Hari-hariku di LP Tanjung Gusta
Kamis, 13 Oktober
1994.
-----------------------
Aku hanya tertidur kira-kira dua jam kepalaku bagian bela-
kang dan bibirku
kibas seperti diimpus, dan mataku sulit dibuka
dan kakiku sulit
digerakan. Ketika jam 08.30 ada pemberitahuan
Jaksa penuntut
sudah datang, aku ke regitrasi memberi tahu,
mohonlah sidang
ditunda besok aku tidak sanggup sekarang. Aku
pergi ke selku
jam 10.00, aku di panggil ke dokter, dan aku
beritahukan perasaanku
dokter Sinar memberi resep lagi.
Selesai pemeriksaan dokter, aku diminta menghadap kalapas
Pak Poniman.
Kepada Pak Poniman aku minta jangan dipindahkan dari
selku, dan mohon
dibantu agar sidang diundurkan satu hari. Masih
sedang bicara
tim jaksa termasuk Aspidum Kejari dan dari kepoli-
sian datang.
Aku disuruh keluar, aku tidak dikamar Ka PLP, Sara-
gih jam 12.00
aku diperiksa lagi oleh dokter, dr. Latif, dr. Rusli
dan dr. Sinar.
Kepada mereka ku beritahukan perasaanku dan aku
kelelahan.
Tolonglah dokter, agar besok aku sidang.
Mereka memeriksa
tensiku dan perutku. aku pilu, sakitku dan
kelelahan, yang
diperisa tensi dan perut. Setelah itu aku pergi
tidur ke selku.
Di bloku kutemui James Hutapea, Amosi Telaamba-
nua dan Parlin
Manihuruk yang seharusnya sidang. Aku kaget nggak
sidang, mereka
jelaskan "kami tunggu sampai jam 11.30 mobil
penjemputan tidak
datang. Padahal nanti mobil pengap dan tidak
diberi makan.
Jadi kami bilang makan dulu, aku geleng-geleng
kepala sembari
membilang "bagus" tapi pasti mereka duga aku
dalangnya". Teman-temanku
hanya tertawa.
Jam 13.00, Kalapas Pak Poniman datang ke piket Blok F, aku
dipanggil kesana,
dengan langkah gontai aku dataang. Ia membujuk
agar aku bersedia
sidang. Aku jawab "saya tidak sanggup pak,
tolonglah sidang
diundurkan besok".
Jam 13.30 saat mulai aku tertidur, Jaksa Marpaung dan Pan-
jaitan disertai
beberapa pegawai LP datang ke selku. Mula-mula
Marpang membujuk,
karena ku jawab aku sakit dan akhirnya ia
memaksa.
"Kalan saudara tidak mau baik-baik, akan kami paksa".
Akhirnya aku
bergegas dengan pakaian apa adanya. Kepala ku pun
makin pusing
dan sulit dilaksanakan. Tetapi aku tetap sadar, ini
adalah bagian
dari teror pemerintah agar aku kalau bisa mati.
Ketika di pengadilan langsung dihadapkan ke persidangan, dan
Tim Penasehat
Hukum tidak ada lagi. Jaksa Marbun buka suara,
Saudara hakim,
terdakwa pura-pura sakit terbukti dari surat
keterangan dokter
latief, Sitipu dan Rusli (Polisi) yang mener-
angkan sehat.
Kepalaku makin pusing, hebat benar ketiga dokter
itu, hanya mengukur
tensi dan mengetok-ngetok perut dikatakan
sehat.
Dua minggu yang lalu juga dokter katakan sehat, ternyata
pingsan.
Dengan nada gerang dan marah, ketua majelis memerintahkan
pemeriksakan
terdakwa jalan terus, walau pun tanpa penasehat
hukum.
Pemeriksaan jaksa terus apa lagi perkara ini adalah perka-
ra ringan.
Aku diam saja, "pemeqang perlu bebas ngomong" pikirku.
Saksi keempat Hayati dipersilahkan masuk. Mulai dari luar
sampai kedalam
ia menagis dan tidak bisa tenang. Ia dalam kea-
daan menangis
terus memohon tolong jangan diperiksa sekarang.
"Saya tidak sanggup
Pak Hakim" pintanya. Jaksa menjelaskan saksi
baru terputus
perkaranya, dijatuhi hukuman tujuh bulan. Selanjut-
nya jaksa minta
sidang di schors 15 menit. Atas permintaan Jaksa
sidang dischors,
Hayati dibawa keluar untuk di tenangkan. Aku
pangggil kejam,
tak manusiawi, Hayati pun mau kamu paksa. Kusele-
saikan besok
sidang.
Jaksa gagal membujuk Hayati, sidang pun ditunda hingga hari
Senin, 17 Oktober
1994. Aku bersyukur sama Tuhan, doa ku dalam
tangisku didengar.
Masih otoriter yang diperlihatkan Hakim dan
Jaksa dapat dilimpahkan,
aku kembali dibawa ke L.P.
Dalam perjalanan aku pikir, aku bersedia Jum'at tetapi Jaksa
dan Hakim minta
Senin, Jaksa yang didengar Hakim, Kemarinnya
karena aku sudah
lelah, aku minta diundurkan satu hari, tidak
diberi Hakim.
Physikologi teror, mulai dari polisi terus dija-
lankan sama diriku.
Untunglah aku sadar itu dan malamnya pun aku
tidur nyenyak.
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)