Syaiful Aswan,SH, 36, Ketua Tim Pembela Kasus Kerusuhan 10 Oktober menuturkan bahwa saat peristiwa itu meledak ia sedang berada di Pengadilan Negeri mengikuti jalannya sidang. Usai jaksa membacakan tuntutan 5 tahun untuk terdakwa Saleh, kenangnya, para pengunjung berteriak-teriak menyatakan ketidakpuasannya. Mereka berteriak meminta agar Saleh dijatuhi hukuman mati. Aparat keamanan kemudian menghalau pengunjung keluar halaman PN. Namun masih ada di antara mereka yang tertinggal di dalam. "Pak Dandim kemudian berteriak memerintahkan agar mereka yang tak berkepentingan keluar. Massa saya lihat keluar dan bergerombol di luar PN. Pak Dandim kemudian menyuruh menutup pintu," ungkapnya.
Saat pintu ditutup itulah, ungkap Syaiful, seorang aparat keamanan memukul pengunjung dengan pentungan. Yang kena ternyata anak kecil. Kepalanya berdarah. Massa pengunjung marah melihat perlakuan petugas yang kasar itu. Di antara mereka kemudian ada yang melempar batu ke gedung PN. Kaca pintu sebelah kanan PN pecah terkena lemparan batu. "Pak Dandim kemudian memerintahkan anak buahnya membalas lemparan massa. Sejak saat itulah terjadi lempar-lemparan batu antara aparat dengan massa. Pertama, batu-batu kecil. Kemudian berganti batu bata. Bahkan kemudian batu paving yang digunakan melempar," ujar Syaiful.
Saiful Bari, 28, Wakil Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Situbondo yang saat itu berada di PN menuturkan bahwa terjadinya perang batu antara aparat dengan massa itu bermula ketika pihak seorang aparat keamanan memukul; dengan pentungan seorang wanita, namun yang terkena anaknya yang masih kecil. Kepala anak itu berdarah. Massa marah. Kemudian ada salah seorang melempar batu ke gedung PN.
Begitu ada orang melempar batu ke gedung PN, demikian Saiful Bari, Komandan Kodim 0823 langsung memberi perintah kepada anak buahnya untuk membalas. Dalam tempo singkat, lanjut Saiful, terjadi "perang batu" yang sangat sengit. Namun setelah "perang batu" itu berlangsung sekitar setengah jam, ungkap Saiful, pihak aparat keamanan kehabisan batu untuk melempar. "Saat itu saya lihat tentara lari tunggang langgang ke dalam pengadilan. Massa berusaha mengejar tetapi hanya sampai di halaman PN. Massa kemudian saya lihat marah dan membakar mobil dan motor," kenang Saiful Sari.
Sebenarnya, ungkap Saiful Bari, massa rakyat yang mengamuk itu hanya akan membakar mobil dan motor saja di PN itu. Sebab setelah itu ada usaha memadamkan mobil yang terbakar. Namun secara tiba-tiba, lanjutnya, tentara yang ada di dalam PN keluar lagi ke halaman PN. "Melihat tentara keluar, massa mengamuk lagi. Mereka mengejar ke dalam. Saat itulah saya lihat gedung PN dibakar massa," ujar Saiful.
Mengenai pembakaran mobil dan motor itu, Syaiful Aswan, SH, yang ketika "perang batu" itu pecah berada di lantai II gedung PN menuturkan bahwa pembakar mobil dan motor itu adalah para pemuda berambut gondrong yang tak pernah ia lihat sebelumnya. "Mula-mula saya lihat mereka mengulingkan mobil kijangnya Pak Kajari. Sesudah itu mereka membakar sepeda motor patroli polisi," ujar Syaiful yang menyaksikan peristiwa itu dari jendela.
Tentang keberingasan massa yang mengamuk setelah melihat aparat keluar dari gedung ke halaman PN, Habib Abdurrachman Assegaf, Pengurus MWC-NU Kapongan menuturkan bahwa sebenarnya ia sudah berusaha menghalang-halangi agar mereka tidak beringas dan menyerang ke dalam gedung PN. Namun entah siapa yang melakukannya, tiba-tiba saja ia merasakan tulang keringnya dipukul orang dengan kayu. "Karena saya melihat mereka sudah tak terkendali, maka saya mundur dan meninggalkan tempat," ujar Habib Assegaf.
