KENANGAN RTP POLTABES MEDAN
===========================
Ditulis oleh:
Dr. Muchtar Pakpahan
Dari tanggal 13 Agustus - 1 September 1994, saya berada dalam
tahanan
kepolisian Medan. Apa yang saya alami dan lihat selama dalam
tahanan
saya ungkapkan dalam tulisan ini. Saya mengungkapkan apa ada
nya
kepada masyarakat mengetahuinya dan membuatnya menjadi pelajaran.
Chronologis
Hari Sabtu tanggal 13 Agustus 1994, seperti biasanya jam 05.30
wib saya bangun dan
membaca harian The Jakarta Post dan Kompas. Jam
06.30 saya mengantar
anakku Binsar dan Dartha ke sekolahnya, SMP 99,
dari sana mengantar
isteriku Rosintan Marpaung ke SMA Negeri 45, karena
di sana ia mengajar
bidang studi Fisika. Setelah itu saya pulang ke
rumah mempersiapkan
diri berangkat kerja.
Sekitar jam -7.15 wib, ketika itu seperti biasanya saya sedang
nyanyi-nyanyi lagu pujian
bagi Tuhan sambil menuju kamar mandi, saya
mendengar ada yang menggedor
pintu gerbang. Anjing saya bernama Brino
itu pun tidak mengonggong
pula, atau tamu itu yang punya ilmu menjinak
kan anjing. Entah
mengapa tidak seperti biasanya saya keluar, padahal
di rumah ada Nursannah
keponakan isteri saya dan Cornelus anak abang
saya.
Saya keluar, dan saya lihat Kapten Polisi Faisal An, Kasat Serse
Poltabes Medan berdiri
di depan saya. Saya cukup kenal dia, ia perwira
polisi yang cukup baik
sebelumnya. Lalu aku sapa dia "selamat pagi
Faisal, kok tumben,
aku ditangkap ya". Dengan agak gugup ia menjawab
"maaf saya hanya menjalankan
perintah, bapak ditangkap, kita segera
berangkat". Lalu
kuteruskan "Kitakan pada hari Senin itu (tanggal 8
Agustus 1994, red) sudah
ada kesepakatan untuk mencari waktu yang
cocok, apa alasannya
aku ditahan?" Faisal menjawab "Saya hanya
menjalankan perintah
pak".
Aku teringat 11 hari sebelumnya seorang perwira tinggi mengatakan
kepada saya "Pak Muchtar
bersiaplah, Pak Harto (Presiden, red) sudah
memerintahkan anda ditangkap".
Jadi kedatangan Kapten Faisal An hari
ini tidak mengejutkan
saya.
Faisal menyodorkan Surat Perintah Penangkapan No. Pol:
SPP/1160/VIII/1994/Serse,
tertanggal 12 Agustus 1994, yang ditandatangani
oleh Kol. Pol Drs. Chairuddi
Ismail. Dalam surat perintah penangkapan
itu, ada tiga orang
yang ditugaskan menangkap saya, yakni Kapt. Pol Drs.
Faisal AN, Serka Chairul
Bahri, dan Sertu Parmono.
Adapun cerita tanggal 8 itu adalah seperti berikut ini. Pada
hari Senin 8 Agustus
1994, berlangsung persidangan pertama mengadili
Riswan Lubis di Pengadilan
Negeri Medan. Saya bersama rombongan dari
Jakarta (DPP SBSI dan
beberapa LSM) ada di sana, menghadiri persidangan
itu. Rupanya ketika
sidang berlangsung, rombongan Jakarta Medan,
mengadakan aksi spanduk
di luar pengetahuan ku. Menurut koran, itu
pulalah pendorong polisi
menahan aku, sebab polisi beranggapan akulah
yang mengorganisir aksi
itu. (Seusai sidang Riswan Lubis staf LBH
menyerahkan Surat Panggilan
No. Pol: SPARG/2463/VIII/94/Serse, tertanggal
3 Agustus 1994, yang
ditandatangani Kasat Serse Kapt. Pol. Drs. Faisal
AN, yang memanggil saya
menghadap Poltabes hari Kamis, 11 Agustus 1994,
jam 09.00 wib.
Ketika aku keluar dari ruang sidang, aku bertemu dengan
Kapt. Pol. Drs. Faisal
AN yang sedang duduk-duduk di sana, lalu aku temui
dia, dan kukatakan "Dik
Faisal hari Kamis ada urusanku, bagaimana kalau
hari ini atau besok
diperiksa". Lalu dia jawab "nggak bisa sekarang
dan besok, kita cari
aja waktu yang cocok". lalu kutambahkan "kalau
begitu nanti saya akan
menelpon". Aku bermaksud akan menelponnya hari
Sabtu, tetapi paginya
aku sudah ditangkap.
