Sekilas gambaran kebudayaan Indonesia

Dalam UUD ’45 secara garis besar tertulis bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Namun, Indonesia tidak menolak kebudayaan baru dari budaya asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya budaya indo sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Kebudayaan indo yang supraetnis

Buku: Prof. Dr. Maurits Simatupang

Sekilas gambaran kebudayaan Indonesia

By: Patrisia Kosasih

Dalam UUD ’45 secara garis besar tertulis bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya. Namun, Indonesia tidak menolak kebudayaan baru dari budaya asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya budaya indo sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Menurut Simatupang (2001) yang dimaksud budaya adalah “a product of particular people in response to their physical and living environment which is further refined and complicated by their mental activities which in turn give birth to new idea, concepts and understanding of life as perceived and experienced by them.”

Budaya yang ingin di capai di sini secara general adalah budaya yang dapat memberikan kesejahteraan. Seperti yang kita ketahui manusia adalah makhluk individual dan juga sosial, sebagai makhluk sosial manusia harus hidup berdampingan dengan orang lain. Untuk mempunyai kehidupan berdampingan yang sejahtera dengan orang lain, kebudayaan seseorang atau sekelompok orang itu haruslah pula dapat diterima oleh yang lain. Namun, sebagai orang Indonesia kita juga harus menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik, yaitu sangat beraneka ragam/ majemuk, otomatis kita juga harus menyadari bahwa budaya yang di hasilkan di Indonesia adalah budaya yang mempunyai perbedaan dan keanekaragaman di tiap ujungnya. Sayangnya dengan keadaan saat ini Indonesia belum mampu menjembatani keanekaragaman tiap kebudayaan yang ada sehingga jarak yang ada dari tiap budaya ke budaya yang lain masihlah sangat jauh. Di dalam masyarakat Indonesia sendiri, di satu sisi masih mudah menemukan keberadaan budaya yang masih sangat sederhana, tapi di waktu yang bersamaan kita juga mudah menemukan budaya yang sudah sangat tinggi peradabannya. Maka jika dilihat dari keadaan ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih akan banyak menemukan konflik-konflik di dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia sendiri, karena untuk memahami satu perbedaan dengan yang lainnya diperlukan rasa toleransi yang besar, di mana belum dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana Indonesia, sebagai negara kepulauan yang satu, dapat mencapai persatuan dan kesatuan dengan perbedaan-perbedaan budaya yang belum bisa di atasi ini sehingga tercipta kesejahteraan bagi para rakyatnya.

Sebagai manusia Indonesia kita secara sadar maupun tidak sadar memiliki identitas ganda dalam bersosialisasi dengan sesama orang Indonesia di dalam masyarakat. Contoh sebagai orang jawa, jika bergaul dengan sesama Jawa, kita otomatis berbicara memakai bahasa Jawa, menjalani tata cara yang sama, lalu supaya tidak terisolasi di masyarakat sendiri kita harus bergaul dengan orang-orang Indonesia dari kebudayaan lain dan otomatis kitapun harus merubah bahasa kita untuk dapat dimengerti sehingga terjadi proses soasialisasi tersebut, dan untuk dapat di terima kita juga harus beradaptasi dengan tata cara yang berbeda, kebiasaan yang berbeda. Maka dari sini dapat disimpulkan bila sangat diperlukan adanya alat-alat pemersatu yang dapat dipakai secara bersama-sama.

Alat-alat yang sampai saat ini bisa tergolong berhasil untuk mempersatukan golongan-golongan yang ada di Indonesia adalah bangsa Pancasila dan wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan, wawasan yang mampu melihat seluruh aspek dari segi yang mempertimbangkan persatuan bangsa dengan tujuan melindungi seluruh bangsa, adalah wawasan yang paling rasional yang dapat diaplikasikan saat ini karena masih sulit bagi bangsa Indonesia untuk mampu menerima begitu saja budaya asing atau etnis lain yang ingin masuk tanpa rasa curiga yang tinggi. Tapi ada pula pengecualian untuk beberapa budaya yang bisa langsung diterima masyarakat karena dianggap tidak mengancam perubahan kehidupan yang sudah ada, misalnya dari segi estetika atau kesenian.

