Memfungsikan Rutan
Mula-mula saya masuk di LP Tanjung Gusta Medan, saya melihat
ada beberapa
orang yang jalannya pincang. Kalau tidak kaki kanan
yang bermasalah
kaki kiri. Dari pertanyaan saya, semua mereka
menjawab penyebabnya
adalah polisi yang menangkap. Hal yang sama
saya temukan
juga di Rutan. Di LP sama di Rutan jumlahnya lebih
dari dua puluh.
Mekanisme atau gaya yang mereka alami hampir sama. Setelah
mereka ditangkap,
dibawa ke jalan toll Medan-Belawan atau ke
lapangan Golf
Helvetiah. Polisi yang membawanya menyuruh mereka
lari. Karena
mereka sudah tahu apa akibatnya, tidak ada yang mau
melarikan diri.
Kalau tidak mau, terjadilah tawar menawar yang
berikut. Polisinya
akan mengatakan, kakimu akan kami tembak
kecuali engkau
membayar peluru ini. Harga satu butir peluru
bervariasi mulai
dari Rp. 350.000- hingga Rp. 1.000.000,- per
butir.
Kalau mereka dapat membayar, kakinya tidak ditembak.
Sebaliknya, bila
tidak mampu membayar kakinya akan ditembak
sejumlah peluru
yang ada di pistol yang dimiliki. Jumlah tembakan
di kaki mereka
bervariasi, mulai dari satu butir hingga enam
butir.
Ada juga yang lain pengalamanya, yang ia berperkara dengan
Cina/pengusaha.
Kepadanya tidak lagi berlangsung tanya jawab,
karena menurut
dia, Cinanya sudah membayar pelurunya itu. Umumnya
yang bermasalah
dengan Cina/Pengusaha, pengalamannya akan lebih
pahit dari terdakwa
lainnya.
Setelah mereka mengalami penembakan, lebih lanjut mereka akan
diopname di Rumah
Sakit Pirngadi, tentu dalam pengawasan polisi.
Di sana mereka
diperas lagi. Ruangan Elang yang juga digelar
ruangan neraka,
itulah spesial kamar tersangka diopname. Bila
mereka tidak
mampu membayar sejumlah uang sesuai dengan permin-
taan polisi yang
menjaga, mereka akan mengalami penyiksaan. Ada
yang disuruh
minum air comberan, ada yang disuruh minum air
kencingnya sendiri,
ada yang lukanya disuntikkan dengan karbol,
dan ada yang
kakinya dipatahkan, atau bongkol kakinya dilepas.
Pegawai LP dan pegawai Rutan adalah juga saksi hidup atas
keadaan ini.
Karena di sanalaah berkumpul para terdakwa dan nara-
pidana yang jalannya
pincang akibat ditembak dan disiksa oleh
polisi.
Ada polisi saya tanya mengapa hal itu dilakukan. Polisinya
menjawab, penembakan
dilakukan kepada penjahat kambuhan atau
residivis agar mereka
jera dan tobat.
Memang bila saya amati, hampir semua yang ditembak itu
adalah residivis, yang
kejahatannya kambuhan dan sama. Umumnya
perampok, penodong dan
pencuri. Memang kenyataanya juga ada dua
orang yang tidak kambuhan,
tetapi ia bermasalah dengan Cina.
Bahkan yang dilakukannyapun
bersumber dari Cina yang tokenya itu
sendiri. Itulah
salah seorang diantaranya Alexam Hasibuan.
Tentu pertanyaan kritis yang harus dimajukan dan harus
dijawab, apakah jalan
yang ditempuh polisi merupakan kebijakan
kepolisian? Kalau
merupakan kebijakan kepolisian baik nasional
maupun daerah/regional,
apakah cara yang ditempuh itu benar dan
bijaksana dari
sudut sosiologis, agama, hukum dan Hak Azasi
manusia?
Tentu jawabnya secara singkat tidak benar dan tidak
bijaksana. Bahkan
melanggar sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa.
ini harus didiskusikan
dengan hati yang tenang dan jernih oleh
para pakar dan semua
kita yang peduli.
Kalau itu bukan kebijakan pimpinan kepolisian, hanya merupa-
kan aplikasi yang keliru
dari anggota kepolisian di lapangan,
berarti perlu ada mekanisme
pengawasan. Menurut saya ada dua hal
yang harus ditempuh.
Pertama, memfungsikan Rumah Tahanan. Setiap
orang yang ditangkap
polisi, 1 x 24 jam sudah harus diserahkan ke
Rutan. Kecuali
terhadap perkara-perkara tertentu dapat dilakukan
pengecualian.
Kedua, mengefektifkann pengawasan melekat yang juga
melalui keikutsertaan
masyarakat terutama pers.
[Prev: Kesan-Kesan/Realitas] [Next: Pembinaan Tahanan] [Main Page]