KERUSUHAN
DI PULAU SAPARUA
KABUPATEN DATI II MALUKU TENGAH |
A. KRONOLOGIS PERISTIWA
1. Pra Kerusuhan
Di pulau Saparua terdapat sejumlah 16 (enam belas) Desa dan 2 (dua)
Dusun. Dari jumlah itu terdapat 13 (tiga belas) Desa dan 2 (dua) Dusun yang penduduknya
beragama Kresten masing-masing : (1) Desa Saparua; (2) Desa Tiouw; (3) Desa Haria; (4)
Desa Porto; (5) Desa Paperu; (6) Desa Booy; (7) Desa Sirisori Amalatu; (8) Desa Ullath;
(9) Desa Ouw; (10) Desa Tuhaha; (11) Desa Ihamahu; (12) Noloth; (13) Desa Itawaka; (14)
Dusun Mahu Desa Paperu dan (15) Dusun Pia Desa Sirisori Amalatu. Sedangkan 3 (tiga) Desa
masing-masing : (1) Desa Kulur; (2) Desa Sirisori Islam dan (3) Desa Iha yang penduduknya
beragama Islam. Disamping itu pada Desa-Desa seperti Tiouw, Saparua, Paperu, Sirisori
Amalatu dan Tuhaha terdapat perkampungan Suku Buton yang beragama Islam.
Kerusuhan di pulau Ambon sejak tanggal 19 Januari 1999 yang
mengedepankan isu suku dan agama (SARA) telah diantisipasi baik oleh Musyawarah Pimpinan
Kecamatan (MUSPIKA) Saparua maupun para anggota Latupati atau raja-raja (baca :
Kepala-Kepala Desa) dari Desa-Desa di Pulau Saparua dan Pulau Nusalaut (Wilayah Kecamatan
Saparua); sehingga tidak berdampak pada terjadinya kerusuhan di Pulau Saparua.
Langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh MUSPIKA menurut Camat saparua dan KAPOLSEK
Saparua adalah melakukan kunjungan dan memberikan pengarahan serta pengertian tentang
kerusuhan yang terjadi di Pulau Ambon, baik formal maupun informal ke Desa-Desa maupun ke
Gereja dan Masjid di Saparua. Sementara itu para Latupati Kecamatan Saparua sejak tanggal
23 Januari 1999, dalam rapat di Desa Tuhaha telah mengeluarkan Pernyataan dan himbauan
untuk semua anggota masyarakat agar tidak saling menyerang. Langkah-langkah antisipasi ini
telah membuahkan hasil setidaknya sampai tanggal 2 Pebruari 1999 tidak pernah terjadi
masalah apapun sebagai dampak kerusuhan Ambon di Pulau Saparua.
Namun kondisi aman tersebut menjadi berbalik. ketika pada tanggal 3
Februari 1999 pukul 01.30 wit, terjadi kebakaran dalam kota Saparua. Rumah yang terbakar
adalah rumah kosong milik Keluarga F. Siahaya (Kristen) yang dibangun diatas tanah milik
Keluarga Huliselan dan dikontrak oleh seorang warga Desa Kulur (Islam).
Pada tanggal 8 Februari 1999 pukul 01.30. wit, terjadi lagi kebakaran
dalam kota Saparua. Rumah yang terbakar adalah rumah kosong milik Keluarga Simatauw yang
dibangun diatas tanah milik Keluarga Luhulima dan disewa/dikontrak oleh Keluarga Suku
Bugis (Islam).
Selain kedua peristiwa kebakaran di atas kadaan di pulau Saparua
dianggap "aman dan terkendali". Menurut MUSPIKA dan semua anggota
Latupati di Saparua; sampai terjadinya kerusuhan di pulau Haruku tanggal 14 Pebruari 1999
yang membumi hanguskan Desa Kariu, kondisi di Kecamatan Saparua dianggap aman.
2. Saat Terjadinya Kerusuhan
2.1. Pembakaran dan Pengrusakan Rumah Suku Buton di Waisisil dan
Garap Desa Tiouw; Saru, Ketapang dan Gunung Panjang Desa Saparua; Waehenahia Desa Siri
Sori Amalatu dan Gunung Tinggi Desa Tuhaha.
