Ketika aku memasuki RTP dengan seragam bertuliskan "TAHANAN
POLTABES MEDAN" 042,
semua para tahanan di dalam berbaris di
lorong tengah dan berucap
selamat malam pak Muchtar, selamat
datang, dan kusambut
selamat malam dan selamat bertemu, seterusnya
aku masuk blok C, di
sanalah aku jadi anggota. Mereka mengelilingi
aku di sana, satu di
antaranya kukenal, Pinta Tarigan, teman
kuliahku dulu di Fakultas
Hukum USU Medan. Dari pembicaraan
sebentar, aku tangkap
kesan, mereka cukup akrab dengan namaku.
Aku meminta izin mereka,
aku berdo'a "kuatkanlah aku Tuhan,
seperti hambamu Paulus
yang terpenjara". Setelah amin, kami masih
teruskan ngobrol-ngobrol
tentang situasi di dalam tahanan.
Sedikit kugambarkan suasana RTP Poltabes Medan. RTPnya
terdiri dari lima blok,
blok A untuk wanita waktu itu dihuni
14 orang, blok B VIP
(katanya kamar itu dibayar kalau mau di sana,
terjamin tidak tersiksa),
waktu itu dihuni 4 orang semua Cina,
blok C dihuni 21 orang
pria, blok D dihuni 20 orang pria dan blok
E dihuni 18 orang.
Masing-masing blok terdiri dari tiga ruangan,
dua ruangan besar 4
X 8 m, satu lorong 2 x 10 m, ditambah 6 ruang
kecil yang hanya muat
satu orang, dan dua kamar mandi kecuali
blok C tidak ada airnya.
Setiap blok dipimpin oleh seorang Kepala
Ruangan, blok C waktu
itu dipimpin di Kumis (Ray) mulai tanggal
16 diganti oleh Aceng.
Blok D dipimpin Pasaribu, mulai tanggal
18 tidak ada karena
dilebur dengan blok C. Blok E dipimpin Pinta
Tarigan, mulai tanggal
24 Agustus diganti Pangaribuan.
Inilah kehidupan baruku, sesak, bau dan pengab. Banyak di
antara teman-temanku
bajunya sudah lama tidak dicuci, dan banyak
juga sudah lama tidak
bersikat gigi. Yang jelas, kepalaku mulai
pusing, ingusku tidak
berhenti menetes.
Jam 24.00 wib malam, petugas jaga menghardik sambil menggedor
pintu dan berseru "apel"
serentak semua berhamburan ke lorong, dan
menghitung tahanan dengan
berteriak barisannya masing-masing. Blok
C, satu, dua, tiga dst.
duapuluh satu. Lalu petugas menyatakan
"balik kanan" masuk
blok. Ini kuikuti dengan batin yang berontak
dan kepalaku tetap pusing.
Lalu aku menuju tempat tidur, aku buka
bacaan harian HKBP-SSA,
terambil dari Yesaya Bahasa Indonesia
"Ya Tuhan, pemerasan
terjadi padaku, jadilah jaminan bagiku".
Tetapi aku tidak mampu
membacanya dengan baik, sebab batinku tetap
berontak dan kepalaku
pusing.
Ada satu yang menggembirakan hatiku, teman-temanku itu menyedia
kan tempat bagiku.
Mereka semua sangat baik padaku, dan ada
beberapa orang berulangkali
menyatakan, "aku dapat wahyu bertemu
dengan Bapak rakyat".
Satu malaman aku tidak tidur. Di samping kepala pusing dan
ingus meleleh, badankupun
meriang seperti demam. Paginya jam 06.00
pagi, "apel, apel" seru
petugas penjaga. Akupun ikut berbaris,
blok C hitung, satu,
dua, tiga dst. duapuluh satu. Kemudian
dilanjutkan dengan sumpah
yang diucapkan secara serentak:
1. Sumpah maling, maling
bersumpah:
Dilarang
membunuh. Dilarang memperkosa. Dilarang mencuri barang
orang lain
yang lebih miskin dari pada kita, selebihnya boleh
apalagi
Cina.