Selain dua alat di atas salah satu alat pemersatu yang kuat adalah Bahasa Indonesia, yang berakar pada kesadaran pemuda/i Indonesia di Sumpah Pemuda 1928, telah menjadi identitas bangsa. Perekat budaya lain yang bisa juga dipakai misalnya pengalaman sejarah, olah raga, musik, sastra, dll. Contoh peran serta Bahasa sastra adalah sebagai pembangkit semangat. Contohnya ketika jaman penjajahan Belanda, banyak ungkapan-ungkapan yang dapat membakar semangat para pejuang, misalnya “lebih baik berkalang tanah daripada dijajah sama belanda”, “rawe-rawe rantas, malang-malang puntung”, “merdeka atau mati!” dll. Lagu-lagu perjuangan dan daerah gubahan putra/i Indonesia juga bisa menjadi alat pemersatu budaya Indonesia.

 

Are we ready toward a global culture?

Setelah kita melihat keadaan ‘dalam’ budaya Indonesia, kita juga harus melihat kebudayaan Indonesia perspektif luar. Perspektif ke dalam menyangkut peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa dan corak-corak budaya Indonesia yang ada. Sedangkan perspektif keluar melihat kemampuan budaya dalam negeri yang ada menghadapi tantangan-tantangan dari budaya-budaya asing dan juga bagaimana kemampuan Indonesia dalam menggunakan kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan budaya yang mampu memajukan Indonesia lebih lagi.

Budaya Indonesia mau tidak mau harus berhadapan dengan dunia luar, jika tidak budaya Indonesia akan terisolasi dengan lingkungan luar dan mati. Tetapi untuk beradaptasi dan berhubungan dengan pihak luar, banyak kebudayaan dalam negeri juga harus diubah dan dengan adanya perubahan-perubahan ini bisa dipastikan akan terjadi konflik, ketegangan dan disekuilibrium bagi masyarakat Indonesia sendiri, karena masyarakat Indonesia saat ini masih sulit menerima perubahan-perubahan kebudayaan dalam negeri yang sudah sangat mendarah daging, yang berarti dengan menerima perubahan juga berarti mengalami perubahan dalam cara-cara hidup yang sudah sangat mengakar. Ketika seseorang mulai mau tidak mau beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai menerima nilai-nilai baru, saat itu juga terjadi konflik dan kefrustasian karena kehilangan pegangan nilai-nilai lama yang sudah sangat kuat. Selain itu kendala di bidang pendidikan juga mempersulit Indonesia untuk mensejajarkan dirinya dengan negara lain yang sudah mampu mengadopsi budaya-budaya modern dan memakai kesempatan tersebut untuk menambah kesejahteraan masyarakatnya.

Setelah itu jika di dalam Indonesia sendiri konflik masih timbul karena adanya kesenjangan budaya, bagaimana kita menyatukan budaya-budaya etnik dalam negeri ini sehingga bisa tercipta suatu toleransi antara budaya yang satu dengan yang lain sehingga  kita bisa bertahan di global culture?

Perlu kita ketahui, bahwa global culture bukanlah semata-mata berisi budaya yang  homogen. Menciptakan global culture bukan berarti mengganti setiap budaya yang ada menjadi satu budaya yang sama, tetapi membuat budaya-budaya yang ada itu bisa bekerja sama, mencari common ground supaya toleransi bisa tercapai, di mana setiap orang di situ bebas untuk mengaplikasikan culture mereka. Dalam global culture tidak ada total homogenisasi yang dapat diciptakan, tercipta karena batas setiap kebudayaan makin hilang dan lama-kelamaan budaya yang satu dengan yang lainnya menjadi berbaur dengan budaya dunia lain, dan terbangun komunikasi yang baik dengan budaya lain. Global culture bisa dibilang kebalikannya definisi tradisional culture di mana kebudayaan hanyalah terbatas pada sekelompok manusia yang mempunya persamaan dalam wilayah, bahasa, dll. Global culture adalah adanya persatuan dalam keanekaragaman budaya (unity in diversity). Dalam global culture setiap budaya sudah di harapkan mampu untuk hidup berdampingan dengan budaya lain dan memiliki suatu jembatan yang berdasarkan suatu common ground sehingga bisa bergerak bersama tanpa menimbulkan konflik.

