Bab IV
P e n u t u p
3. Aspek Sosio-Kultural-Religius
-
Sejak awal dalam lingkungan masyarakat
Situbondo, istilah "santri" mempunyai konotasi yang khas. Istilah tersebut
dianggap sebagai suatu simbol yang paling menguasai keseluruhan pengenalan
diri komunitas mereka. Itu sebabnya, aspek ke-santri-an begitu dianggap
mendominasi identitas warga Situbondo.
-
Sejak memasuki perempat akhir dekade
1980-an, komunitas minoritas di Situbondo mulai menunjukkan identitas diri
secara "berlebihan" baik dalam cara mendakwahkan agamanya maupun menampilkan
bentuk bangunan tempat beribadah. Mereka, misalnya, membangun gereja yang
megah di tengah pemukiman umat Islam seperti kasus di Asembagus yang jumlah
penganut katholiknya hanya 5 orang dan 3 gereja besar dengan penganut Kristennya
hanya 185 orang. Sementara yayasan-yayasan Kristen juga terlihat sangat
giat mengembangkan sekolah Kristen, sementara sekolah di sekitarnya sudah
berlebih dan bahkan kekurangan siswa.
-
Sepakat dengan pemikiran Th Sumartana,
dalam konteks ini pihak Kristen dipandang terlalu mencolok dalam menghadirkan
bangunan gereja di jalan-jalan protokol. Munculnya bangunan itu hampir
menjadi simbol hegemoni spiritual dari kalangan, Kristen terhadap muslim
di kota "santri". Ini menunjukkan sikap kurang hormat dan kurang bertenggang
rasa. Dan apa yang ditengarai Sumartana, rupanya mendatangkan kemarahan
tersendiri bagi komunitas muslim di Situbondo yang meresa "dipermalukan"
oleh hadirnya bangunan-bangunan gereja raksasa di sekitarnya meski hal
itu tidak mereka sadari sebelumnya.
-
Salah satu dampak yang tidak diperhitungkan
oleh pihak perekayasa akibat meletusnya kerusuhan 10 Oktober 1996, adalah
semakin meningkatnya kedudukan para kiai di mata masyarakat terutama dalam
kedudukan sebagai patron. Dikatakan begitu, karena hampir seluruh keluarga
korban mendapat dukungan langsung maupun tidak langsung dari para-kiai
baik menyangkut dukungan finansial, pikiran maupun sekedar doa. Masyarakat
yang keluarganya dijadikan tersangka dalam kasus tersebut, telah berada
pada kedudukan sebagai warga yang tidak memiliki pelindung dan pengayom.
Pada sisi inilah, para kiai mengambil peran sebagai patron yang concern
terhadap nasib para tersangka dan berusaha membebaskannya. Dan peran para
kiai tersebut, akan dinilai sebagai uluran tangan para orang suci yang
akan menarik mereka dari jurang kesengsaraan. Ini berarti, kepemimpinan
para kiai yang bersifat teokratis akan mendapat tempat di hati dan jiwa
masyarakat Situbondo dibanding kepemimpinan birokrasi yang sekuler.
[Daftar Isi]
[Previous] [Next]