Habib pasegaf rupanya tidak hanya dipukul tulang keringnya, melainkan didorong pula kepalanya dari belakang oleh massa, Syaiful Aswan, SH, setidaknya menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang mendekati ulama itu dari belakang dan kemudian mendorong kepala ulama itu dari belakang. "Saya kira orang-orang itu bukan warga NU. Sebab tidak mungkin ada orang NU berani mendorong kepala seorang habaib," ujarnya.
Syaiful dalam kesempatan itu mengaku menyaksikan pula bahwa di dekat Habib Assegaf tampak KH Zaini yang berdiri di pintu pengadilan sebelah kanan. Waktu itu, ungkapnya, orang-orang berkerumun menyalami dan mencium tangan KH Zaini sambil berkata: seporana kiae! sabilillah! "Kiai Zaini waktu itu memakai baju merah dan bersarung hijau kotak-kotak. Dan sesudah orang-orang mencium tangannya, maka saya lihat orang-orang itu bergerak melakukan perusakan terhadap gedung PN," ujar Syaiful.
Sementara massa mengamuk, terdakwa Saleh terlihat termangu-mangu kebingungan di ruang sidang. Anehnya, massa tidak menyerang Saleh yang sebelumnya diminta massa agar dihukum mati. Namun pihak aparat kemudian melepas baju dan kopiah Saleh. Maksudnya, agar dengan melepas baju dan kopiah itu massa yang mangamuk tidak mangenal Saleh. Dengan dilepasnya baju dan kopiah Saleh, maka dalam simpang-siurnya massa itu anak tersebut tidak diserang massa dan diselamatkan dengan cara dibawa lari ke arah belakang kompleks PN Situbondo.
Darsono, pelatih LPS-NU Pagar Nusa yang diminta pihak kejaksaan ikut berpartisipasi menjaga keamanan sidang menuturkan bahwa saat massa mengamuk ia berusaha membawa Saleh keluar dari ruang sidang. Ketika petugas membuka baju dan koplah Saleh, ungkap Darsono, maka dengan sigap ia menyambar baju dan kopiah itu. "Kemudian dengan sikap melindungi, saya bawa Saleh keluar ruangan meski saat itu resikonya saya bisa ditawur mass," ujar Darsono.
Amukan massa di gedung PN setidaknya telah membuat pihak pihak yang berada di lingkungan gedung PN seperti para hakim, jaksa, pengacara, staf PN, polisi, dan petugas Kodim menyelamatkan diri ke arah belakang kompleks PN. Dengan membobol tembok PN mereka lari ke kawasan belakang PN dengan sungai dan area persawahan. Bahkan Dandim disembunyikan oleh anak buahnya di gedung PLN yang terletak di belakang kompleks PN Situbondo.
Lestari, 34, yang rumahnya terletak di belakang komplek PN Situbondo menuturkan bahwa pada siang 10 Oktober 1996 itu ia melihat iring-iringan orang keluar dari tembok belakang PN yang dibobol. Iring-iringan itu kemudian melintasi sungai. Bersamaan dengan lewatnya iring-iringan itu, ungkap Lestari, menyebar berita bahwa massa rakyat telah mengamuk di PN dan pihak aparat melarikan lari.
"Berita tentang larinya aparat itu saya pikir agak aneh," ungkap Lestari heran, "Sebab petugas yang lewat di depan rumah saya, saya lihat berlari-lari meninggalkan kompleks PN sambil berjoget-joget dan tertawa-tawa. Lha kalau mereka betul-betul diamak massa, mosok bergembira ria seperti itu."
Sementara itu Sugeng, 36, guru SMA Negeri Situbondo yang beragama Kristen dan saat itu berada di PN menuturkan bahwa saat massa mulai membakar gedung PN Situbondo, ia melihat kepulan asap membubung di sebelah barat. Rupanya, di barat PN Situbondo -- dalam jarak sekitar 500 meter -- ada sekumpulan orang yang membakar gereja Bukit Sion. "Jadi saat gedung PN mulai terbakar, gereja Bukit Sion dalam waktu bersamaan juga terbakar," ujar Sugeng.