Pembakaran rumah-rumah suku Buton yang terdapat pada petuanan
(baca : wilayah) Desa Tiouw, Paperu, Saparua, Siri Sori Amalatu dan Tuhaha terjadi
bersamaan setelah peristiwa kerusuhan di pulau Haruku yang membumihanguskan Desa Kariu
tanggal 14 Pebruari 1999. Latar belakang terjadinya pembakaran rumah-rumah ini antara lain
:
1. Emosi masyarakat Kristen di pulau Saparua akibat melihat kondisi
korban kerusuhan di pulau Haruku yang berasal dari Desa Kariu dan Desa Hulaliu sejumlah 13
(tiga belas) orang yang dievakuasi ke RSU Saparua. Sesuai data dari RSU Saparua, maka para
korban dari pulau Haruku tersebut diperinci sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) korban dari Desa Hulaliu, masing-masing :
| MARTHINUS TAIHUTU (17 tahun) luka robek pada mulut akibat tembakan. Korban
meninggal di RSU Saparua. |
| RONNY HUKA (33 tahun) luka robek pada seratum (permukaan kulit) akibat tembakan. |
| DOMINGGUS NOYA (26 tahun) luka robek pada punggung akibat tembakan. |
| SIMON NOYA (18 tahun) luka pada kaki kiri akibat tembakan. |
| DONNY NOYA (26 tahun) luka pada pinggul kanan akibat tembakan. |
| JACOB LAISINA (32 tahun) luka pada lengan kanan akibat tembakan. |
| JHONY KAINAMA (38 tahun) luka pada lengan kanan akibat tembakan. |
| JEFRY NOYA (30 tahun) luka pada punggung akibat tembakan. |
| JUSUF BIRAHI (29 tahun) luka pada tangan kanan akibat tembakan. |
| CHRISTIAN NOYA (23 tahun) luka pada kaki kiri akibat tembakan. |
b. 3 (tiga) korban dari Desa Kariu, masing-masing :
| DOMINGGUS PATTIRADJAWANE (25 tahun) luka pada dada kiri akibat tembakan. |
| DOMINGGUS MATAHELUMUAL (27 tahun) luka pada paha kanan akibat panah. |
| JOHANIS PATTIRADJAWANE (40 tahun) luka robek pada kepala akibat dipotong. |
2. Para korban yang dievakuasi ke RSU Saparua memberikan informasi
bahwa Gereja Kariu yang telah diserahkan kepada aparat keamanan untuk dijaga/diawasi oleh
Pemerintah Desa Kariu dan Pendeta, kemudian ternyata telah dibakar. Hal ini lebih menambah
emosi masyarakat Kristen di Pulau Saparua.
3. Para korban yang dievakuasi dari Pulau Haruku,
juga memberikan informasi bahwa mereka melihat beberapa warga Suku Buton dari Saparua
terutama saudara kandung dari Petinju Indonesia La ATA terlibat dalam kerusuhan di Pulau
Haruku.
Mengenai keadaan dan kronologis pembakaran rumah-rumah Suku Buton pada
lokasi-lokasi dalam petuanan Desa-Desa : Tiouw, Paparu, Saparua, Siri Sori Amalatu dan
Tuhaha dapat diperinci seperti dibawah ini.
2.1.1. Perkampungan Suku Buton Di Waisisil Desa Tiouw Dan Paperu
Menurut keterangan Kepala Desa Tiouw, rumah-rumah Suku Buton di
Waisisil yang ada dalam petuanan Desa Tiouw semuanya sudah kosong karena ditinggalkan oleh
pemiliknya pergi mengungsi ke Masohi (Ibu Kota Kabupatan Maluku Tangah) di Pulau Seram.
Rumah-rumah Suku Buton di Waisisil dibakar pada tanggal 14 Pebruari 1999 pukul 13.00 WIT
oleh massa Kristen yang emosi akibat korban dan informasi dari kerusuhan di Desa Kariu
Pulau Haruku. Jumlah rumah yang terbakar adalah 12 (dua belas) buah dan 6 (enam) buah
dirusak. Dari rumah-rumah yang terbakar terdapat 2 (dua) buah milik masyarakat Saparua
yang beragama Kristen. Dalam peristiwa ini tidak ada korban jiwa.
2.1.2. Perkampungan Suku Buton di Ketapang Desa Saparua
Pada saat yang bersamaan dengan kebakaran rumah-rumah suku Buton di
Waisisil pada tanggal 14 Februari 1999 pukul 13.00 WIT, terjadi juga pembakaran terhadap
perkampungan suku Buton di Ketapang petuanan Desa Saparua. Rumah-rumah yang terbakar
keseluruhannya masih dihuni dan bukan merupakan rumah kosong, karena dilindungi oleh
pemerintah Desa Saparua. Menurut keterangan Sekretaris Desa Saparua (Jhon Pattiwael) yang
datang setelah terjadinya kebakaran, ternyata ada kejanggalan-kejanggalan antara lain :
(1) Pada saat terjadi kebakaran terlihat para penghuni masih mengeluarkan barang-barang
dari dalam rumah ; (2) Pada saat ditanya siapa yang membakar, dijawab; massa tetapi tidak
ada orang lain selain para pemilik rumah ; (3) Ketika ditanya rumah dibakar dengan apa,
ada yang menjawab dengan bensin tetapi ada juga yang menjawab dengan "kiming
kelapa" ( baca : daun kelapa kering yang dililit). Jumlah rumah yang terbakar
pada tanggal 14 Februari 1999 di Ketapang adalah 7 (tujuh) buah rumah. Korban kemudian
ditampung sementara di POLSEK Saparua, kemudian dengan inisiatif sendiri mengungsi ke
Masohi Pulau Seram dan tinggal pada keluarga-keluarga suku Buton di Masohi. Pada tanggal
22 Februari 1999 setelah peristiwa kerusuhan di Siri Sori Islam, pada pukul 14.00 WIT
terjadi lagi pembakaran 1 (satu) buah rumah kosong di Ketapang Desa Saparua.