2. Doa maling, maling
berdoa,
Hai malaikat
dan roh jahat datanglah engkau, berkatilah makanan
dan minuman
kami ini, agar kami dapat mencuri barang orang lain
sebanyak-banyaknya.
Hai malaikat
dan roh halus datanglah engkau melalui roh
silangkiap
nasohatudosan.
3. Keluh kesah polisi
Polisi
mengintip maling, tidak tidur, meninggalkan anak dan isteri,
akhirnya
malingpun tertangkap, diperiksa, dikirim ke Jaksa. Jaksa
disogok
agar ringan hukumannya. Bila tidak ada tangkapan polisi,
begini
saja kerja Jkas (sambil meggosok tangan ke kemaluan), apa
itu? ......
ngocok!!! selesai sumpah.
Lalu kami disuruh masuk ke blok masing-masing.
Jam 08.00 pagi, perutku lapar, katanya sarapan tidak ada. Jam 11.00
wib baru ada tongseng,
makan siang. Akan tetapi sahabatku Tarigan
sudah memesan sarapan
kami, dari Dewi penjual nasi di Poltabes. Kami
pun sarapan bersama.
Paginya aku tandang ngobrol-ngobrol di blok E, di mana Tarigan
menjadi kepala blok.
Aku tawarkan kepada mereka jasa apa yang dapat
kuberi kepada mereka.
Kami sepakati, pagi hari jam 09.00 - 11.00 kami
penyadaran hukum, malam
21.00 - 23.00 akan kuajari Bahasa Inggris.
Rupanya rencana ini
menjadi malapetaka baru bagi semua tahanan. Keluar
pengumuman semua tahanan
dilarang berkunjung antar blok lalu setiap
blok dikunci dan setiap
dua jam dibikin apel. Mulai ada tahanan dari
blok D dan E yang menggerutu,
sementara semua penghuni blok C merasa
bersyukur. Penghuni
blok C kutanya, apakah sebaiknya aku usul pindah
ke blok B (VIP)?
mereka semua bilang jangan pak!. SEbab dengan
adanya aku di blok C,
penganiayaan ala Gurkha tidak ada atau berkurang.
Sekitar jam 13.00 wib, aku lihat ada dua petugas masuk ke blok C,
aku lihat semua diam
dan ketakutan. Tak tahu apa pasalnya, ia
memukuli tiga tahanan,
mataku sendiri melihatnya lalu kutanya,
"mengapa dipukuli?"
jawab mereka "anak baru". Rupanya adalah menjadi
tradisi setiap anak
baru dikerjai oleh petugas jaga. Empat regu
petugas jaga, maka empat
kalilah anak baru dikerjai. Darahku rasa
nya mendidih ingin berontak.
Kuanggap ia juga menganiaya aku,
menganiaya HAM (Hak
Asasi Manusia).
Malam jam 20.00, apel! apel! Kamipun berbaris. Hitung! seru petugas.
Satu, dua, tiga, dst.
duapuluhsatu. Tetapi sudah setengah jam kami
belum disuruh bubar
masuk blok. Aku tanya si Kumis, Kepala blokku
"ada apa?" Dia
jawab "malam ini kita bayar uang strategi Rp. 15.000,
kurang Rp 7.500,- lagi.
Dan mereka bisikkan "Komandan yang ini
sangat kejam namanya
Rinaldi. Lalu aku maju ke depan, dari teralis
aku panggil dia, lalu
kataku "katanya kamu minta uang, temanku ini
kurang uangnya, di tasku
ada uang ambillah tasku biar aku yang bayar."
Tak kusangka ia marah-marah,
ia bilang "siapa minta uang hah?" Ia
pelototi ketiga kepala
blok. Terpaksa ketiga kepala blok menjawab
"tidak ada pak.... tidak
ada pak....". Akhirnya kami dibubarkan dan
Rinaldinya marah-marah
terus.