Kebersamaan waktu antara terbakarnya Gereja Bukit Sion dengan gedung PN Situbondo, setidaknya disaksikan pula oleh Saiful Bari. Saiful menyaksikan betapa saat api mulai berkobar membakar gedung PN Situbondo tampak pula kepulan asap membubung di sebelah barat. "Rupanya gereja Bukit Sion yang dibakar. Tapi sepengetahuan saya, orang-arang yang di PN Situbondo waktu itu tidak bergerak ke arah barat. Jadi massa di PN itu tidak mungkin yang membakar gereja. Apalagi sesaat kemudian, saya lihat ada sekumpulan orang-orang bertubuh tinggi, kekar, tegap, kuat dengan ikat kepala merah dan tubuh bagian atas tanpa baju, bergerak dari arah gereja Sion ke timur sambil memberi komando. Jadi menurut kesaksian saya, yang membakar gereja dengan yang membakar gedung PN itu berbeda orangnya," ujar Saiful.
Munculnya orang-orang bertubuh tinggi, tegap, kekar, dan kuat dengan ikat kepala merah dan tanpa baju itu setidaknya disaksikan pula oleh Anton Suhartono, 42, Wakil Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Situbondo. Mereka itu bergerak ke arah timur sambil memberi komando massa yang berkerumun di gedung PN Situbondo. "Saya lihat, di antara mereka itu ada yang melumuri wajahnya dengan semacam cat biru," ujarnya.
Mursawi, 45, Sekretaris LP Ma'arif Situbondo menuturkan bahwa saat orang-orang bertubah tinggi dan kekar itu membakar gereja Bukit Sion, kebetulan ia berada di situ karena baru datang dari Penarukan dengan naik motor. Waktu itu, ungkap Mursawi, jam menunjukkan pukul 10.30, WIB. Dan massa waktu itu tak banyak jumlahnya. Namun mereka berani dan kuat. "Mereka membuka pintu pagar gereja dengan mudah sekali, padahal pintu itu sedang tertutup. Mereka berteriak Allahu Akbar. Sesudah itu menjebol pagar," ujar Mursawi.
Mursawi yang ketika itu berada di depan POM bensin diseberang gereja Bukit Sion menuturkan, bahwa jumlah massa waktu itu hanya puluhan orang. Malah salah seorang di antaranya ada yang naik sepeda berputar-putar di tengah jalan sambil meneriakkan Takbir. Sebagian di antara pembakar gereja Bukit Sion itu, ungkap Mursawi, adalah para pemuda tak dikenal yang mengendarai motor dengan plat nomor N.
"Ketika orang-orang kehabisan bensin, mereka masuk ke POM bensin," kenang Mursawi, "Tapi listrik ternyata sudah dimatikan dari pusat. Orang-orang itu kemudian terlihat marah dan akan membakar POM. Tapi waktu itu ada orang gemuk berpakaian kembang-kembang yang menyatakan jika POM itu sudah dipesan oleh kiai agar dijaga, tapi saya tidak faham kiai siapa yang dimaksud."
Pada saat menyaksikan orang-orang tinggi dan kekar itu membakar gereja Bukit Sion, ungkap Mursawi, ia menyaksikan asap membubung di arah timur. Rupanya asap itu berasal dari gedung Pengadilan Negeri Situbondo yang terbakar. "Jadi, yang membakar gedung PN dan gereja itu jelas berbeda orang orangnya," ujar Mursawi memastikan.
Setelah Gereja Bethel Bukit Sion dan kantor PN Situbondo terbakar, kumpulan orang dari gereja bergerak ke arah timur untuk bergabung dengan massa di depan PN. Dari PN itulah massa kemudian bergerak ke arah timur memasuki pusat kota. Arus lalu lintas dari arah Surabaya - Bali terhenti karena kendaraan yang lewat dihentikan dan disedot bensinnya untuk disiramkan ke sasaran. Dan sasaran ketiga adalah Gereja GPIB Surya Kasih yang berdampingan dengan kantor Polres dan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Situbondo.
Pada saat massa datang dengan membawa bensin untuk membakar gereja, menurut para saksi terjadi suatu dialog antara massa dengan polisi yang menjaga di depan gereja. Polisi saat itu, menurut para saksi, mengharap agar massa jangan membakar gereja tersebut. Sebab kalau gereja terbakar Kantor BPN dan kantor polisi akan ikut terbakar. Akhirnya pihak aparat membiarkan massa merusak gereja dengan batu dan benda-benja keras yang lain.
Menurut kesaksian para saksi mata, kerusuhan yang dimulai sekitar pukul 11.30 itu berlangsung sangat cepat. Setiap kali massa bergerak, maka setiap kali itu pula bangunan gereja terbakar seolah-olah massa sudah ada di mana-mana. Padahal, menurut logika, massa seharusnya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk bisa mencapai gereja-gereja di berbagai penjuru kota yang jaraknya berjauhan. Begitulah, dalam tempo singkat setelah GPIB Surya Kasih terbakar, maka disusul terbakarnya gereja di utara pasar Mimbaan.