Jumlah rumah yang terbakar di Ketapang ada 8 (delapan) buah rumah dan
tidak ada korban jiwa.
2.1.3. Perkampungan Suku Buton Di Garap Desa Tiouw Dan Saru Desa
Saparua
Perkampungan suku Buton di Garap dan Saru berdekatan tetapi berada pada
petuanan yang berbeda. Garap berada dalam petuanan Desa Tiouw sedang Saru berada pada
petuanan Desa Saparua.
Pada tanggal 14 Februari 1999 akibat adanya informasi dari korban
kerusuhan di Pulau Haruku yang dievakuasi ke RSU Saparua bahwa "saudara kandung
petinju nasional LA ATA terlibat dalam kerusuhan di Pulau Haruku", maka
masa menjadi marah dan membakar 2 (dua) buah rumah di Saru dan 1 (satu) buah rumah di
Garap sekitar pukul 13.30 WIT. Rumah yang terbakar adalah rumah-rumah kosong yang sudah
ditinggalkan penghuninya mengungsi ke Masohi. Rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya,
menurut keterangan Kepala Desa Tiouw dan Sekretaris Desa Saparua ada yang dititipkan untuk
diawasi tetapi ada juga yang diserahkan kepada para pemilik dusun dimana warga Buton
mendapat ijin tinggal. Menurut data MUSPIKA Saparua, pada tanggal 24 Februari 1999 antara
pukul 14.30 dan 15.00 WIT terjadi kebakaran 14 (empat belas) rumah di Saru dan 4 (empat)
rumah di Garap. Selanjutnya pada awal bulan Maret tahun 1999 (tanggalnya sudah lupa)
terjadi lagi pembakaran 1 (satu) buah rumah di Garap Desa Tiouw. Oleh karena rumah ini
sudah diserahkan kepada pemilik dusun dan karena pemilik dusun mengetahui pelakunya maka
hal ini telah dilaporkan kepada Polisi. Berdasarkan laporan tersebut pelaku pembakaran
sudah ditangkap Polisi dan berada dalam tahanan Polisi.
Jumlah rumah yang terbakar secara keseluruhan Garap 6 (enam) buah dan
di Saru 16 (enam belas) buah, serta tidak ada korban jiwa. Musolla di Saru masih dalam
keadaan utuh.
2.1.4. Perkampungan Suku Buton di Gunung Panjang Desa Saparua dan
Gunung Tinggi Desa Tuhaha.
Sebagaimana perkampungan suku Buton di Waisisil, Saru dan Garap; maka
rumah-rumah diperkampungan suku Buton Gunung Panjang Desa Saparua dan Gunung Tinggi Desa
Tuhaha merupakan rumah-rumah kosong dimana penghuninya telah mengungsi di Masohi sebelum
tanggal 14 Pebruari tahun 1999. Akan tetapi konsentrasi pemukiman suku Buton pada kedua
lokasi ini berada dalam hutan dengan jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan rumah
yang lain.
Setelah terjadi kerusuhan di Ambon tanggal 19 Januari 1999 warga Buton
di Gunung Tinggi dan beberapa rumah di Gunung Panjang setiap malam berlindung di Desa
Tuhaha. Sebelum peristiwa Kariu tanggal 14 Pebruari 1999 ada beberapa warga yang melapor
ke pemerintah Desa Tuhaha untuk mengungsi ke Masohi. Bagi warga Buton yang melapor
diberikan surat keterangan oleh Pemerintah Desa Tuhaha dengan catatan hanya berlaku 3
(tiga) bulan. Menurut Kepala Desa Tuhaha apabila lebih dari 3 (tiga) bulan tidak kembali
ke Desa Tuhaha, maka yang bersangkutan hilang haknya sebagai warga Desa Tuhaha.
Bersamaan dengan pembakaran rumah-rumah suku Buton di Waisisil, Garap,
Saru dan Katapang, maka pada tanggal 18 Pebruari 1999 sekitar pukul 15.00 WIT di Gunung
Tinggi Desa Tuhaha juga terbakar 3 (tiga) buah rumah atas nama LA SANGKU, LA UDIN dan
LA SANE. Sedangkan di Gunung Panjang pada Jam yang sama terbakar 1 (satu) buah
rumah. Kemudian pada tanggal 22 Pebruari 1999 pukul 17.00 WIT terbakar juga 2 (dua) buah
rumah di Gunung Panjang. Pada tanggal 19 Maret 1999 sekitar pukul 18.00 WIT masa dari arah
Siri Sori Amalatu dan dari Saparua melakukan pembakaran 8 (delapan) buah rumah di Gunung
Tinggi Desa Tuhaha. Rumah-rumah yang terbakar diidentifikasi milik : LA SAHALA,
AHMAD, WA FARIDA, LA UTJU, IDRUS, LA KADER, LA OLU
dan DJUFRI. Masa juga mencoba membakar Musola yang ada di Gunung Tinggi, akan
tetapi pemerintah Desa dan masyarakat Desa Tuhaha dengan cepat dapat mengatasi api
sehingga yang terbakar hanya pintu Musolla bagian bawah. Menurut keterangan Kepala Desa
Tuhaha yang adalah juga Ketua Latupati Saparua bahwa rumah-rumah yang tidak terbakar
adalah rumah-rumah yang telah diserahkan pemiliknya kepada Pemerintah Desa; karena sudah
ada tanda/tulisan "Rumah Ini Dalam Pengawasan Pemerintah Desa Tuhaha".