Sekitar jam 21.30, dua petugas masuk ke blok C, lalu memukuli
para tahanan.
Kayaknya hampir semua tahanan mendapat bogem mentah.
Ada pula di antara petugas
itu yang menanya namaku dengan suara keras.
Semalaman aku tidak
bisa tidur, walaupun aku telah berdoa, minta
kemampuan dan kesehatan.
Pusingnya kepala ini makin menjadi-jadi.
Kursus bahasa Inggris
tidak jadi, karena apel berlangsung sekali
dua jam.
Senin 15 Agustus 1994, jam 06.00 wib subuh kami disuruh bangun,
apel dan membersihkan
ruangan. Jam 08.00 wib pagi apel, dilanjutkan
dengna tiga sumpah tadi.
Aku tanya "apakah sumpah seperti itu
dilafalkan setiap hari?"
mereka yang sudah ditahan 50 hari menjawab
"ya!".
Hatiku protes mendengar doa maling, sumpah maling dan keluh kesah
polisi itu. Berarti,
RTP Poltabes Medan menjadi tempat pendidikan
penjahat dan rasialis.
Segera aku protes, dan aku kirim surat ke
Kapolri. Sementara
kepalaku terus sakit dan pusing.
Sebelum memeri sarapan, Dokter RTP datang melakukan pemeriksaan.
Kepadaku ia berikan
resep, dan selanjutnya kuserahkan kepada Sumarty,
Bendahara DPP SBSI yang
saat itu kebetulan di Medan. Ketika ia sudah
tampak dari celah teralis
besi, kepada Komandan jaga Rinaldi aku
minta tolong agar obatku
diambilkan dari Sumarty. Malah ia marah-
marah dan berkata "semua
tahanan sama". Darahku mendidih aku tampar
dia sambil kuucapkan
"aku disini orang khusus, ngerti!? Polisi taik!!!
Polisi anjing!!!!
Kali ini aku yang beli sarapan pagi buat empat orang temanku.
Kami belum seelsai sarapan,
dua temanku kepala kamar dipanggil oleh
seorang petugas.
Mereka buru-buru menghabisi nasi ramesnya. Aku
lihat mereka berbisik-bisik
di sudut teralis besi, lalu kupanggil,
kutanya "ada apa?"
mereka menjawab "polisinya minta duit, tapi
nggak boleh diberitahukan
sama Bapak". Lalu ditunjukkanlah
catatan tagihan berjumlah
Rp. 22.000,-.
Selanjutnya rekanku itu bercerita, tiga kali dalam satu hari
setiap harinya kami
harus sediakan uang, sesuai dengan shift jaga.
Uang sarapan, makan
siang, uang makan/minum malam, uang strategi dan
uang kamar. Uang
strategi, diberikan kepada petugas jaga malam, agar
kami tidak distrap.
Uang kamar diberikan kepada petugas jaga siang
Rp. 3.000,- perorang
yang kedatangan tamu membesuk, selain uang
pintu dibayarkan ke
depan. Yang keluarganya datang tapi tidak kasih
uang pintu, maka ia
akan dihajar di dalam, seperti yang dialami
Duha, hari Jum'at, 26
Agustus 1994.
Tidak jelas kapan istilah itu mulai digunakan dan praktek seperti
itu berlangsung.
Tetapi tetap dipesankan kepada mereka "jangan
bilang dan jangan tagih
dari pak Muchtar Pakpahan".
Hatiku protes, "ini pemerasan" gerutuku. Tapi akar masalah makin
kudalami. Suatu
kali jam 02.00 pagi aku jalan keluar blok jalan di
gang RTP, aku lihat
petugas jaga tidur di kursi. Setelah itu
beberapa di atanranya
kutanya, dari itu tersimpul beberapa jawaban.
Gaji rendah seperti
yang sudah bekerja 10 tahun, ia terima sebulan
Rp. 240.000,- tidak
ada uang transport, uang makan, jaga tiap harinya.
