Sepertinya ingin membenarkan pernyataan Syarwan Hamid bahwa sebelum kerusuhan itu pecah telah diadakan rapat-rapat perencanaan, maka pihak aparat keamanan setempat menangkap seorang bernama Musawi yang dikenal sebagai aktivis LPS-NU Pagar Nusa. Padahal, Musawi itu sebenarnya bukan anggota Pagar Nusa. Menurut kesaksian banyak pihak, Musawi hanya orang awam yang buta huruf tetapi sangat suka kepada kegiatan-kegiatan kependekaran meski usianya sudah 71 tahun. Itu sebabnya, Musawi selalu mendatangi kegiatan-kegiatan Pagar Nusa dan memberikan bantuan sekedarnya sebagai partisipan. Dan Musawi, tetap diketahui masyarakat bukan pendekar Pagar Nusa dan bukan pula anggota organisasi itu.
Musawi ini oleh pihak aparat disuruh memainkan peran sebagai salah seorang peserta rapat yang diselenggarakan di rumah H Luthfi, pimpinan Pagar Nusa, pada 9 Oktober 1996. Musawi yang ditangkap oleh aparat itu kemudian menunjuk sejumlah nama pendekar Pagar Nusa sebagai orang-orang yang ikut menghadiri rapat perencanaan membuat kerusuhan itu.
Daenuri Maksum, 45, Sekretaris LPS-NU Pagar Nusa Situbondo menuturkan bahwa hari Sabtu malam sekitar pukul l9.00 rumahnya didatangi aparat dengan 1 truk tentara. Kemudian ia dibawa ke markas Kodim 0823. Bersamanya telah ditangkap l2 orang, 4 di antaranya adalah kawan-kawannya di Pagar Nusa seperti Darsono, Yusuf Wibisono, Sutrisno, Achmad Sidhiq, dan Saleh Hadi. "Begitu turun dari truk, tanpa ditanya kami semua dihajar habis-habisan. Sekitar jam 21.00 saya dipanggil Pak Dandim. Saya disuruh mengaku kalau tanggal 9 Oktober mengadakan rapat di rumah H Lutfi. Tentu saja saya tolak, karena memang tak ada rapat," ujar Daenuri.
Malam itu, ungkap Daenuri, ia dan kawan-kawannya disuruh membuka pakaian kecuali cawat. Kemudian secara marathon mereka disiksa di luar batas kemanusiaan –- apalagi jika diukur dengan nilai-nilai Pancasila -- hingga tubuh mereka babak belur. "Semalaman saya ditendang. Diinjak injak. Ditinju. Dipentungi. Dikepruk dengan kursi lipat. Bahkan yang mengerikan, distroom," ujar Daenuri pahit.
Di antara sejumlah siksaan yang paling menyakitkan, ungkap Daenur, adalah saat ia disuruh berjalan dengan lutut di atas lantai yang ditaburi butiran kacang hijau. Namun demikian, sekalipun menderita sakit para pendekar Pagar Nusa itu tidak ada yang mengaku karena fakta tentang rapat itu memang tidak ada. Akhirnya, sekitar pakul 03.30 dinihari Daenuri beserta kawan-kawannya diberi waktu istirahat.
"Tapi Minggu pagi jam 08.30 kami dibawa ke ruang lain. Kami dipaksa untuk mengaku. Kami terus dipakuli. Penyiksaan itu terus berlangsung sampai jam 14.00. Setelah pihak aparat penyiksa menarik celana dalam saya dan menyetroom kemaluan saya, maka saya mengaku saja. Kawan-kawan yang mengalami nasib serupa dengan saya, juga akhirnya mengaku kalau kita semua memang mengadakan rapat di rumah H Lutfi, Ketua Pagar Nusa," ujar Daenuri.
Minggu malam, begitu kesaksian Daenuri, ia dan kawan kawannya diinterogasi lagi untuk mengakui bahwa yang menyuruh mengadakan rapat adalah KH Sofyan, KH Kholil dan KH Fawaid. Hal itu terjadi, lanjut Daenuri, karena Aparat mendapat pengakuan bahwa Musawi telah berbicara jika gerakannya atas perintah KH Sofyan, KH Kholil dan KH Fawaid. "Waktu itu saya sudah mengingatkan Musawi agar tidak memfitnah kiai. Sebab dosanya akan lebih besar dibanding memfitnah orang-orang seperti saya. Tapi Musawi ngotot dan mengatakan kalau ia disuruh para kiai tersebut," ujarnya.