Masa yang sama kemudian bergerak ke arah Gunung Panjang Desa Saparua
pada pukul 18.30 WIT dan kemudian merusak Tifa Musolla dan karpet yang ada dalam Musolla
Gunung Panjang. Tifa ditusuk dengan tombak.
Jumlah rumah yang terbakar di Gunung Tinggi Desa Tuhaha adalah 11
(sebelas) buah dan Musolla yang sengaja dibakar 1 (satu) buah. Sedangkan rumah yang
terbakar di Gunung Panjang Desa Saparua sejumlah 3 (tiga) buah rumah serta peralatan
Musolla (tifa dan karfet) dirusak.
Menurut keterangan aparat Pemerintah Desa Tuhaha dan Saparua, di Gunung
Panjang dan Gunung Tinggi terdapat beberapa keluarga suku Buton yang tidak mau mengungsi
karena sejak dari orang tua mereka , mereka telah tinggal di tempat itu. Mereka mengatakan
"mati di Saparua, di Masohi atau di Buton sama saja". Kenyataannya mereka
yang tetap tinggal ini tidak pernah diganggu.
2.1.5. Perkampungan Suku Buton di Wahenahia Desa Siri Sori
Amalatu
Suku Buton di Desa Wahenahia setelah kerusuhan di Ambon tanggal 19
Januari 1999 selalu berlindung pada rumah-rumah penduduk di Desa Siri Sori amalatu.
Setelah peristiwa Kariu tanggal 14 Pembruari 1999 mereka mengungsi ke Polsek Saparua
selama seminggu dan kemudian masing-masing mengungsi ke Masohi yang alat angkutnya
disiapkan serta mendapat pengawalan Polisi ke Masohi.
Rumah-rumah suku Buton di Wahenahia terbakar pada saat terjadinya
peristiwa saling menyerang antara Siri Sori Islam dan Siri Sori Amalatu serta Ulath dan
Ouw pada tanggal 22 Pebruari 1999.
Pada Saat warga masyarakat yang membantu warga Desa di Siri Sori
Amalatu kembali pukul 14.00 WIT hari itu, mereka membakar 4 (empat) buah rumah kosong di
Wahenahia. Selanjutnya pada tanggal 23 Maret 1999 sekitar pukul 14.30 WIT warga masyarakat
yang membantu kerusuhan di Siri Sori Amalatu pada saat kembali melalui Wahenahia, membakar
lagi 1 (satu) buah rumah kosong dan merusak 1 (satu) buah Musolla di Wahenahia.
Jumlah rumah yang terbakar di Wahenahia Desa Siri Sori Amalatu adalah 5
(lima) buah rumah dan 1 (satu) buah Musolla dirusak, tetapi tidak ada korban jiwa.
3. Kerusuhan di Desa Siri Sori Islam dan Desa Siri Sori Amalatu
Data yang diperoleh dari MUSPIKA Saparua menunjukan bahwa pada tanggal
22 Pebruari 1999 terjadi kontak phisik antara warga Desa Siri Sori Islam dan warga Desa
Siri Sori Amalatu. Sedangkan keterangan yang diperoleh di lapangan menunjukan bahwa kontak
phisik tidak hanya terjadi antara kedua Desa tersebut tetapi juga terlibat Desa Ulath dan
Desa Ouw. Latar belakang terjadinya peristiwa di Desa Siri Sori Islam antara lain : (1)
Akses akibat kerusuhan di Kariu Pulau Haruku. (2) Dari sudut masyarakat Ulath, akibat
tidak jelasnya nasib 8 (delapan) warga Ulath di Desa Hila Kristen pulau Ambon sejak
tanggal 19 Januari 1999.
Menurut keterangan seorang warga masyarakat Siri Sori Amalatu (EDI
ATIHUTA) bahwa setelah terjadi kerusuhan di Ambon tanggal 19 Januari 1999 sudah ada
keinginan dari perangkat Desa Siri Sori Amalatu untuk bertemu dengan perangkat Desa Siri
Sori Islam, tetapi tidak disambut oleh perangkat Desa Siri Sori Islam. Selanjutnya menurut
keterangan Bpk. J. PATTIASINA (Pendeta Siri Sori Amalatu) bahwa oleh karena warga
masyarakat Desa Siri Sori Amalatu sedikit dibandingkan dengan masyarakat dari Desa Siri
Sori Islam, maka mereka meminta bantuan warga masyarakat Kristen dari Desa lain di Saparua
untuk membantu dan berjaga-jaga. Akan tetapi selalu melakukan tindakan preventif berupa
mengumpulkan warga jemaat di Gedung Gereja untuk berdoa, termasuk juga warga masyarakat
dari luar Desa Siri Sori Amalatu. Selalu ditekankan untuk tidak menyerang, tetapi apabila
diserang harus membela diri/mengupayakan keselamatan. Dikatakan lagi bahwa kontak phisik
di Desa Siri Sori Islam terjadi 3 (tiga) kali, tetapi tanggalnya tidak diketahui lagi. Hal
ini dibenarkan oleh EDDY ATIHUTA bahwa peristiwa kerusuhan di Desa Siri Sori Islam
terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1999, 16 Maret 1999 dan tanggal 21-23 Maret 1999, yang
kronologisnya dapat dijelaskan dibawah ini.