Lalu kita dapat melihat juga seperti apakah global culture yang Indonesia akan tuju. Global culture akan menciptakan bordersless world, ciri-cirinya adalah adanya keterbukaan/transparansi dimana berkat kemajuan teknologi sekat-sekat yang membatasi tiap budaya akan semakin memudar dan pada akhirnya tiap bangsa akan jadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dunia, sehingga tercipta ketergantungan yang membuat tiap bangsa harus berkomunikasi, bekerja sama dan mengenal satu sama lain. Selain itu IPTEK yang berdasarkan rasional tinggi semakin berkembang dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan hidup dan nilai-nilai yang semakin universal yang diperlukan dalam pergaulan internasional.

Jadi dengan budaya yang Indonesia yang dimiliki saat ini, sudah siapkah indonesia menghadapi global culture? Mungkin belum. Untuk menjadi siap Indonesia harus bisa bertahan di masa global culture dan tidak hancur di tengah-tengah bangsa lain karena perubahan-perubahan yang akan terjadi. Sedangkan budaya Indonesia sendiri masih terpecah-pecah dan belum bersatu membentuk satu kebudayaan yang kuat, yang mampu mendukung budaya etnik satu sama lain. Menurut Koentjaraningrat (1985), Indonesia terhambat dalam menghadapi global culture karena masih adanya kelemahan mentalitas. Kelemahan mentalitas yang dimaksud adalah:

 

  1. nilai budaya yang tidak achievement oriented (tidak berorientasi pada hasil karya manusianya sendiri)
  2. masih lekat pada jaman lampau, kurang melihat ke depan
  3. kecenderungan melarikan diri pada dunia kebatinan, tidak sesuai dengan rasionalisme untuk saat ini
  4. “suka menggantungkan diri pada nasib”
  5. masih kuatnya menilai tinggi konsep sama rata sama rasa. Adanya konfrontasi yang besar sehingga untuk menonjolkan diri dari yang lain masih di anggap “tabu’ padahal di perlukan usaha yang kuat dari individu menonjol dari yang lain untuk mempercepat pembangunan (competition)
  6. adat sopan santun yang masi sangat berorientasi pada atasan-mematikan hasrat untuk berinisiatif sendiri
  7. belum adanya kesadaran menghargai budaya lain/orang lain

 

Sedangkan untuk bisa menghadapi global culture indonesia harus punya sifat yang sesuai dengan kehidupan masyarakat modern (Koentjaraningrat, 1985) yaitu:

 

  1. terbuka terhadap inovasi dan perubahan
  2. menumbuhkan perhatian pada masalah-masalah di luar diri sendiri maka timbul sikap demokratis
  3. orientasi pada masa depan
  4. menggunakan potensi lingkungan secara aktif dan tepat sehingga menjamin pembangunan selanjutnya
  5. tidak tergantung pada ‘nasib’
  6. kesadaran menghargai orang lain
  7. melihat kegunaan iptek
  8. menghargai pekerjaan sesuai dengan prestasi

 

Kurang lebih untuk bisa sukses di global culture Indonesia harus membina masyarakatnya untuk mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk hidup di global culture.

Alasan kedua mengapa Indonesia belum siap menghadapi global culture dilihat dari faktor ketahanan dan kemanan Indonesia yang belum kuat. Ketahanan dan keamanan yang di maksud di sini adalah terhadap serangan budaya lain yang lebih unggul dimana budaya lain dengan mudah mampu menguasai aspek-aspek kehidupan Indonesia.

Contohnya dengan adanya penjajahan, terpuruknya nilai rupiah (krismon), keterbelakangan dalam IPTEK sehingga Indonesia selalu kalah bersaing dengan bangsa lain.