Kalau masih harus diambil
darigaji yang Rp. 240.000,- itu untuk
fooding jaga, matilah
keluarganya pikirku, sementara tanggung jawab
mereka begitu besar.
Inilah keadaan yang dapat dimaklumi, tapi tidak dapat dibenarkan.
Harus dihentikan, tapi
harus ada jalan keluar. Masalah anggaran
harus diperbaiki.
Memasuki hari Selasa, 16 Agustus, perasaanku
sudah segar. Sekitar
jam 12.00 siang, aku dipanggil keluar ke kamar
Purba. Aku temui
isteriku tercinta di sana bersama ABdul Aziz, SH
dari LBH Medan.
Kami pelukan, ia menghiburku. Aku tanya keadaan
anak-anak, ia katakan
sehat-sehat, dan diserahkanlah tiga pucuk
surat dari ketiga anakku.
Selama aku membaca surat air mataku
berderai.
(berikut. Surat
anak-anak).
(3)
Catatan Journal Muchtar
Pakpahan di dalam sebuah sangkar yang tidak
diingininya, namun diterimanya
sebagai bagian dari impian perjuangannya.
KENANGAN RTP POLTABES MEDAN
===========================
Ditulis oleh:
Dr. Muchtar Pakpahan
Inilah bunyi surat anakku:
Surat Binsar: 15 Agustus
1994.
Semoga ayah selalu berada
dalam lindungan Tuhan Yesus Kristus, kami
semua yang di Jakarta,
baik-baik dan sehat-sehat. Waktu ayah membaca
surat ini, Binsar harap
agar ayah berteguh hati, Binsar dan adik-adik
sadar dan mengerti kenapa
ayah di tahan. Kami cuma bisa berdoa agar
pemerintah mau membebaskan
ayah lagi dan kembali kepada kita. Kami
tidak malu kalau ayah
ditahan. Kami tahu ayah ditahan karena
membela hak orang lain.
Dan perjuangan itu pasti ada pengorbanannya.
Kami justru bangga menjadi
anak pejuang. Binsar dan adik-adik
dengar kalau ayah sakit
maagnya kambuh. Semoga ayah lekas sembuh dan
sehat kembali.
Ayah harus menjaga kesehatan baik-baik.
Surat Johanes Dartha:
15 Agustus 1994
Halloo ayah apa kabar?
Kami di sini baik-baik saja. Tadi sore kami
tahu dari teman ayah,
bahwa ayah sudah dimasukkan dalam penjara.
Kami menganjurkan mama
ke sana untuk menemani ayah. Tadi di sekolah
banyak lho yang nanya
"kenapa ayah di penjara?" kujelaskan aja
seadanya. Ayah
kapan bisa pulang? Si Iyut sering nangis lho karena
mikirin ayah, dan ulang
tahunnya nanti nggak ada ayah sama mama.
Di rumah sepi lho, kami
selalu mendoakan ayah agar dapat lekas pulang.
Banyak telepon nanya
keadaan ayah. Cepat pulang ya yah?. Semoga
kita selalu berada dalam
naungan kasihNya.
Surat dari Ruth Damaihati
alias Yut:
Untuk ayah dipenjara.
Apakah ayah di sana
sehat-sehat saja? Kalau kami semua di rumah ini
sehat-sehat saja, walaupun
ada yang sakit sih. Ayah saya hari Rabu
17 Agustus 1994 mungkin
bisa merayakan ulang tahun dengan sendiri,
tapi tidak undang teman-teman.
Ayah maaf karena tulisannya acak
kadul. Ayah, kapan
sih pulang, masa mama sama ayah pergi sih, kan
rumah jadi sepi.
Ayah apakah teman-teman sehat? Kata mama ayah
sakit maag dan sinus.
Kami akan berdoa selalu untuk ayah. Mama bilang
satu bulan lagi ayah
disidangkan, jangan sedih ya yah. Selama ayah di
penjara kami di sini
tidak menangi akan ayah di penjara. Semoga ayah
selalu dilindungi oleh
Tuhan Allah Bapa kita.