Pada tanggal 22 Pebruari 1999 sekitar pukul 05.00 WIT terjadi saling
lempar-melempar batu antara warga Desa Siri Sori Islam dengan warga Desa Siri Sori
Amalatu. Pagi hari sekitar pukul 10.00-11.00 WIT ada utusan dari Desa Ulath yang datang
memberikan kabar bahwa "Ulath dan Ouw sudah menyerang dari arah hutan".
Bersamaan dengan itu terdengar bunyi bom pada arah hutan Desa Siri Sori Islam. Kemudian
terdengar hura-hura (ribut-ribut) di ujung Desa Siri Sori Amalatu dan Desa Siri Sori
Islam, yang saling menyerang tetapi hanya di perbatasan desa. Menurut keterangan saksi
mata (EDDY ATIHUTA) aparat keamanan menembak masyarakat Desa Siri Sori Amalatu
dengan posisi tiarap sambil mengarahkan laras senjata ke atas. Sekitar pukul 12.00 WIT
keadaan dapat dikendalikan karena masuknya Kapal Perang yang menembak dari arah laut.
Dalam peristiwa ini terdapat korban meninggal dari Desa Siri Sori Islam
1 (satu) orang atas nama : DIMAN SANAKY umur 16 tahun sedangkan dari Desa Ulath 1
(satu) orang luka tembak atas nama FRANS PATTIPEILOHY yang dievakuasi ke Desa Siri
Sori Amalatu.
Pada tangggal 12 Maret 1999 sekitar pukul 09.30 WIT terjadi pembunuhan
di hutan Siri Sori Islam atas nama : HARUNA SAHUPALA umur 60 tahun dan pelakunya
sampai sekarang belum diketahui.
Pada tanggal 16 Maret 1999 sekitar pukul 09.30 WIT terdengar teriakan
ejekan dari arah Desa Siri Sori Islam bahwa : "Siri Sori Amalatu penakut, PKI,
RMS, Tuhan Yesus Bakutu Karena Berambut Panjang". Dilain pihak ada informasi
bahwa Desa Siri Sori Islam akan menyerang Desa Siri Sori Amalatu pada tanggal 16 Maret
1999. Karena pada tanggal 16 Maret 1999 itu ada pelantikan Raja/Kepala Desa Itawaka.
Sekitar pukul 10.30 WIT ada juga utusan yang datang dari arah Desa Ulath dan Desa Ouw
melalui hutan, tetapi langsung, tiba-tiba sudah terjadi kontak phisik di perbatasan Desa
Siri Sori Islam dengan warga masyarakat Desa Ulath. Di perbatasan Desa Siri Sori Amalatu
terjadi ketegangan tetapi tidak saling menyerang.
Pada tanggal 21 Maret 1999 sekitar pukul 17.00 WIT Bpk. Guru EFENDY
SYAUTA (warga Desa Siri Sori Islam yang dibonceng seorang petugas Polisi bermarga
PELU) beberapa kali mondar-mandir dalam Desa Siri Sori Amalatu. Pada saat mereka
kembali terdengar suara-suara memancing emosi dengan teriakan dan hura-hura agar Desa Siri
Sori Amalatu mau menyerang. Hal yang sama dilakukan juga pada tanggal 22 Maret 1999 pada
jam yang sama pula. Pada tanggal 22 Maret 1999 sekitar pukul 22.00 WIT sudah mulai
terdengar ledakan di arah perbatasan Desa Siri Sori Islam dan Desa Ulath. Pada pukul 03.00
WIT tanggal 23 Maret 1999 terdengar ledakan yang lebih banyak. Sekitar pukul 10.30 WIT
pagi tanggal 24 Maret 1999 dari arah Desa Siri Sori Islam terdengar aktivitas menyerang
dengan lebih dulu membakar 1 (satu) buah rumah kosong yang sudah tidak dihuni. Penyerangan
ini pertama-tama dihadang oleh orang-orang wanita dari Desa Siri Sori Amalatu dan petugas
keamanan, karena orang laki-laki berada di hutan (bertani). Dari arah Hutan Siri Sori
Islam, penyerangan dari arah Desa Ulath berlangsung sampai malam hari. Sekitar pukul 19.00
WIT dari arah hutan dievakuasi korban meninggal atas nama JOHNY NIKIJULUW (warga
Ulath yang tertembak pada dada kiri). Jenazah kemudian dievakuasi ke Desa Ulath melalui
Teluk Hatawano, tanpa diketahui oleh petugas keamanan.
