Bab IV
P e n u t u p
Berdasar paparan data, temuan
dan analisis hasil penelitian dapat ditarik sejumlah kesimpulan tentang
peristiwa kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo sebagai berikut:
1. Aspek Sosio-antropologis
-
Ditinjau dari aspek sosio-antropologis,
masyarakat Situbondo adalah komunitas yang memiliki identitas kultural
yang khas. Mereka memiliki kebanggaan dengan identitas itu. Baik warga
pribumi maupun warga keturunan Cina dan Arab, memiliki kebanggaan dengan
identitas ke-situbondo-an mereka baik dari segi kebahasaan, tata pergaulan,
hubungan patron-klien, bahkan keagamaan. Singkatnya, komunitas Situbondo
seumumnya menghendaki identitas diri mereka sebagai komunitas yang khas
Situbondo yang di masa silam diberi sebutan kehormatan "Wirabhumi" yakni
tanah para ksatria perkasa.
-
Kebanggaan identitas ke-situbondo-an
itu oleh mayoritas penduduknya kemudian diwujudkan dalam bentuk semboyan
"SANTRI" yang memiliki konotasi ke-Islam-an kuat. Penduduk pribumi Situbondo
-- bagaimana pun tidak taatnya dalam beragama -- umumnya bangga disebut
santri. Dengan demikian, istilah "santri" bagi masyarakat Situbondo memiliki
makna tersendiri yang hanya bisa mereka fahami sendiri. Dan mereka, umumnya
menghendaki agar orang di luar mereka menghargai dan menghormati identitas
itu.
-
Sebagai akibat adanya kesamaan dalam
perasaan bangga dengan ke-situbondo-an yang dimiliki, maka secara tradisional
hubungan komunitas mayoritas yang muslim dengan komunitas minoritas yang
non-muslim dapat terjalin dergan baik. Komunitas non-muslim yang umumnya
keturunan Cina, seperti seumumnya warga muslim, juga sangat menghormati
dan memuliakan figur kiai. Seringkali dengan melepas identitas keagamaannya,
masyarakat non-muslim keturunan Cina meminta bantuan kepada kiai terutama
tentang hal-hal yang bersifat spiritual.
-
Bertolak dari kesamaan visi tentang
ke-situbondo-an yang mereka banggakan hubungan patron-klien yang terbentuk
di kawasan itu menjadi unik. Sebab figur kiai yang di daerah lain dijadikan
panutan oleh komunitas santri, di Situbondo figur kiai justru dijadikan
pula panutan oleh komunitas keturunan Cina yang bukan pemeluk Islam. Pola
hubungan patron-klien ini setidaknya sudah terbentuk sejak jaman kolonial
Belanda.
-
Keselarasan hubungan antara komunitas
mayoritas dangan komunitas minoritas yang terbina sejak jaman kolonial
Belanda dengan figur kiai sebagai dinamisator dan stabilisator, setidaknya
terbukti dari bermunculannya bangunan-bangunan gereja Katholik dan Kristen
di berbagai daerah di Situbondo. Gereja-gereja raksasa yang dibangun oleh
minoritas Kristen bertumbuhan bagaikan jamur di jalan-jalan protokol. Namun
demikian komunitas kiai santri tidak memasalahkan sebagaimana hal itu terjadi
di daerah-daerah lain.
-
Memasuki tahun 1996, komunitas mayoritas
di Situbondo, mendadak memasalahkan keberadaan gereja-gereja di berbagai
jalan protokol di Situbondo (data terakhir yang diterima TPF GP Ansor menyebut,
masalah keberadaan gereja ramai dibicarakan umat Islam Situbondo setelah
kunjungan rombongan MUI Pusat ke Situbondo. Dalam kunjungan itu, Ketua
MUI menyinggung soal gereja Bukit Sion yang berdiri tegak di pintu barat
kota. Sejak saat itu, komunitas mayoritas mulai hangat membicarakan keberadaan
gereja gereja tersebut). Komunitas mayoritas yang bangga dengan identitas
"santri" mendadak bagaikan "ditampar" oleh fakta yang terpampang di depan
matanya. Mereka merasa dipermalukan dengan fakta yang mereka anggap mencemari
identitas ke-santri-an mereka.
-
Sebagai komunitas yang terbentuk
dalam struktur patron klien, komunitas mayoritas Situbondo kemudian mengkonsultasikan
masalah yang "memalukan" mereka itu kepada para patron mereka yakni kiai-kiai
berpengaruh seperti KH Achmad Sofyan, KH Kholil As'ad dan KH Fawaid As’ad.
Dalam konteks ini, para kiai dihadapkan pada suatu dilema yakni komunitas
minoritas yang dilaporkan oleh komunitas mayoritas itu sebagian besar adalah
pengikutnya (klien). Masalah itu kemudian terkesan "mengambang" karena
belum diketemukan jalan keluar yang baik.
-
Dalam kondisi semacam di atas, tiba-tiba
muncul kerusuhan yang dimulai di kompleks PN Situbondo dan gereja Bukit
Sion yang dilakukan oleh orang-orang tak dikenal ditambah para pengikut
KH Zaini. Komunitas mayoritas yang masalahnya "mengambang" dengan cepat
terpancing oleh gerakan kerusuhan yang menggunakan slogan-slogan khas seperti:
Hidup NU! Hidup PPP! Allahu Ahbar! Mereka kemudian ikut terjun ke dalam
arus kerusuhan. Ikut terlibatnya warga Situbondo dalam kerusuhan 10 Oktober
1996, dapat dilihat sebagai suatu disharmoni dalam dinamika sosial. Karena
hal tersebut telah memecah harmonisasi antar klien yang sudah terbina baik
selama itu.
[Daftar Isi]
[Previous] [Next]