Ada dua materi penting dalam kesan dan pesan ini yang hendak
kusampaikan dari pengalamanku
di dalam. Penilaianku terhadap polisi
dan penilaianku terhadap
penjahat.
TERHADAP POLISI
Kalau Poltabes Medan dibuat jadi ukuran tentang keadaan polisi
di Indonesia, maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa polisi Indonesia
tidak atau belum polisi
yang berdasarkan Pancasila dan tidak menjalankan
KUHAP. Mereka
itu cocoknya sebagai polisi kolonialisme Belanda.
Coba kita telaah tingkah laku yang kami alami di dalam. Walau
secara hukum kami yang
di dalam belum tentu bersalah, yang demi hukum
harus diperlakukan "presumption
innosence" atau praduga tak bersalah,
tetapi semua tahanan
kecuali aku mendapat penganiayaan, dan bahkan ada
pad atingkat penyiksaan.
Akibat penyiksaan ada yang kupingnya terus
melelehkan air, ada
yang rahangnya retak. yang jelas kalau residivis
kelas kakap kakinya
akan ditembak. Nanti di koran muncul berita
berusaha melarikan diri.
Masih lumayan kalau benar ia pelaku
kejahatan. Tetapi
kalau tidak seperti yang dialami Alexam yang kasusnya
adalah hutang piutang.
Ginting dianiaya sambil kepadanya dilontarkan kata-kata "kau
main hakim sendiri".
Kalau polisi boleh main hakin sendiri. Padahal
ginting yang penetua
gereja itu di samping ia sudah usia 42, ia membela
kehormatan keluarga
yang tidak ada perlindungan dari polisi.
Setiap tahanan baru, akan mendapat penganiayaan yang silih
berganti, yang sasarannya
UUD (ujung-ujungnya Duit).
Tahanan yang miskin dan tidak punya keluarga, akan menderita.
Ia akan kelaparan tiap
pagi. Dapat dibayangkan, tidur beralaskan ubin
semen, dapat makanan
hanya dua kali satu hari, jam 11.30 dan 17.30,
itupun nasinya bau,
keras dengan lauk hanya ikan asin dengan sayur
kangkung. Tidak
ada sarapan dan tidak ada yang lain-lain. Tahanan
polisi memang tempat
penyiksaan yang dilindungi kekuasaan kepolisian.
Dari sudut Pancasila, tidak ditemukan adanya prikemanusiaan,
tidak ada tenggang rasa,
tidak ada solider, dan solidaritas sesama
polisipun memang rendah.
Dari dalam ke dalam dari dalam keluar, terjadi
exploitation d'lhome
parlhome, penindasan manusia atas manusia.
Dari sudut pelaksana KUHAP, KUHAP tidak dilakkan sepenuhnya,
dan banyak pelanggaran
terhadap KUHAP. Itulah negara hukum kekuasaan,
Polisi boleh menganiaya
orang, kalau sipil melakukannya disebut "main
hakim".
TERHADAP TAHANAN
Kebanyakan tahanan di RTP adalah kejahatan perampokan, pencurian
penodongan, pencopetan
dan sejenisnya. Akar penyebab kejahatan itu
adalah kemiskinan.
Orang tuanya miskin, tidak sanggup melanjutkan
sekolah alias pengangguran,
tidak sanggup membuka lapangan kerja sendiri
dan tidak mau mengerjakan
pekerjaan orang berada di bawah garis
kemiskinan seperti menarik
becak atau asongan. Mereka berpengaruh dengan
penampilan anak orang
kaya hidup enak.
Di antara tahanan, sekitar 25% yang sudah lebih dari satu kali
alias masuk penjara
residivis. Di antara pelaku kejahatan itu ada juga
yang anak orang kaya.
Yang seperti ini, hobylah atau broken home yang
mendorong melakukan
kejahatan.
Aku mencari tahu mengapa angka residivis cukup tinggi. Selain
kemiskinan dan lapangan
pekerjaan sebagai akarnya, tapi sistem pemasyara-
katan dan sistem sosial
kita. Penjara yang disebut Lembaga Pemasyarakatan
itu tidak memberi bekal
ketika mereka keluar, baik bekal sangu maupun
ketrampilan.
Masyarakat belum dapat menerima mereka sebagai warga biasa.
Kalau mereka mencari
pekerjaan, dibutuhkan SKKB (Surat Keterangan Kela-
kuan Baik) dari kepolisian.
Kepolisian tidak mau memberikan SKKB karena
memang berkelakuan tidak
baik. Akhirnya diambil lagi jalan pintas
kembali melakukan kejahatan.
(sumber: Jurnal Muchtar Pakpahan, INDONESIA-L: apakabar@clark.net)
(Kenangan RTP Poltabes, Medan)