Massa yang bergerak ke arah timur kemudian membakar GPPS yang terletak di depan SMEA Negeri Situbondo. Dalam pembakaran gereja GPPS ini telah jatuh korban pendeta Ischak Christian bersama isteri dan 3 orang keluarganya. Namun pada saat yang bersamaan, Panti Asuhan Kristen Buah Hati yang terletak di Jl Melati diserang massa. Dalam proses penyerangan ke Panti Asuhan Buah Hati ini, Esther, 42, pimpinan panti asuhan menyaksikan kehadiran orang-orang bertubah tinggi, tegap, kekar, kuat, tanpa baju, bersepatu hitam, dan menggunakan ikat kepala merah.
Pada saat terjadi penyerangan terhadap Panti Asuhan yang dipimpinnya itu, kenang Esther, orang-orang bertubuh tinggi dan tegap itu kelihatan menjadi pemimpin massa. "Berapa saat sempat saya lihat orang-orang tinggi dan kekar itu memberi perintah kepada massa untuk menyerang gedung Panti Asuhan. Kemudian saya lihat massa merusak pagar. Saya lari ke belakang ketakutan," ujar Esther.
Dalam tempo hampir bersamaan, menurut para saksi mata, telah terbakar pula sejumlah gereja seperti Gereja Katholik Maria Bintang Samudera beserta komplek SD dan SMP Katholik yang terletak di Jl Mawar, GKJW di Jl Anggrek, TK, SD dan SMP Immanuel di Jl Anggrek, Toko Duta di kompleks Pasar Mimbaan, Rumah Makan Tanjung, Kesusteran di Jl Jaksa Agung Suprapto, rumah-gereja di Jl Argopuro, dan sebagainya.
Salah satu hal yang patut digarisbawahi dalam kerusuhan itu adalah kesaksian para saksi mata -- baik dari pihak warga muslim maupun Kristen -- yang menyatakan bahwa dalam kerusuhan tersebut, massa yang bergerak umumnya tidak dikenal bahkan sebagian di antara mereka ada yang berbicara dalam bahasa Jawa. Kalau pun ada yang berbicara, ialah bahasa Madura, maka logat yang digunakan bukan logat Situbondo.
Budi Sanepo, 36, Guru SMA Negeri Situbondo yang saat itu menjaga agar siswa-siswanya tak keluar pagar sekolah menuturkan bahwa ia menyaksikan gerakan massa tak dikenal lewat di depan kompleks sekolahnya. Massa, menurut Budi, berteriak meminta agar para siswa SMA 2 keluar mengikuti mereka. "Mereka berteriak dalam bahasa Jawa ayo SMA loro, metuo, ojok dadi antek-e Cino," ujar Budi.
Mursawi, sekretaris LP Ma'arif Situbondo juga menyaksikan bahwa di antara sejumlah besar massa yang bergerak dan membakari gereja itu tak ada satu pun yang dikenalnya. "Saya lihat orang-orang Situbondo waktu itu hanya berdiri menonton di pinggir jalanan. Mereka tidak ikut-ikut membakar dan merusak gereja. Baru sekitar pukul 13.30, yaitu saatnya anak-anak pulang sekolah, saya lihat banyak anak berseragam ikut-ikutan melakukan perusakan ke toko dan rumah makan. Tindakan anak-anak sekolah itu kemudian diikuti oleh banyak; orang Situbondo dari kampung sekitar. Dan herannya, setelah massa Situbondo turun ke jalan dan ikut-ikutan membakar, orang-orang tak dikenal itu lenyap," ujar Mursawi.
Mengenai massa tak dikenal itu, H Syamsuddin Noor, Pengurus Cabang NU Situbondo menuturkan bahwa pada saat terjadi penyerangan atas Toko Swalayan Duta di kompleks pasar Mimbaan, warga setempat melihat pemuda-pemuda yang membawa keluar barang-barang dari dalam toko tersebut. Kemudian, ungkap Syamsuddin Noor, secara demonstratif para pemuda itu membawa barang-barang itu pulang. Bahkan ada yang membuka laci uang dan memasukkan uang ke saku mereka. Semua itu dilakukan di depan massa yang menonton. "Kalau para pemuda itu warga Situbondo, mana mungkin mereka berani berbuat begitu di depan warga sendiri?" ujar Syamsuddin.
