Seusai mengikuti kebaktian sekitar jam 11.00, aku dipanggil
menghadap Tarigan di
kantor bimbingan. Di sana aku bertemu dengan tamu
bermarga Samosir yang
isterinya boru Pakpahan tetangganya Tarigan.
Setelah berkenalan,
aku memanggilnya amangboru.
Samosir ini membawa satu ekor ayam panggang. Kembali kami semua
para tahanan unjuk rasa
makan besar.
Seusai makan siang, seorang pengusaha yang sedang menanjak di
Medan juga datang membawa
makanan. Karena kami baru saja makan, nai
dua bungkus yang dibawanya
itu, kami bagikan kepada teman-teman satu kamar.
Ia pesan kalau ada kebutuhan
jangan segan-segan memesankan kepadanya.
Setelah ia pergi, aku, Eliasa Budiyanto dan Iwan Dukun terlibat
pembicaraan. Iwan
Dukun kembali menegaskan ia bukan GPK Aceh, ia setia
kepada negara Pancasila,
ia tidak anti Soeharto, tetapi menjadi benci
dengan oknum-oknum Kodam
I. Terhadap perjuangan SBSI ia katakan dia
simpati dan mendukung.
Ia mendoakan perjuangan SBSI agar berhasil. Ada
ungkapannya yang menarik
"bang Muchtar Pakpahan ini, mirip nasib Tuhan
Yesus. Tuhan Yesus
disalibkan karena dosa-dosa orang banyak, dan bang
Muchtar Pakpahan dipenjarakan
karena nasib para buruh atau orang banyak".
Dari keterangan Iwan
Dukun ini, aku pikir adalah menarik bila pengalaman
nya dituliskan dalam
buku.
Seusai bertemu iwan Dukun, aku bertemu Paian Napitupulu, teman
sealumni dari FH USU.
Ternyata ia Kepala Tata Usaha LP. Aku makin merasa
at home, kecuali perasaan
rindu sama anak-anak.