Kapt. Faisal menegaskan "Kita segera berangkat". Aku hendak
memberitahukannya kepada
teman-teman, ketika hendak kuhubungi lewat
telepon, pesawat telepon
yang ada faxcimilnya sedang ngadat, sedangkan
yang satu lagi kuncinya
dibawa ke sekolah. Ngadatnya pesawat itu
apakah rusak alamiah
atau direkayasa, aku tidak jelas mengetahuinya.
Lalu aku meminjam telpon
tetanggaku yang baik, mas Bandy. Dari tempat
itulah aku beritahu
LPBHFAS, DPP SBSI, Adnan Buyung, Herman Van der Laan,
Luhut Pangaribuan, Moxa
Nadeak, Panda Nababan dan Valentine Suazo.
Sementara Kapten Faisal AN sudah mendesak agar segera berangkat.
Setelah aku selesai
bertelepon, aku berdo'a minta kekuatan dan minta
hikmat kebijaksanaan.
Saat itulah Yono, asistenku datang, segera
kuberitahukan keadaan
yang sedang terjadi. Lalu Yono bilang "sebaiknya
aku jemput ibu dan anak-anak",
dan kujawab "usulanmu itu baik".
Untungnya adalah aku
tegar dan tenang.
Sekitar jam 09.00 wib, isteri dan anak-anakku tiba di rumah, mula-
mula aku persiapkan
anak-anakku, aku bilang "ayah akan ditahan oleh
pemerintah, mungkin
lama. Kamu tidak usah malu dan kecut, yang ayah
kerjakan adalah berjuang
untuk menegakkan keadilan, sebagaimana Firman
Tuhan. Kamu tahu
Tuhan mengangkat ayah dari lumpur kehinaan dan
kemiskinan hingga seperti
sekarang, dan tanda terima kasih ayah kepada
Tuhan, ayah berjanji
akan berjuang untuk membela kepentingan rakyat
kecil". Air mataku
hampir menetes, tapi kutahan, aku harus tegar di
hadapan anak-anakku.
Syukurlah, isterikupun tidak tegang. Ia menyuruh memanggil ketua
RT
dan RW, Sianipar (orangtua
dan sahabat rohani kami), dan adikku Bona
Pakpahan. Bersamaan
dengan mereka, datang pula sahabatku Advokat Leo
Simorangkir. Sahabatku
ini berdialog bagaimana supaya tidak harus
dibawa. Tapi kelihatannya
tidak mungkin. Teleponpun bolak balik
bedering meminta penjelasan,
sementara kami belum bisa menjelaskan
pesawat apa dan jam
berapa.
Setelah aku mandi, aku sarapan, dan kamipun bersiaplah berangkat.
Bapak Sianipar yang
kupanggil tulang, memberangkatkanku dengan do'a.
Hari itu sebenarnya ada dua acaraku. Jam 10.00 wib aku mengikuti
rapat bersama MPH-PGI
dan mulai jam 16.00 wib aku akan mengikuti
pertemuan LSM secara
nasional di hotel Green Feel di Bogor. Semua itu
terpaksa tidak diikuti,
kamipun berangkatlah menuju Medan.
Rupanya polisi mempersiapkan dua mobil, dengan personil yang kalau
tidak salah hitung ada
11 orang. Aku dimasukkan dalam mobil kijang,
di dalamnya ada 6 polisi
pakaian preman, dua orang berambut gondrong.
Kaget juga aku ketika
kulihat ada polisi yang berambut gondrong. Lalu
sepintas kupikir, rakyat
tidak boleh berambut gondrong kecuali polisi.
Ketika menuju mobil, aku tanya Kapten Faisal, apakah kita satu mobil?
Dijawab "Kita janga
dilihat orang akrab, tidak baik". Mulai saat itu
aku merasakan ada perubahan
sapaan. Lalu aku tebak, aku akan ditahan.
Semua kami ada tiga mobil menuju airport. Satu mobil lagi Kapt.
Faisal AN dan anak buahnya,
satu mobil lagi berpenumpang isteriku,
adikku Bona, Sunarti
dan Yono, sedangkan Leo Simorangkir tidak ikut.
Perjalanan kami menuju airport, melalui jalan pemuda, terus masuk
jalan tol layang miliknya
mbak Tutut itu. Mobil kami dibawa sekencang-
kencangnya. Sulit
juga kutebak mengapa harus kencang, sehingga rombongan
keluarga agak sulit
mengikutinya.
Setiba di airport Sukarno Hatta, aku melihat beberapa wartawan sedang
menunggu. Dalam
keadaan tidak diborgol dan polisinya tidak berpakaian
dinas, kami berjalan
melewati hiruk-pikuknya manusia di airport. Sepertinya
tidak terjadi apa-apa.