Akibat kerusuhan ini, warga Desa Siri Sori Islam mengalami kerugian
sebagai berikut :
| Korban Meninggal: 2 orang, atas nama : |
DIMAN SANAKY
HARUNA SAHUPALA
| Korban Luka : 4 orang, atas nama : (belum terdata) |
Sedangkan di pihak Desa Ulath :
| Korban Meninggal: 1 orang, atas nama : |
JHONY NIKIJULUW
| Korban Luka Berat: 1 orang, atas nama : |
FRANS PATTIPEILOHY
Pada tanggal 27 Maret 1999 terjadi pelemparan terhadap mobil penumpang
yang melewati Desa Siri Sori Islam. Pengendara mobil berasal dari Desa Siri Sori Amalatu
dan Desa Haria. Pelaku pelemparan sudah ditangkap dan dibawa ke Ambon.
4. Kerusuhan di Desa Iha
Kerusuhan di Desa Iha terjadi pada tanggal 23 Pebruari 1999, satu hari
setelah terjadi kerusuhan di Desa Siri Sori Islam. Pada prinsipnya kerusuhan di Desa Iha
merupakan ekses dari kerusuhan di Kariu Pulau Haruku.
Setelah peristiwa kerusuhan di Kariu Pulau Haruku, Kepala Desa Noloth
yang adalah juga sekertaris Latupati Saparua selalu melakukan pendekatan-pendekatan
persuasif dengan Pemerintah Desa Iha maupun Ihamahu. Pada tanggal 16 Pebruari 1999 sekitar
pukul 10.00 WIT masuk Kapal Perang Angkatan Laut di Noloth. Yang dipimpin Bpk. MARDINAL
(DANLANAL HALONG) bersama-sama dengan Kru TVRI. Sehubungan dengan itu diadakan
pertemuan dengan Staf Pemerintah Desa Holoth, kemudian ke Desa Iha untuk pertemuan bersama
dengan Pemerintah Desa Iha. Akan tetapi Kepala Desa Noloth mengusulkan pertemuan harus
melibatkan juga Staf Pemerintah Desa Ihamahu di Desa Ihamahu. Materi pertemuan yang
dibicarakan adalah : "Saling menjaga keamanan dan ketertiban agar jangan
terjadi kerusuhan". Oleh karena itu, baik Kepala Desa Noloth, Sekretaris Desa
Iha maupun Kepala Desa Ihamahu sama-sama menilai, kerusuhan di Desa Iha dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan hasil investigasi di lapangan, maka kronologis kerusuhan di
Desa Iha diuraikan menurut 3 (tiga) versi, sebagai berikut :
1. Versi Sekretaris Desa Iha (A. G. Tuhulola)
Pada tanggal 22 Pebruari 1999 pukul 17.30 WIT ada ledakan bom
di ujung Desa Iha yang berbatasan dengan Desa Noloth. Pada malam hari masyarakat tertidur,
tetapi warga masyarakat yang bertugas di pos kamling tetap berjaga-jaga. Masyarakat yang
rumahnya berbatasan dengan Desa Noloth dan Desa Ihamahu sudah mengangkut barangnya dan
tidur di Mesjid. Hal ini disebabkan setelah peristiwa Kariu mulai keadaan kurang aman dan
masyarakat Desa Iha lalu mengamankan barang-barang mereka di Mesjid.
Pada tanggal 23 Pebruari 1999 pukul 01.30 WIT tiba-tiba ada serangan
dari arah Desa Noloth, karena tiba-tiba ada rumah yang terbakar serta terdengar bunyi
tembakan. Pada saat itu Desa Iha telah dikepung dari arah Desa Noloth mulai dari pantai
sampai ke hutan. Dalam serangan ini terbakar 15 (lima belas) buah rumah dan korban
luka-luka 1 (satu) orang terkena tembakan atas nama SALEH HATALA.
Sekitar pukul 02.30 WIT (satu jam kemudian) terjadi serangan dari arah
Desa Ihamahu yang dipusatkan ke arah pantai melalui kuburan. Dalam serangan ini 2 (dua)
rumah terbakar lagi. Serangan dari kedua arah ini berlangsung sampai sekitar pukul 05.30
WIT pagi hari. Pada pukul 05.30 WIT, masuk Kapal Perang TNI Angkatan Laut yang melakukan
tembakan dari arah laut. Bersamaan dengan itu datang juga petugas keamanan (bantuan) dari
Saparua.
Menurut A.G. TOHULOLA (Sekdes Iha) ada tembakan baik dengan
senjata asli maupun senjata buatan, tetapi kerana malam (gelap) tidak dapat mengenali si
penembak. Sedangkan petugas keamanan sendiri (yang bertugas sebelum kerusuhan) karena
takut, mencari tempat perlindungan. Pada pagi hari ada hols (selongsong peluru) yang
diserahkan pada KORAMIL. Selanjutnya mengenai keamanan warga Desa Iha ada tawaran
dari Angkatan Laut untuk diungsikan (terutama wanita dan anak-anak) tetapi masyarakat
tidak mau. Kepala Desa Noloth dan Kepala Desa Ihamahu juga tidak mau masyarakat Desa Iha
mengungsi.