H Fatchurrasyid, Pengurus Cabang NU Situbondo menyatakan juga tentang massa tak dikenal itu dalam kerusuhan. Menurutnya massa itu sepertinya tidak kenal tokoh-tokoh Situbondo. Misalnya saja, ungkap Rasyid, saat massa tak dikenal itu bertemu dengan Ten Hing, tokoh muslim Tionghoa di Situbondo yang menjadi Ketua PITI (Persatuan Iman Tauhid Islam, dulu singkatan dari "Persatuan Islam Tionghoa Indonesia"). Tanpa perduli bahwa Ten Hing adalah seorang tokoh muslim yang dikenal warga Situbondo, massa tak dikenal itu kemudian membakar mobil sedan yang dikendarai Ten Hing. "Kalau massa itu benar-benar orang Situbondo, pasti mereka tahu siapa Bapak Ten Hing itu. Dan mereka pasti tidak akan berani membakar mobil tokoh muslim Tionghoa itu," ujar Fatchurrasyid.
Bara api yang sudah berkobar di kota Situbondo itu kemudian merambat dengan cepat ke arah timur. Sasarannya adalah gereja-gereja yang ada di jalur utama jalan Surabaya - Banyuwangi. Demikianlah, dalam tempo singkat 3 gereja di Asembagus menjadi sasaran amukan massa yang datang dengan truk-truk dari arah Situbondo. Di Asembagus sebenarnya terdapat 4 gereja, tapi yang satu selamat dari serbuan massa karena letaknya di pedalaman desa. 3 gereja yang dibakar itu adalah Gereja Pantekosta di desa Gudang, Gereja Bethel Injil Sepenuh di desa Trigonco dan Gereja Kapel Santo Yosep di desa Trigonco.
Ustadz Hasan Basri, rektor PTS di Situbondo menuturkan bahwa sebelum massa dari Situbondo datang ke Asembagus dengan naik truk, di kawasan itu sudah tersebar berita yang menyatakan kalau gereja-gereja di Asembagus akan dibakar oleh santrinya KH Kholil dan orang-orang PPP. "Karena berita itu, maka beratus-ratus orang warga Asembagus keluar rumah dan berdiri di pinggir jalan sekitar gereja. Mereka hanya ingin menonton bagaimana orang membakari gereja," ujar Hasan Basri.
Setelah Ashar -- kira-kira pakul 16.00 -- truk-truk dari arah Situbondo memang datang ke Asembagus. Kemudian truk-truk itu berhenti di sekitar gereja dalam jarak sekitar 50 meter. Dari atas truk-truk itu kemudian turun para pemuda berseragam putih lengan panjang dan pada ujung lengannya memakai ikatan kain warna hijau. Setelah turun, para pemuda itu langsung meneriakkan takbir dan langsung membakar gereja. Sementara masyarakat Asembagus yang menonton hanya mendecakkan mulut menyaksikan keberanian para pemuda itu. Dan selama berlangsungnya pembakaran itu, para pemuda itu selalu meneriakkan: "Hidup PPP! Hidup PPP! Hidup PPP!"
Namun demikian, karena para pemuda itu memakai seragam putih-putih dengan ikat tangan hijau di lengan, maka warga Asembagus langsung menduga bahwa para pemuda yang turun dari truk itu adalah santrinya Kiai Kholil. Sebab seragam itu adalah seragamnya Anjal. Jadi sampai beberapa hari kemudian, warga Asembagus tetap menyangka jika para perusuk itu santrinya Kiai Kholil," ujar Hasan Basri yang menyatakan bahwa truk-truk itu kemudian berangkat lagi ke arah timar.
Senja hari seusai maghrib, sekitar 4 truk yang datang dari arah timur dengan mendadak masuk ke komplek pesantren Salafiyah Syafiiyah di Sukorejo, Asembagus. Keempat truk itu langsung berhenti di dekat masjid. Kemudian puluhan orang terlihat turun dari truk itu. Ketika para santri menanyai para penumpang truk itu tentang kepentingan mereka masuk ke kompleks pesantren mereka, mengaku kalau akan ziarah ke makam KH As'ad Syamsul Arifin.
KH Fawaid As'ad, pengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo menuturkan bahwa orang-orang yang membawa truk saat ziarah ke makam ayahandanya itu tidak ada satu pun yang dikenal oleh para santri. Karena itu sampai pakul 17.00 saat usai sholat Isya, mereka yang berada di kompleks makam itu terus diawasi oleh para santri.