Setelah kira-kira 15 menit kami di airport, penyakit sinusitisku dan
maagku terasa makin
kumat. Perutku mual, kepalaku pusing, dan ingus
meleleh dari hidung.
Karena tidak tertahankan, aku keluar airport membuang
ingus. Semua polisinya
mengikuti keluar, kecuali Kapten Faisal agak tenang
memandang dari kejauhan.
Jam 12.20 wib, kami dari peron bergegas menuju pesawat. Kamilah
penompang yang terakhir
masuk ke dalam pesawat.
Selama penerbangan dua jam menuju Medan, pikiran dan perasaanku hanya
dibebani oleh sinusitis
dan maagku. Sedangkan mengenai perkara tuduhan
pasal 160 Yo 510, aku
tidak begitu pusing. Sebab akut tidak mengetahui
unjuk rasa buruh 14
April 1994, apalagi mengorganisirnya. "Bapa Surgawi
pasti menunjukkan kebenaran".
Walaupun sudah ada dari kalangan dalam
yang memberitahukan
bahwa aku akan ditangkap, itu sudah kebijakan
pemerintah, namun aku
tidak begitu percaya, sebab aku sangat yakin adanya
kebenaran dan keadilan
hukum. Pokoknya aku yakin tidak ada dasar menahan.
Kenyataannya, segunung
keadilan dikalahkan dengan segenggam kekuasaan.
Selama kami menunggu penerbangan, ada dua hal penting yang sempat
kubicarakan. Pertama
mengenai SBSI. 1. Aku tandatangani surat menunjuk
Sdr. Sunarti menjadi
Pejabat sementara Ketua Umum DPP SBSI, 2. Aku tunjuk
sdr. Abdul Razak (salah
seorang Ketua DPP SBSI) menghadiri sidang ICFTU/
APRO (Serikat Buruh
se Asia Pasifik) di Seoul yang berlangsung 24-26
Agustus 1994, yang seyogyanya
aku hadir di sana selaku Ketua Umum DPP
SBSI, 3. Ku koordinasikan
keberangkatan Dhia Prakasa Yudha ke Bombay,
menghadiri sidang Serikat
Buruh Sektor Penerangan, 25-26 Agustus 1994.
Kedua aku mengkoordinasikan
siapa menghadiri sidang perkara warisan di
Denpasar. Untuk
kedua ini aku belum berhasil. Jelasnya perkara ini
merisaukan hatiku sepanjang
penerbangan dan selama ada di Medan.
Jam 14.30 wib, kami mendarat di Polonia. Kami keluar seperti penumpang
lain, aku jinjing tasku,
seperti tidak terjadi sesuatu.
Aku lihat teman-teman pengacara dan wartawan sudah menunggu di luar.
Di antara Penasehat
Hukumku yang ada di airport yang semapt kulihat
adalah guruku Dr. Henry
Lie A Weng, SH, Januari Siregar, SH, Wismar Purba,
SH dan Jinner Sidauruk,
SH, mereka kusalami satu persatu, lalu aku
masuk ke dalam mobil
yang telah disediakan polisi. Ternyata polisi yang
berpakaian preman juga
sudah banyak menunggu, di antaranya kukenal Letnan
Siregar.
Setibanya di kantor polisi, aku didampingi Januari Siregar, SH, Sabam
Siburian, SH, Alamsyah
Hamdani, SH, dan Jinner Sidauruk, SH dan diperiksa
oleh Sertu Parmono.
Seperti biasanya ia bertanya "apakah sehat dan
bersedia diperiksa?"
Aku jawab tidak sehat, tapi bersedia diperiksa.
Karena memang aku tidak
sehat, apalagi saat itu aku dihinggapi tiga
penyakit, sinusitis,
maag ditambah lagi radang kerongkongan.
Selama dalam pemeriksaan itu, terlintas sesuatu keheranan di pikiranku.
Pertanyaan yang dimajukan
adalah sekitar keterlibatanku pada unjuk rasa
dengan poster di Pengadilan
Negeri Medan, hari Senin 8 Agustus 1994 ketika
sidang Riswan Lubis,
sekretaris DPC SBSI Medan dimulai. Aku jawab "aku
memang mengetahui mereka
datang ke Medan (SBSI dan LSM), tapi aku tidak
mengetahui kalau mereka
membuat poster. Yang menjadi keherananku ialah,
surat panggilan tertanggal
3 Agustus 1994 memanggil menghadap tanggal
11 Agustus 1994, adalah
untuk meminta keterangan seperti sebelumnya.
Namun karena aku tidak
dapat hadir tanggal 11 Agustus itulah sebagai
alasan mengapa aku ditangkap,
tidak memenuhi panggilan polisi. Padahal
yang ditanyakan bukanlah
mengenai kasus unjuk rasa 14 April 1994, tapi
kasus unjuk rasa di
Pengadilan tanggal 8 Agustus 1994. Atas keherananku
tersebut lalu aku mengambil
kesimpulan, ini adalah rekayasa agar ada
alasan menangkap dan
menahan.
