburian, dan Posman Nababan.
Sidang ditutup, dan diberi waktu kepada terdakwa bertemu
dengan keluarganya
"ucap ketua". Sejenak aku diberi waktu bertemu
dengan keluarnya,
aku peluk mertuaku, dan kakakku. Setelah itu
aku dituntun
keluar sidang, juga dalam keadaan dikapit. Kepada
mertuaku dibilang
sudah, ibu tunggu didepan. Ternyata aku dibawa
pulang lewat
pintu belakang, dan kembali ke rutan L.P. Keluargaku
mereka tipu pikirku.
Sepanjang jalan, aku tetap waspada, tegang dan batinku
berontak tentang
cara pengamanannya. Ku usahakan berdamai dengan
batinku, aku
harus kuat, ini adalah teror mental bisikku, tetapi
tetap batinku
tidak mau berdamai.
Setibanya Jam 10.00 di L P Pegawai-pegawai L.P keheranan,
soalnya tahanan
lain yang hendak sidang hukum berpangkat, kami
sudah selesai
sidang. Mereka pegawai dan Jaksa bergumam pengawa-
lan seperti itu
hanya kepada Presiden dan Wakilnya. Lalu ada yang
meneruskan "mudah-mudahan
beberapa tahun lagi kepada Pak Muchtar
diberlakukan
seperti itu kemanapun Bapak pergi. "Amin" sambutanku
dalam hati.
Isteriku tiba di pengadilan kira-kira jam 12.00, sehingga
ia tidak sempat
lagi melihat persidangan itu. Sorenya jam 15.00
ia baru datang
ke L.P bersama beberapa orang ibu temannya dari
Jakarta.
Aku peluk isteriku, air mataku menetes, ah, ... air
mataku semenjak
di Poltabes jadi gampang menetes. Kedatangan
isteriku bersama
kurang lebih 50 rombongan adalah hendak mengha-
diri pesta rohani/wanita
HKBP se Indonesia di Bandar Baru, yang
akan berlangsung
kamis 22 s/d Minggu 25 September 1994. Isteriku
bersama temannya
pulang dari L.P sekira jam 16.00.
Malamnya cara pengawalan itu menjadi beban pikiranku. Menga-
pa aku harus
dikapit. Rasanya semalaman aku sulit tidur.
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)