Ustadz H Muhammad Romly, Wakil Ketua PCNU Situbondo yang masih terhitung menantu Kiai Zaini menuturkan bahwa selama Saleh menghadapi proses peradilan KH Zaini kelihatan sekali berusaha mendatangkan massa sebanyak-banyaknya ke pengadilan. Para pengikut KH Zaini, ungkap Ustadz Romly, senantiasa terlihat datang ke rumah pengasuh pesantren Nurul Hikam itu ketika Saleh akan disidangkan. "Massa yang datang itu diberi makan dan minum semua. Sesudah itu, beramai-ramai mereka mendatangi sidang Saleh di PN," ujar Ustadz Romly yang rumahnya terletak di belakang rumah Kiai Zaini.
Meluapnya pengunjung sidang setiap kali Saleh diadili pada gilirannya memang menimbulkan suatu situasi ricuh. Hal itu setidaknya terlihat pada sidang Saleh yang ketiga di mana massa mulai menunjukkan sikap yang tidak terkendali dan tidak menghormati jalannya sidang. Karena itu menjelang sidang keempat pihak aparat meminta bantuan Ning Nisa yakni puteri almarhum KH As'ad Syamsul Arifin. Usaha menghadirkan Ning Nisa di tengah massa penonton sidang sedikitnya mengundang tanda tanya, karena dalam kasus Saleh itu pihak keluarga KH As'ad tidak ada yang tersinggung dan memasalahkan Saleh. Apalagi massa pengunjung sidang yang terbanyak bukanlah massa pengikut KH As'ad melainkan massa KH Zaini.
Menurut Ustadz H Muhammad Romly, dalam sidang keempat itu memang ada insiden yakni massa pengunjung melempar batu ke jendela pengadilan hingga kacanya pecah. Massa rupanya sudah mulai akan bertindak brutal. Namun massa berhasil ditenangkan oleh Ning Nisa dan disuruh pulang. "Waktu itu saya di kantor NU mendapat telepon dari KH Sofyan agar mengajak warga NU yang menonton sidang itu pulang agar tidak terpancing kerusuhan. Saya segera meluncur ke pengadilan. Di sana, rupanya Ning Nisa sudah berhasil membawa orang-orang untuk pulang," ujar Ustadz Romly.
Sidang keempat Saleh pada 4 Oktober 1996 yang berhasil ditenangkan Ning Nisa, kembali menimbulkan tanda tanya besar. Sebab dalam persidangan itu telah pecah insiden pelemparan batu yang memecahkan kaca jendela Pengadilan Negeri Situbondo yang diikuti oleh seseorang yang naik ke atas atap gedung pengadilan tersebut. Para saksi mata melihat orang yang naik ke atas pengadilan itu kemudian turun ke bawah dengan membobol plafon dan begitu turun ia langsung memukul terdakwa Saleh. Namun petugas tidak berbuat sesuatu. Sementara massa pengunjung sudah mulai terlihat beringas.
Di tengah suasana yang mengarah ke keberingasan itulah Ning Nisa berhasil menentramkan keadaan. Dengan tenang, ia membawa para pengunjung itu meninggalkan gedung pengadilan. Sekalipun dalam sidang ke-4 itu Ning Nisa berhasil menenangkan massa namun jika dicermati secara mendalam keberhasilan tersebut justru sangat tidak menguntungkan bagi puteri KH As'ad itu. Pertama, keberhasilan itu secara langsung atau tidak langsung telah membentuk opini publik bahwa massa pengunjung di persidangan itu adalah para pengikut KH As'ad Syamsul Arifin. Kedua, keberingasan massa pengunjung dapat dianggap sebagai aktualisasi dari kemarahan mereka terhadap Saleh yang disidang karena menghina KH As'ad. Ketiga, keberhasilan Ning Nisa menggiring massa pengunjung keluar kawasan pengadilan setelah keributan memperkuat kesan bahwa massa pengunjung sidang itu adalah para pengikut KH As'ad Syamsul Arifin yang kemudian dipimpin KH Kholil As'ad.
Setelah sidang keempat, maka akan dimulai sidang kelima yang direncanakan pada 10 Oktober 1996. Dalam sidang kelima itu jaksa penuntut akan membacakan tuntutan untuk Saleh. Dan dengan alasan untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan, pihak kejaksaan kemudian meminta kepada KH Kholil As’ad untuk bisa datang menghadiri sidang Saleh itu. Harapan jaksa, jika terjadi keributan maka Kiai Kholil akan bisa menenangkan para pengunjung seperti apa yang sudah dilakukan oleh saudarinya yakni Ning Nisa.
KH Kholil As'ad mengungkapkan bahwa suatu hari ia didatangi oleh jaksa bernama Hariyanto beserta dua orang kawannya yang meminta agar ia bersedia membantu pengamanan sidang Saleh kelima. Sidang itu, ungkap Kiai Kholil, akan diadakan pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 1996. Diminta partisipasinya, Kiai Kholil tidak keberatan. Namun kebetulan pada 9 Oktober malam ia menjadi pembicara pada acara pengajian di Madura. "Tanggal 10 Oktober itu saya baru balik dari Pamekasan karena tanggal 9 Oktober malam saya mengisi acara pengajian di sana. Pulangnya mampir ke Bangkalan. Jadi hari itu saya akan datang sore hari. Itu sebabnya, saya janjikan hari Senin 14 Oktober. Hari itu saya baru bisa menghadiri sidang membantu pengamanan. Tapi oleh pihak pengadilan, sidang itu ternyata dilangsungkan juga tanggal 10 Oktober," ujar Kiai Kholil.
Ketidak-hadiran KH Kholil dalam sidang kelima Saleh pada 10 Oktober itu rupanya merupakan keberuntungan bagi kiai muda itu. Sebab andaikata ia datang di pengadilan dan massa pengunjung yang umumaya pengikut Kiai Zaini dan orang-orang tak dikenal itu melakukan kerusuhan seperti terbukti pada peristiwa 10 Oktober, maka dapat dipastikan bahwa putera KH As'ad Syamsul Arifin ini akan menjadi tersangka utama dalam kerusuhan bersifat SARA itu.
Sekalipun KH Kholil tidak berada di PN Situbondo saat pecah kerusuhan 10 Oktober, tidak urung telah disebarkan berita bohong di tengah masyarakat bahwa dalam peristiwa SARA itu KH Kholil As’ad adalah dalang dan penggerak kerusuhan. Alasan yang dilontarkar sederhana saja yakni dalam kasus itu terdakwa disidangkan karena salah satu kesalahannya adalah menghina almarhum KH As'ad Syamsul Arifin yakni ayahanda KH Kholil As'ad. Bahkan untuk memperkuat dugaan keterlibatan KH Kholil As'ad, pada tembok-tembok gereja yang terbakar ditulisi tulisan "Anjal" dan "Bhonsay" yakni dua grup anak muda yang pernah dipimpin Kiai Kholil.