2. Versi Kepada Desa Noloth (P. HULISELAN)
Setelah kerusuhan di Kariu Pulau Haruku, ada yang menyebarkan
isu bahwa "orang Noloth itu bencong". Hal ini memancing emosi masyarakat
Desa Noloth, akan tetapi Pemerintah Desa maupun Pendeta selalu berusaha meredam emosi
masyarakat dengan memberikan bimbingan serta pengarahan kepada masyarakat Desa Noloth. Di
lain pihak ada aktifitas dari pemuda Desa Itawaka yang hendak menyerang Desa Iha tetapi
selalu dicegah. Kepala Desa Noloth bahkan menyatakan kepada para pemuda dari Desa Itawaka "kalau
mau salibkan, betha bersedia tetapi jangan serang ke Iha".
Pada tanggal 22 Pebruari 1999 setelah melakukan kontrol keliling Desa
Noloth Kepala Desa berbicara dengan pendeta di Gereja sampai sekitar pukul 01.30 WIT.
Tiba-tiba terdengar ribut-ribut karena terjadi kebakaran di Desa Iha. Kepala Desa dengan
cepat atau secara langsung meminta bantuan keamanan melalui HT kepada Kepala Desa Haria
untuk menghubungi petugas keamanan. Pada saat Kepala Desa Noloth tiba pada perbatasan Desa
Noloth dan Desa Iha ternyata hampir keseluruhan masyarakat Noloth hanya berdiri menonton
kebakaran di Desa Iha.
3. Versi Anggota Masyarakat Desa Ihamahu
Menurut anggota masyarakat Desa Ihamahu (D. LEATEMIA)
ada 2 (dua) isu yang berkembang di Desa Ihamahu : (a) Masyarakat Desa Ihamahu
menyembunyikan orang Iha karena saudara kandung; (b) ada jenazah orang Iha yang dievakuasi
dari Desa Kariu. Ternyata tidak ada kebenaran dari kedua isu ini berdasarkan fakta. Dari
segi Pemerintah Desa dan Gereja ada upaya meredam berbagai isu yang berkembang serta upaya
untuk tidak menyerang Desa Iha melalui Desa Ihamahu. Dalam suatu pertemuan di Gereja
Pendeta pernah mengatakan "setiap orang yang pergi menyerang Desa Iha tidak
kembali, lima puluh pergi, lima puluh tidak kembali". Selanjutnya dikatakan "jangan
menyerang tetapi kalau diserang harus membela diri". Selanjutnya dikatakan bahwa
penyerangan terhadap Desa Iha pada tanggal 23 Pebruari 1999 dilakukan beberapa orang saja
yang tidak dapat menahan emosi ketika mendengar serangan yang dilakukan dari arah Desa
Noloth.
Setelah peristiwa tanggal 23 Pebruari 1999 hubungan antara Desa Iha dan
Desa Ihamahu menjadi tegang, karena : (a) Penangkapan saudara JANTJE PALIJAMA oleh
anggota Tim XIX berdasarkan laporan dari masyarakat Iha; (b) Pada tanggal 31 Maret 1999
pukul 09.30 WIT diketemukan perangkap berupa kabel strom dan sungga (kolam yang dilengkapi
dengan benda-benda tajam) di kuburan Desa Ihamahu (perbatasan dengan Desa Iha) oleh
petugas jaga di Desa Ihamahu (KOSTRAD) dalam kerja bakti bersama masyarakat; (c) Pada
tanggal 2 April 1999 terjadi pelemparan kaca jendela SMP Desa 2 Hatawano dari arah Desa
Iha.
Akibat kerusuhan ini, masyarakat telah mengalami kerugian sebagai
berikut :
Desa Noloth :
| Korban Meninggal Dunia: 3 orang, atas nama : |
- DOMINGGIS SAHETAPY (tembakan petugas)
- CHERTIE MATATULA (tembakan petugas).
- NICO TOUSALWA (Kena panah milik sendiri yang diduga beracun).
| Korban Luka Berat : 1 orang, atas nama : |
DAUD ANDARIAS (tembakan petugas - tangannya diamputasi).
| Desa Iha : |
| Korban Luka Berat: 1 orang, atas nama : |
SALEH HATALA (tembakan petugas).
| Rumah Terbakar: 17 buah |
5. Pasca Kerusuhan di Saparua
Pada tanggal 6 Maret 1999 bertempat di Geraja Petra Haria berkumpal
para Latupati dari Desa-Desa Kristen di Saparua yang mengeluarkan pernyataan "tidak
akan meyerang Desa-Desa Islam di Saparua". Menurut Ketua Latupati Saparua
direncanakan pada tanggal 10 April 1999 akan di adakan gerakan perdamaian" yang
melibatkan seluruh anggota Latupati yang ada di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan Pulau
Nusalaut.