Karena tidak mau mengaku kalau penyelenggaraan rapat itu adalah atas suruhan KH Achmad Sofyan, KH Kholil dan KH Fawaid seperti pengakuan Musawi, ungkap Daenuri, maka ia dan kawan-kawan disiksa lagi. Di antara pendekar Pagar Nusa yang agak parah saat disiksa, sepengetahuan Daenuri, adalah Sutrisno. Pelatih Pagar Nusa yang bekerja sebagai penjahit itu rusuknya patah dan kalau menunduk dari hidungnya mengalir darah segar. "Akhirnya, setelah kami semua tidak tahan disiksa terus-terusan maka diputuskan saja bahwa kami semua bersedia menandatangani BAP yang disodorkan pihak Kodim apa pun isinya. Itupun setelah aparat akan menyetroom kemaluan kami," ujar Daenuri.
Setelah menandatangani BAP dari Kodim pada Minggu dinihari, kenang Daenuri, pada hari Senin pukul 09.00 ia dan kawan-kawan diserahkan ke Polres Situbondo. Di Polres, lanjut Daenuri, ternyata ia dan kawan-kawan diperiksa lagi dengan pengakuan seperti yang sudah diskenario pihak Kodim. "Tapi penyidik dari Polda, ternyata tidak percaya dengan pengakuan saya dan kawan-kawan. Karena pengakuan kami saling bertentangan dan tidak cocok satu dengan yang lain. Itu sebabnya, penyidik kemudian, meminta agar saya dan kawan-kawan mengakui bagaimana peristiwa sebenarnya yang terjadi dengan pengakuan sejujurnya," ujar Daenuri.
Semula, ungkap Daenuri, ia dan kawan-kawan tetap berkukuh bahwa BAP dari Kodim itulah yang benar. Namun setelah pihak penyidik memberikan jaminan bahwa semua tersangka tidak akan diserahkan kembali ke Kodim, maka semuanya baru mengakui bahwa sebenarnya BAP Kodim itu tidak benar karena fakta yang sebenarnya memang tidak pernah ada rapat. "Bahkan saat pihak Polres, Kodim dan Kejaksaan datang ke rumah H Lutfi, diketahui bahwa beliau itu sakit keras dan pernafasannya dibantu oksigen. Bagimana orang sakit keras seperti itu dikatakan memimpin rapat dan rumahnya dijadikan tempat rapat?" ujar Daenuri memuji kecerdasan penyidik dari Polda yang dikenalnya bernama H Mulyani itu.
Senin malam itu juga, ungkap Daenuri, ia mendengar dari seorang polisi jika pihak pimpinan Kodim, Polres dan kejaksaan sedang mengadakan rapat gabungan. "Senin malam itu juga sekitar pakul 23.00 sampai pukul 02.00, kami diperiksa lagi oleh tim gabungan. Bahkan Musawi sesudah diperiksa oleh Pak Haji Mulyani mengakui kalau semua itu adalah fitnah yang dibuatnya, sebab ia tidak kuat disiksa aparat."
"Setelah disadarkan oleh Pak Haji Mulyani, Musawi mendatangi saya. Dia merangkul dan menciumi lutut saya sambil meminta maaf. Ia mengaku bahwa semua fitnah yang ditimpakan kepada saya dan kawan-kawan itu dikarenakan ia sudah tidak tahan lagi menahan siksaan. Ia mengaku kalau semua itu dilakukannya dengan terpaksa," ujar Daenuri.
Tak berbeda dengan kesaksian Daenuri Maksum, para pendekar Pagar Nusa seperti Darsono, Sutrisno dan Yusuf Wibisono memberikan keterangan sama tentang nasib mereka yang disiksa di luar batas kemanusiaan oleh aparat yang selama ini mengaku prajurit Saptamarga. Para pelatih LPS-NU Pagar Nusa itu juga menyatakan bahwa Musawi pada akhirnya meminta maaf sambil berlutut mencium lutut mereka.
"Sebenarnya," ungkap Darsono, "Saya dan kawan-kawan sudah mendendam kepada Musawi. Tetapi setelah kami sowan kepada KH Achmad Sofyan dan menceritakan segala apa yang kami rasakan, beliau meminta agar kami semua memaafkan Musawi. Sebab menurut beliau, Musawi bertindak memfitnah itu kan disebabkan tidak kuat menahan sakit akibat disiksa tentara. Jadi, kami semua akhirnya memaafkan Masawi dan menganggap saja kejadian itu sebagai takdir Ilahi."
Darsono sendiri mengaku bahwa ia sangat heran dituduh mendatangi rapat pada 9 Oktober yang berlangsung mulai pukul 19.00 sampai pukul 23.00. "Sebab hari itu jam 21.00, di rumah saya ada tamu dari kejaksaan yang meminta bantuan saya untuk ikut menjaga keamanan sidangnya Saleh. Tapi bagaimana lagi saya mau menjelaskan, wong saya di Kodim tidak ditanya apa-apa tetapi terus-terusan disiksa," ujar Darsono sambil menunjukkan bekas luka di bahunya akibat distroom aparat.