Hari-hariku di LP Tanjung Gusta
Senin, 7 Nopember 1994.
-----------------------
Hari ini adalah hari bersejarah dalam kehidupan, aku akan
menerima vonis.
Aku sudah yakin aku akan dihukum, cuman berapa
tahun itu yang
belum kuketahui. Ada yang menyampaikan khabar aku
kan dihukum enam
tahun melebihi tuntutan jaksa tetapi ada yang
memberitahukan
tiga tahun hasil percakapan Ketua Pengadilan
Negeri Medan.
Berapapun hukumannya, aku sudah siap, aku tidak
gentar.
Mulai aku bangun dari tidurku jam 05.00 subuh, berdoa mem-
persiapkan diri.
Aku doakan juga agar keluargaku dipersiapkan
jangan ada yang
menangis, goncang dan menyalahkan Tuhan. Demikian
juga agar teman-temanku
seperjuangan di seluruh tanah air, jangan
ada yang gentar
lalu mengundurkan diri. Yang paling kutakutkan
adalah yang dua
di atas.
Selesai sport dan sarapan pagi, aku menuju pos pemberangka-
tan, walaupun
aku kurang tidur, perasaanku segar. Jaksa Manik dan
dua lagi temannya
sudah ada di sana menunggu. Jam 08.45 WIB kami
tinggalkan rutan.
Tiba di ruang tungguku, aku minta bertemu dengan Alamsyah
Hamdani.
Atas permintaanku itu, aku bertemu dengan Alamsyah dan
Luhut Pangaribuan,
aku peluk Luhut, mereka berdua menguatkan
mentalku. Kudengar
juga dari orang, bahwa minggu yang lalu ketika
ku membacakan
Nota Pembelaan, kabel loudspeaker dipotong, se-
hingga orang di
luar tidak bisa mendengar. Gaya security approach
di mana-mana sama.
Jaksa Tony bilang hidup, tetapi ternyata mati.
Sehingga Nota
Pembelaanku hanya didengar orang yang di dalam.
Jam 09.10, sidang dimulai membacakan vonis, dan selama
mereka membacakan
vonis 3 1/2 jam, mereka bertiga berganti-ganti.
Mula-mula V.D.
Napitupulu, diganti Netty Barus, kemudian K.L.
Nainggolan dan
kembali terackhir ke V.D Napitupulu. Semua pemba-
caan itu aku ikuti
dengan telaten, kalimat demi kalimat. Perha-
tianku mulai penuh
konsentrasi ketika V.D Napitupulu sudah menya-
takan sah dan
menyakinkan melanggar pasal 160 yo 64 (1) KUHP.
Lalu ditutup dengan
ungkapan "menghukum terdakwa tiga tahun
penjara".
Selesai V.D Napitupulu membacakan, langsung kujawab
"banding", saya
"banding".
Sebelum sidang ditutup, aku mohon agar aku dipindahkan
kembali ke L.P,
menyusuli permohonanku sebelumnya. Ketua Majelis
menjawab "karena
sudah vonis, bukan lagi urusan kami, nanti
diurus saja ke
pengadilan tinggi", lagi-lagi jawabannya seperti
jawaban intelijen.
Sesudah sidang ditutup, aku dibawa menghadap panitera pida-
na, di sana aku
menandatangani akte banding, didampingi Alamsyah
Hamdani dan Januar
Siregar. Atas tawaran Jaksa Manik, di waktu
inilah aku makan
sate padang.
Ketika mau pulang ke Rutan, ada kejutan. Sesudah aku selesai
menandatangi akte
banding, aku dibawa ke mobil tahanan, tapi aku
didudukkan di
dalam tahanan, tidak seperti biasanya di depan. Ini
gaya teror terakhir
dari Polisi . Aku tolak, tetapi dipaksa. Lalu
Jaksa Manik dan
Henry pun ikut duduk di dalam tahanan itu. Yang
menariknya Polisi
Binsar Pakpahan pula yang melakukannya.
Selama aku disidangkan,
Sersan Binsar Pakpahanlah yang namanya
sama dengan anakku
itu yang mengawal aku. Dan selama itu pula ia
tidak ramah, tersenyumpun
tidak. Itulah Polisi yang baik menurut
atasannya.
Saat itu kuterima juga dari Alamsyah surat dari Lane Evans,
anggota Kongres
Amerika. Dalam suratnya ia memberitahukan, 75
anggota Kongres
Amerika meminta Bill Clinton membicarakan hal
perkaraku dan
perburuhan Indonesia dengan Soeharto pada tanggal
16 Nopember 1994.
Hatiku agak terobati membaca surat itu.
Setibanya di Rutan, aku salami semua pegawai dan kuberitahu-
kan hukuman tiga
tahun. Ada pegawai seperti terbodoh dan tidak
percaya aku dihukum
tiga tahun. Setibanya aku di selku, kutulis-
kan dalam kertas
hari ini aku selesai studi S-4 di penjara, dan
aku berhasil menggondol.
N.P (Narapidana Politik) . Malamnya aku
membawa V.D Napitupulu,
Netty Barus dan K.C Nainggolan dalam
doaku, kumohon
Tuhan memaafkannya dalam perkaraku, tetapi mengin-
gatkan mereka
untuk kasus-kasus berikutnya. Kututuplah buku
persidangan.
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Hari-hariku di LP Tanjung Gusta)