Selain itu aku dapat juga surat dorongan dari rekan-rekanku,
Rekson Silaban, Tohap
Simanungkalit dan Sunarti. Doaku "semoga
Tuhan tidak membiarkan
semangat mereka lemah".
Satu harian aku menulis Pola Strategi Berjuang SBSI dengan
damai, sejahtera dan
tanpa kekerasan. Aku mendapatkan alat tulis dari
rekan-rekan di dalam
tahanan.
Malamnya kami mantapkan persiapan HUT RI 49. Aku banyak
melakukan tukar pikiran
dengan para tahanan tersebut.
Rabu 17 Agustus 1994 sekitar jam 10.00 pagi kami mulai upacara
peringatan HUT RI 49.
Aku bertindak sebagai inspektur upacara.
Pasaribu sebagai Komandan
upacara, Faisal membacakan teks proklamasi,
dan Khaalid memimpin
Indonesia Raya. Semuanya tahanan. Dalam kata
sambutan, aku memberi
nasehat agar jangan mengulangi melakukan
kejahatan lagi.
Selesai upacara resmi, kami lanjutkan dengan lagu-lagu per-
juangan, satu di antaranya
"Aku sudah tak tahan". ketika kami baru
melagukan bait ketiga,
polisi menghentikan yang syairnya "Aku sudah
tak tahan, selalu menderita
di negeri yang kaya raya merdeka, mari
kita berjuuang mari
kita bersatu, merebut hak kita dengan bersama-
sama, kita pasti, pasti
kita menang". Tidak boleh! Yang boleh hanya
lagu resmi, Halo-halo
Bandung, Maju Tak Gentar, Padamu Negeri, dan
Berkibarlah Benderaku.
usai upacara HUT dilanjutkan dengan kebaktian bagi yang
beragama Kristen.
Kebaktian ini dilayani dari Yayasan Pekabaran
Injil. Rasanya
hati ini dikuatkan dengan siraman Firman Tuhan.
Akan tetapi selesai kebaktian, kami dibuat apel blok (apel
di blok masing-masing).
Semua tahanan blok C ditanyai lagu itu
dilanjutkan dengan razia
alat tulis dan sikat gigi. Alat tulis
aku serahkan, tetapi
sikat gigi tidak. Aku ngotot tidak mau
menyerahkan sikat gigi.
lalu setiap blok dikunci dari luar.
Mulai ada yang menggerutu di blok D dan E, "Ini gara-gara
pak Muchtar" gerutu
mereka. Aku mulai was-was jangan-jangan
seperti Ir. Jannes Hutahean
dan Ir. Parlin Manihuruk diteriaki "Ir
taik, Ir kontol" maaf
atas provokasi petugas jaga. Ternyata tidak
sampai demikian, malamnya
kami dapat berkumpul lagi.
Aku merasa dekat dengan Tuhan, kesehatanku benar-benar pulih.
Yang paling mengherankan
sinusistisku hilang dengan sendirinya,
itulah kuasa Tuhan.
Kamis pagi sehabis apel, pasaribu menyalami aku, karena ia
dipindahkan menjadi
tahanan Jaksa. Ia menangis, sambil berkata
"mudah-mudahan kau cepat
keluar, Tuhan memberkatimu".
Tidak lama setelah Pasaribu pergi, diadakan apel, ternyata
ada kebijakan baru.
Aku dipindahkan ke blok D, dan di sana tinggal
sendirian. Penghuni
blok D sebelumnya dipindahkan ke blok C dan E.
Aku menghuni ruangan
baru sendirian. Di blok D ruangan besar,
sendirian, banyak nyamuk,
kecoa dan tikus. Itulah sahabatku tiap
hari, amat menyebalkan.
Tuhan yang Maha Pengasih memberi kekuatan
padaku, aku tabah dan
tidak stress. Waktuku kupergunakan mendalami
Firman Tuhan dan menulis.
