Secara tegas KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjelaskan bahwa di balik kerusuhan itu sebenarnya terselip tujuan yang tidak baik untuk menjatuhkan kepemimpinannya di organisasi NU. Sebab dengan timbulnya kesan keterlibatan warga NU dalam kerusuhan itu, maka secara praktis Gus Dur akan dianggap tidak mampu mengendalikan umatnya. "Jadi kalau saya sudah dianggap tidak mampu mengendalikan massa NU, kan logikanya saya harus diganti," ujar Gus Dur.
Menurut Gus Dur, NU dijadikan sasaran oleh para ambisius yang mengincar jabatan Wapres itu sebenarnya wajar saja. Sebab NU adalah organisasi besar yang dukungan massanya sangat diperlukan oleh para ambisius itu. "Tapi selama ini saya dalam memimpin NU kan tidak pernah dukung-mendukung. Jadi wajar jika ada di antara mereka itu yang berusaha menyingkirkan saya untuk diganti dengan pimpinan lain yang bisa mereka kendalikan," ujar Gus Dur.
Mengenai siapa saja tokoh-tokoh ambisius yang mengadakan konspirasi untuk menjatuhkan Gus Dur dari tampuk kepemimpinan NU, Gus Dur hanya menjelaskan bahwa konspirasi itu sudah diketahui oleh pihak Badan Intelijen ABRI (BIA). "Pak Farid Zainuddin, Kepala BIA sudah melaporkan kasus itu kepada Pak Harto seluruhnya. Dan sekalipun ibu dan bapaknya Pak Farid itu orang Muhammadiyah, tetapi demi tugas ia tidak bisa melindungi pihak-pihak yang berkomplot dalam kerusuhan itu karena faktanya memang demikian," ujar Gus Dur.
Malahan, menurut Gus Dur, setelah peristiwa kerusuhan itu ia mengaku didatangi oleh utusan KASAD Jenderal R. Hartono. Kepadanya waktu itu utusan KASAD menyatakan bahwa selain ikut simpati dengan Gus Dur atas kasus Situbondo, juga menyatakan kemarahan atasannya. "Soalnya, dalam kasus Situbondo itu Pak Hartono merasa bahwa dialah yang sebenarnya dibidik. Sebab dengan kasus itu, mau tidak mau Pak Hartono yang berasal dari Madura itu pasti dituduh sebagai dalang dari peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat Madura itu. Dengan demikian, maka Pak Hartono akan dikesankan menekan Pak Harto agar dijadikan Wapres dengan cara membuat huru-hara seperti di Situbondo yang bisa diperluas skalanya di mana-mana," ujar Gus Dur.
Jika KASAD Jenderal R. Hartono merasa bahwa kasus kerusuhan 10 Oktober 1996 adalah suatu rekayasa untuk membidik dirinya, maka hal itu kelihatan masuk akal. Sebab dalam peristiwa kerusuhan 9 Juni 1996 di Surabaya Utara yang menghancurkan 11 gereja itu, jelas sekali yang terlihat adalah orang-orang Madura. Begitu juga dengan kasus mengamuknya para suporter Persebaya di Jakarta, sebagian besar di antaranya adalah etnis Madura. Dengan demikian, kerusuhan-kerusuhan itu bisa juga direkayasa dalam rangka "menjatuhkan" nama baik R Hartono, sebab dengan kerusuhan-kerusuhan yang melibatkan orang-orang Madura maka yang diduga menggerakkan mereka pastilah orang nomor satu di Angkatan Darat itu.
KASAD R. Hartono sendiri dalam kunjungan di Situbondo pada 13 November 1996 menandaskan di depan para santri dan kiai bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus tersebut. KASAD malah menyatakan jika kerusuhan di Situbondo itu adalah merupakan usaha pihak lain yang ingin menjatuhkannya.
Majalah Aula edisi November 1996 sendiri memperoleh suatu teori yang berkaitan dengan sejumlah ambisius yang ikut merancang kerusuhan Situbondo itu. Peristiwa itu, menurut majalah NU itu adalah rekayasa politik berskala besar. Proyek itu dimanajeri seseorang berinisial YM. Pelaksananya dua orang kader bernama LH dan DS. Teori ini didukung oleh sebuah fakta tentang seorang tokoh kunci di Situbondo yang ketahuan mengumpulkan para resi di daerah tersebut. Kepada mereka -- yang sangat dipercaya lahir dan batin -- ini dikatakan: bahwa dalang insiden Situbondo adalah PRD. Dan Gus Dur berada di belakangaya (ini didukung fakta tentang keterlibatan wartawan Republika dalam menyebarkan opini yang mendiskreditkan Gus Dur dalam kasus tersebut).
"Penyebaran isu ini memang instruksi langsung dari manajer proyek. Itu adalah atasan langsungnya dalam kedinasan. Maksudnya, sudah jelas bahwa isu itu untuk menghabisi Gus Dur," demikian Aula.