Selama aku diperiksa sore dan malam itu, ada seorang bernama Lettu
Pol. Rusmadhi, kepala
OPS Serse, yang duka menteror dan memanas-manasi.
Pandangannya, sikapnya
dan cara ngomongnya, cocoklah gaya polisi intelnya
Nazi Hitler atau sekurang-kurangnya
PID, intel polisinya Kolonialisme
Hidia Belanda.
Pikirku "mungkin ia dipersiapkan untuk itu", lalu
kuusahakan setenang
mungkin menghadapinya. Isterikupun dua kali
menangis diterornya.
Selama pemeriksaan berlangsung sekitar lima jam, aku tidak pernah
lagi bertemu dengan
Kapten Pol Drs. Faisal AN. Setelah kurenung-
renung perkenalanku
dengan dia, aku pikir ia memang cocok menjadi
Kapolri dalam sistem
yang sekarang. Sayang dia tidak TNI-AD, kalau
tidak ia juga pantas
menjadi Pangab.
Sekitar jam 22.00 wib malam, pemeriksaan dinyatakan selesai, dan
semuanya sekitar soal
unjuk rasa di Pengadilan Negeri Medan, Senin,
8 Agustus 1994.
Akan tetapi bukannya aku diperbolehkan pulang,
melainkan ditahan.
Keluarlah Surat Perintah Penahanan No. Pol:
SPP/594/VIII/94/Serse,
tertanggal 13 Agustus 1994, ditandatangani
oleh Kapt. Pol Drs.
Faisal AN. Pengacaraku mencoba bernegosiasi,
tetapi gagal.
Menurut Pengacaraku Faisal hanya berkata "Maaf, ini
di luar wewenangku".
Surat itu disodorkan oleh Sertu Parmono agar
kutandatangani.
Dalam surat perintah itu tertera kubaca "penahanan dilakukan
karena diduga telah
melakukan tindak pidana di muka umum menghasut
supaya melakukan perbuatan
yang dapat dihukum, tempat " Jl.
Mangaan III Lorong Benteng
No. 106 Medan, waktu, siang hari, tanggal,
bulan Desember 1993
atau Januari 1994, pasal yang dilanggar 160 JO
55 ayat (1) Sub 1 e
KUHPidana. Setelah kubaca secara cermat, aku
seketika mengambil kesimpulan,
alasan yang dikarang-karang, ini soal
kekuasaan bukan soal
hukum. Karenanya aku tidak bersedia
menandatanganinya.
Lalu dibuatlah Berita Acara tidak bersedia
menandatangani Surat
Perintah Penahanan.
Sekitar jam 22.30 wib, aku dibawa menuju RTP (Rumah Tahanan Polisi)
Medan. Aku di
sana diterima Letnan Sibuea dan Purba. Aku disuruh
buka baju dan celana
panjang, buka jam tangan dan tinggalkan tas, dan
disuruh memakai baju
dinas tahanan warna biru donker, nomor 042.
Tidak boleh bawa buku,
tidak boleh bawa alat tulis, sepatu dan
sandal harus ditinggalkan.
Aku lakukan tawar-menawar, aku mohon agar aku diperkenankan membawa
hanya buku. Akhirnya
diberikan, aku bawalah buku-buku: 1. Alkitab
dan renungan harian
HKBP-SSA, buku rohani, AD/ART SBSI, 2. Dili
Massacre Lies Exposed,
60 halaman karangan George Aditjondro, 3.
The Indoensia Business
Library, 147 halaman, karangan Richard I Mann,
4. Strategi Nonviolent
Conflict, 350 halaman, karangan Peter Ackerman
dan Christappoher Kruegler.
Bahan itulah menyertai aku masuk menuju
RTP. Ketika itu
aku katakan ke pak Sibuea, apakah ada rencana
membunuh aku seperti
Sukarno lewat pengekangan beberapa hal? Sibuea
hanya berkata "Saya
hanya menjalankan aturan", akhirnya aku dibolehkan
membawa buku-buku tadi.
Ketika pintu besi RTP dibuka dan aku dipersilahkan masuk, sejenak
aku panggil Tuhan Yesus
"kuatkan aku menahan segala cobaan ini, aku
ada di sini karena NamaMu,
berjuang untuk rakyat kecil, jangan Engkau
tinggalkan daku".
Aku melewati pintu RTP dengan perasaan yang kuat
dan tegar.
[Prev: Penjara dan Iman]
[Next: Pengalaman Menarik]
[Main Page]
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Kenangan RTP Poltabes, Medan)