Di blok D aku diasingkan sendirian. Kebanyakan petugas
prihatin aku ada di
tahanan. Beberapa di antara mereka setiap tugas
ada yang menyempatkan
diri mengobrol. Tetapi ada dua orang yang
overacting. Pernah
si Aseng (Liem King Liang) datang ngobrol dengan
aku, si Aseng langsung
distrap, disuruh berdiri 15 menit. Aku
sepertinya penderita
kusta dalam Perjanjian Lama.
Beban yang kudapat tidak hanya itu, isteri hanya boleh
menjenguk bila ada Kasat
Serta atau Wakapoltabes. Sabtu-Minggu (20-
21 Agustus), Kapten
Faisal AN tidak ada, praktis isteri tidak bisa
bertemu. Kemudian
tanggal 22 (Seninnya) ketika ia bertamu, air
matanya berlinang, ia
baru dipelonco oleh Letnan Rusmadhi. Besoknya
berairmata juga, baru
dipelonco Kapten Faisal. Aku bilang sama
isteriku: itulah namanya
kekuasaan, padahal tidak ada untung baginya,
malah menjadi beban
bathin di hari tua".
Tapi ada juga yang menggembirakan. Di samping petugas yang
baik-baik, hampir tiap
hari ada yang mengaku polisi dan tentara dari
tempat lain, sekedar
mengatakan kami berdoa untuk Bapak jangan
mundur. Bahkan
ada yang mengaku dari Nias, Tanah Karo dan Siantar.
Ada juga sesekali memberi
makanan atau minuman, sambil berkata "hanya
ini yang dapat aku buat".
Mereka-mereka itu aku bawa dalam doaku agar
diberkati Tuhan.
Pernah aku menerima sampai empat bungkus nasi, tanpa
menyebut pengirimnya.
"Diberkati Tuhanlah kiranya mereka".
Aku menangis setiap berdoa untuk anak-anakku. Binsar tetap
kudoakan agar dipangku
Bapa sebagai calon pelayanNya.
Rabu, 24 Agustus malam, sehabis berdoa malam, aku terdorong
menulis satu bait nyanyian
sebagai tambahan lagu "persembahan"
nyanyian mahasiswa UKI
ketika menghantar jenazah almarhum DR. Yap
Thiam Hiem, SH, Syair
yang kutambah itu ialah:
Betapa besarnya karunia Tuhan Yesus
Engkau mengangkatku, dari lumpur hina
Ref: Inilah janjiku kepadaMu Tuhan
Terima kasihku kepadaMu Tuhan
Segenap hidupku dan hikmat dari Mu
Kuabdikan Tuhan untuk keadilan
Sertailah Tuhan aku hambaMu
Kuatkanlah Tuhan seluruh umatMu
Nyatakanlah Tuhan kebenaranMu
Demi KerajaanMu
Satu lagi yang menguatkan hatiku, anakku Binsar mengirim pesan
telepon berbunyi "aku
baca korang, ayah mirip Nelson Mandela, kami
bangga, teguhkan hatimu
ayah, tetap berdoa sama Tuhan". Serentak
dengan itu aku tahu,
banyak rakyat yang berdoa untukku.
Minggu 18 Agustus, itulah kunjungan terakhir isteriku Rosintan
ke RTP. Kali ini
petugas jaganya bertindak baik, kami diberi ngobrol
di belakang sambil menikmati
sinar matahari. Kami ada dua jam mengo-
brol, inilah waktu terakhir
kami bertemu di RTP ini pikirku. Ketika
isteriku akan pulang
meninggalkan RTP, aku ciumi dia berulangkali dan
kuucapkan "kuatkan anak-anak,
isi semangatnya apalagi mereka memasuki
jenjang usia remaja".
Sungguh berkobar rasanya cintaku kepada isteriku
melebihi sebelumnya,
sambil berterima kasih kepada Tuhan, aku diberi
isteri yang tidak pernah
menuntut harta seperti perempuan pada umumnya,
bahkan tabah menderita
demi keadilan dan nasib rakyat kecil.
Setiba aku di selku, aku merasa getir, aku mencurahkannya ke
hadapan Bapaku di Sorga.