"Rupanya sore itu pihak aparat sudah berjaga di jalan masuk ke kompleks pesantren," ujar Kiai Fawaid, "Dan mereka menangkapi siapa saja yang saat itu lewat di sana. Malah ada santri saya yang waktu itu belanja di toko, ditangkap dan dibawa ke Kodim bersama-sama mereka yang ditangkap malam itu. Kabarnya, mereka yang ditangkap waktu itu dinaikkan ke dalam 4 truk yang masuk ke kompleks pesantren itu dan kemudian dibawa ke kantor Kodim."
Selama berlangsungnya kerusuhan itu -- menurut para saksi mata-- ada empat hal penting yang wajib dianalisis karena di dalamnya terdapat kejanggalan. Pertama, selama berlangsungnya iring-iringan massa menuju lokasi-lokasi yang akan dirusak atau dibakar para saksi melihat sejumlah orang berteriak-teriak: "Hidup NU! Hidup NU!" Maksud dari teriakan itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberi kesan bahwa massa yang mengamak itu adalah warga NU.
Kedua, waktu perusakan dan pembakaran gereja di kota Situbondo berlangsung sangat fantastis yakni sekitar satu setengah jam yang kemudian dilanjutkan pembakaran toko, rumah makan, bioskop, dan rumah bilyar. Padahal saat TPF GP Ansor dengan diantar Samuel Lie, Ketua BAMAG Situbondo, memotret gereja-gereja yang rusak di kota dibutuhkan waktu dua jam lebih sepuluh menit.
Perbandingan waktu antara TPF GP Ansor yang memotret dengan menyendarai motor dan para perusuh yang berjalan kaki, pada akhirnya memang memunculkan hitungan bahwa peristiwa itu amat fantastis cepatnya meski seandainya dilakukan oleh sepasukan infanteri yang paling baik di dunia. Dengan demikian, yang memungkinkan dalam peristiwa itu sudah terbentuknya kelompok-kelompok massa di berbagai lokasi yang secara berurutan waktunya melakukan pembakaran sambil menunggu datangnya "arus" massa yang juga melakukan perusakan dan pembakaran sepanjang perjalanan mereka.
Ketiga, selama massa perusuh merusak atau membakar bangunan gereja atau toko selalu diawali dengan penyelamatan lambang Garuda Pancasila, potret Presiden dan Wapres. Para perusuh, menurut saksi mata, selalu menyerahkan benda-benda tersebut kepada petugas. Sesudah itu, baru para perusuh merusak atau membakar bangunan bersangkutan. Di dalam kasus ini, jelas terbukti bahwa di setiap lokasi kerusuhan selalu ada aparat yang mengawasi karena kepada mereka itulah para perusuh memberikan benda-benda tersebut.
Keempat pada reruntuhan tembok Gereja terdapat coretan-coretan yang birisi pujian sekaligus caci-maki seperti: "NU menang, Islam Jaya! Wahai orang-orang Islam selamat berjuang, ALLAH HU AKBAR! Yesus Tamancok! Yesus Tae, Bebuyutan PKI, Yesus Zhetan Tae, Yesus Tae Mampus! Cheleng! Don't Meddle With People's Affair! Biasa, mangkane ojo macem-2 karo wong Islam! Jancok gereja tolol, Jesus mampus kau." Coretan-coretan itu, jelas dikesankan seolah-olah dibuat oleh warga NU. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa warga NU memiliki tradisi yang mewajibkan mereka untuk memuliakan para nabi termasuk Nabi Isa (Yesus) yang digolongkan ke dalam jajaran Ulul Azmi (Nabi paling terkemuka).
Terlepas dari empat kejanggalan di muka, menurut analisis majalah pula edisi November 1996, di dalam kerusuhan itu memang ada suasana yang terasa aneh yakni mulusnya kerusuhan dan tidak tampaknya satuan-pasukan keamanan yang berusaha menghalangi kebrutalan massa. Polisi yang tampak di beberapa tempat hanya berdiri berjaga-jaga. Beberapa di antaranya bahkan memberi pengarahan agar massa tidak merusak gedung-gedung pemerintah. Balabantuan gabungan -- dari Batalyon 514 Bondowoso, Batalyon 509 Jember, Batalyon 512 Probolinggo, Korem Malang, aparat Kodim dan Polres Situbondo -- baru masuk sore hari. Saat itu nyala api kemarahan sudah padam dengan sendirinya.