B. HASIL ANALISA SEMENTARA KERUSUHAN DI PULAU SAPARUA
Berdasarkan pada data-data yang diungkapkan maka ditemukan fakta-fakta
melalui hasil analisis sebagai berikut :
1. Pra kerusuhan
1.1. Adanya fakta bahwa ruamah-rumah suku Buton yang ada pada petuanan
desa Tiouw, Paperi, Saparua, Siri Sori Amalatu dan Tuhaha adalah rumah-rumah kosong yang
sudah ditinggalkan.
1.2. Adanya fakta bahwa terdapat 13 (tiga belas) korban kerusuhan Pulau
Haruku yang berasal dari Desa Kariu dan Desa Hulaliu yang dievakuasi/dirawat di RSU
Saparua.
1.3. Adanya fakta bahwa para Latupati telah mengeluarkan pernyataan
untuk tidak saling menyerang.
1.4. Adanya fakta bahwa masyarakat Desa Ulath merasa dirugikan akibat 8
(delapan) warga asal desa mereka yang tidak menentu nasibnya sejak tanggal 19 Januari 1999
di Desa Hila Kristen Pulau Ambon.
1.5. Adanya fakta bahwa Pemerintah Desa Noloth, Iha dan Ihamahu sudah
bersepakat untuk saling menjaga keamanan dan ketertiban dan menghindari kerusuhan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembakaran
rumah-rumah suku Buton di Saparua, kerusuhan di Desa Iha dan Desa Siri Sori Islam
merupakan ekses terhadap kerusuhan di Desa Kariu Pulau Haruku serta tindakan balas dendam
berdasarkan agama semata-mata.
2. Saat Kerusuhan
2.1. Adanya fakta bahwa rumah-rumah kosong yang ditinggalkan suku Buton
telah diserahkan untuk diawasi Pemerintah Desa maupun diserahkan menjadi milik para para
pemilik dusun tempat suku Buton tersebut berdiam.
2.2. Adanya fakta bahwa muncul isu "Masyarakat Noloth
bencong". Orang Ihamahu melindungi orang Iha, adanya korban masyarakat Desa Iha
yang dievakuasi dari Desa Kariu atau teriakan orang Desa Siri Sori Islam bahwa "Orang
Siri Sori Amalatu RMS, PKI, dan lain-lain", merupakan upaya memancing emosi
masyarakat.
2.3. Adanya fakta bahwa pembakaran Musolla di Wahenahia maupun
rumah-rumah dan mencoba membakar Musolla Gunung Tinggi dilakukan setelah masa kembali dari
berjaga-jaga (dalam rangka membantu) masyarakat Desa Siri Sori Amalatu.
2.4. Adanya fakta bahwa pada saat terjadi kerusuhan di Desa Iha
sebagian besar warga Desa Noloth dan Desa Ihamahu hanya berdiri menonton saja.
Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa kerusuhan di
Pulau Saparua merupakan dampak Kerusuhan di Desa Kariu pulau Haruku berdasarkan upaya
balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
3. Peran Aparat Keamanan
3.1. Adanya fakta bahwa sebelum terjadi kerusuhan petugas keamanan
telah ditempatkan di Desa Iha, Siri Sori Islam maupun di Saparua.
3.2. Adanya fakta bahwa sesuai keterangan Sekretaris Desa Iha, petugas
keamanan pada saat kerusuhan menyelamatkan diri dari para penyerang.
3.3. Adanya fakta bahwa sebelum terjadi penyerangan didahului dengan
pelemparan bom (rakitan sendiri) dengan selang waktu 10 sampai 12 jam.
Berdasarkan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa naluri intelejen dari
petugas keamanan tidak dimanfaatkan atau setidak-tidaknya petugas keamanan lalai dalam
mengantisipasi terjadinya kerusuhan.
4. Pasca Kerusuhan
4.1. Adanya fakta bahwa semua suku Buton yang mengungsi ke Masohi tidak
ditempatkan pada tempat-tempat penampungan pengungsi malainkan di rumah-rumah keluarga.
4.2. Adanya fakta bahwa pada tanggal 6 Maret 1999 Latupati dari
desa-desa yang beragama Kristen telah sepakat untuk tidak menyerang desa-desa Islam.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya
pendamaian yang sudah dimulai dan perlu ditindak lanjuti dengan memberikan rasa aman
kepada semua anggota masyrakat
C. REKOMENDASI
5.1. Agar supaya pendamaian di pulau Saparua benar-benar terwujud
maka perlu ditindak lajuti kesepakatan Latupati dari desa-desa Kristen dengan memperluas
kesepakatan termasuk desa-desa yang beragama Islam (Iha, Kulur dan Siri Sori Islam).
5.2. Perlunya perhatian khusus dari Pemerintah Daerah Tingkat II Maluku
Tengah maupun Pemerintah Kecamatan Saparua terhadap nasib suku Buton yang mengungsi ke
Masohi Pulau Seram.
|