Aku merasa mendapat jawab dari Tuhan
"pengalaman Raja Daud
adalah teladanku". Aku menjadi kuat dan tegar
karenanya.
Mulai saat itu, tidak ada lagi keluarga yang boleh menjengukku.
Kapolri Jenderal Pol
Drs. Banurusman mengatakan statusku adalah
tahanan biasa, tetapi
aku hanya boleh dijenguk isteri dan pengacara
dengan izin Kasat Serse.
karena isteri sudah kembali ke Jakarta,
praktis tidak ada lagi
yang menjengukku.
Senin, 29 Agustus, selutuh polisi di lingkungan RTP kelihatan
sibuk. Rupanya
Irjan Polri Mayjen Pol. Drs. Bambang Daroendrijo akan
ke Poltabes Medan inspeksi.
Pesawat televisi dipasang, semua ruangan
dibereskan, kamipun
dibeli sabun, odol, dan lap lantai. Malamnya para
kepala ruangan diberikan
briefing, intinya kalau ditanya, jawabannya
adalah "kamu dapat sarapan
pagi teh manis dan roti, makan siang dan
malam pakai sambal,
dapat susu, sabun diberi kalau sudah habis".
Malamnya teman-temanku kumpul di ruang tengah menonton televisi,
aku tidak boleh sebab
ruangan dikunci gembok mungkin belum ada izin
dari kasatserse dan
Kapoltabes pikirku.
Selasa 30 Agustus, kira-kira jam 13.00 wib Irjen Polrinya
didampingi Kapolda dan
Kapoltabes Inspeksi. pertanyaan yang sudah
dipersiapkan sebelumnya
persis muncul. Terpaksa kepala ruanganpun
menjawab seperti jawaban
yang sudah dipersiapkan.
Ketika tiba ke ruanganku, dengan dibatasi has dan teralis Irjen
bertanya "Bapak sudah
makan" aku jawab "belum". "Mengapa" lanjutnya.
"nasi belum datang dari
luar" jawabku. "Mengapa?". "tidak dapat
nasi dari polisi?".
Kujawab "aku belum mampu makan nasi RTP" jawabku.
hanya itu yang terjadi,
iapun pergi. Inspeksi formalitas pikirku.
Setelah rombongan pergi, nasikupun datang, rupanya tertahan di
luar ketika Irjen datang.
Sebelum kedatangan Kapolri itu, pengacaraku datang, mereka
adalah guruku DR. Henry
Lie A Weng, SH, Sabam Siburian, SH, Alamsyah
Hamdani, SH, Januari
Siregar, SH, Posman Nababan, SH dan
Asmadinata, SH.
Kami bicara persis hanya 10 menit dan seperti biasanya
diawasi dua polisi.
"Luar biasa Poltabes yang disingkat Para tahanan
politis tak beres" ini
pikirku.
Alamsyah memberiku sepucuk surat dari Jakobus Kamarlow, Ketua
DPC SBSI Ujung Pandang.
Ia mengatakan "Ia dan kawan-kawannya tetap
berdoa buat aku, dan
mereka mengatakan makin bertambah rakyat yang
mengikuti SBSI".
Aku merasa terhibur.
Rabu, 31 Agustus, biliran petugas yang baik menjaga RTP. Jam
09.30 mereka memberi
waktu kepadaku mengambil sinar matahari. Ketika
aku melangkahkan kaku
di sana, pandanganku gelap dan berkunang-kunang.
Itulah akibat dari tiga
hari tidak melihat matahari.
Malamnyapun aku diberi kelonggaran menonton televisi, sulit
melukiskan kegembiraanku.
Pagi, Kamis 1 September 1994, aku yakin perkaraku akan dilimpah
kan ke Kejaksaan.
karena itu, akupun memmpersiapkan diri untuk dibawa
keluar.
[Prev: Chronologis]
[Next: Kasus-kasus Menarik]
[Main Page]
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Kenangan RTP Poltabes, Medan)