Selama KH Achmad Sofyan dijadikan figur tokoh di PPP, memang ada kesan kurang bisa berkompromi dengan pihak pembina politik setempat. Dalam setiap Musyawarah Daerah (Musda) PPP, misalnya, KH Achmad Sofyan selalu menempatkan lokasi di pesantren yang dipimpinnya. Sehingga dalam pertumbuhan dan perkembangannya, PPP di Situbondo seolah-olah merupakan partai yang mandiri yang tidak butuh bantuan dari pihak manapun termasuk pengarahan dari pembina politik setempat.
Fanatisme masyarakat Situbondo terhadap figur KH Achmad Sofyan dan menantunya yakni KH Kholil As'ad, rupanya menjadi faktor yang amat penting bagi keberhasilan daerah tingkat II itu untuk selalu mendominasi secara "murni" perolehan suara PPP dalam setiap Pemilu. Itu sebabnya, dalam perhitungan politik terdapat asumsi bahwa selama dua orang kiai tersebut -- yakni KH Achmad Sofyan dan KH Kholil As’ad -- masih kuat didukung masyarakat maka selama itu pula Situbondo akan menjadi "benteng" kuat PPP.
Daftar calon pemilih yang terdaftar untuk Pemilu 1997 sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Nomor ...\13.1\VIII\1996 terdapat sekitar 429.191 orang pemilih di Situbondo dengan pembagian 205.598 orang pemilih laki-laki dan 223.593 orang pemilih perempuan. Dengan identitas sebagai "benteng" PPP maka dalam Pemilu 1997 daerah itu ditengarai bakal meraih kembali kemenangannya seperti Pemilu 1982 yang mencapai 51,34 % suara untuk PPP dan 45,51 % untuk Golkar. Bahkan dengan perkembangan teknologi informasi -- di mana para kiai dan pengurus PPP di Situbondo umumnya memiliki telepon genggam -- maka perolehan suara untuk partai berlambang bintang itu ditargetkan bakal meningkat pesat. Apalagi KH Achmad Sofyan oleh pihak PPP setempat tetap didudukkan sebagai Ketua MPP PPP dan jelas-jelas didukung oleh menantunya KH Kholil As’ad yang memiliki dukungan massa luas di Situbondo dan sekitarnya.
Berdasar data di lapangan yang menunjukkan bahwa keberadaan KH Achmad Sofyan dan KH Kholil As’ad adalah seibarat pilar bagi bangunan PPP, maka untuk menjebol kekuatan PPP secara masuk akal haruslah merobohkan terlebih dulu keberadaan dua orang tokoh ulama tersebut. Itu sebabnya, upaya-upaya yang mengusahakan kedua kiai kharismatik tersebut agar terjerumus ke dalam kasus hukum dalam kerusuhan 10 Oktober bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk meruntuhkan kekuatan PPP di Situbondo.
Data yang berasal dari para saksi mata menunjukkan bahwa di sejumlah tempat -- terutama di Asembagus -- massa yang melakukan perusakan secara terus-menerus meneriakkan slogan Hidup PPP! Hidup PPP! Hidup PPP!. Andaikata yang melakukan pembakaran terhadap gereja-gereja itu adalah orang PPP, mungkinkah mereka yang mengenal politik itu dengan terang terangan meneriakkan jatidirinya saat melakukan tindak pelanggaran hukum?