Bila disimpulkan sampai sini, Indonesia harus memiliki kemampuan untuk ‘global culture’ dalam negeri dahulu, sebelum bisa hidup di global culture dunia. Tapi berarti Indonesia harus mampu merekatkan dan menciptakan toleransi yang tinggi bagi setiap lapisan masyarakat dengan budaya etniknya sehingga budaya-budaya yang ada bisa berintegrasi dan mempunyai common ground untuk bersama-sama siap menuju ke global culture.

 

Proposal kebudayaan untuk mengintegrasikan budaya-budaya etnik Indonesia

 

Pertanyaan besar di sini adalah bagaimana merekatkan budaya Indonesia sehingga tercipta suatu integrasi. Target budaya kita adalah budaya yang mempunya sifat inklusif, bukan eksklusif, dan integratif. Untuk memiliki budaya yang seperti ini, Maurits Simatupang dalam bukunya “Budaya Indonesia yang Supraetnis” mengajukan satu bentuk kebudayaan yang disebut ‘budaya supraetnis.’ Dengan budaya ini diharapkan Indonesia bisa mencapai suatu masyarakat ideal yaitu menjadi masyarakat yang modern, terbebas dari promodialisme, dikotonomi dan tidak membedakan SARA. Budaya supraetnis adalah pengembangan dari budaya etnis, di mana unsur-unsur budaya etnis yang setelah diberi warna dan muatan nasional yang baru, daya cakupnya bisa menjadi lebih luas dari budaya etnis sendiri. Sebagai contoh yaitu kebudayaan etnis Jawa, wayang. Wayang yang biasanya dimainkan dengan bahasa Jawa, bisa di masukan unsur integrasi yaitu bahasa Indonesia, sehingga tidak hanya masyarakat Jawa saja yang bisa menikmati wayang tapi juga seluruh lapisan budaya di Indonesia. Maka dari itu untuk bisa menciptakan budaya supraetnis diperlukan jembatan-jembatan yang mampu menghubungkan budaya etnis untuk jadi budaya supraetnis, dalam hal ini jembatan yang menghubungkan adalah bahasa Indonesia. Diharapkan bahwa budaya supraetnis ini memberikan seluruh rakyatnya pengalaman yang sama, jati diri yang sama, kebanggaan bersama, dan solidaritas yang kokoh sehingga mampu menciptakan perasaan ‘sense of belonging’ di negaranya sendiri. Selain itu unsur-unsur modern juga perlu diikutsertakan sehingga bisa mengejar bangsa lain. Budaya supraetnis punya hubugan simbiosis mutualistis dengan budaya etnis yaitu hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. Tanpa budaya etnis, budaya supraetnis tidak bisa befungsi secara maksimal, sedang dengan supraetnis, budaya etnis akan menjadi lebih luas cakupannya. Timbul pertanyaan baru apakah dengan budaya supraetnis, budaya asli Indonesia yang menarik itu akah hilang. Dengan budaya etnis sebagai landasan, saya rasa budaya asli Indonesia tidak akan hilang, tapi bisa dibilang disesuaikan dengan perkembangan jaman yang ada saat ini supaya Indonesia juga bisa bertahan dan semakin maju menghadapi arus globalisasi dunia yang ada, dengan supraetnis Indonesia sekaligus mempertahankan budaya aslinya dengan memperluasnya sehingga akarnya tetap ada dan tidak tersapu dan tergantikan oleh budaya lain.

Kesimpulan

Budaya Indonesia harus mengalami suatu perubahan dan integrasi untuk menghadapi arus globalisasi dunia kalau tidak mau terisolasi dan mati. Namun sampai saat ini budaya Indonesiapun masih terpecah-pecah antara satu etnik dengan yang lain dan masih sering berkonflik dengan kebudayaan lain di dalam negeri. Selain itu mentalitas dan ketahanan Indonesia juga masih kurang untuk bisa sejajar di dalam budaya yang global. Dengan ini Indonesia harus memiliki suatu system budaya yang bisa mempersiapkan Indonesia untuk hidup di globalisasi, salah satu caranya adalah mewujudkan budaya yang supraetnis. Dengan budaya ini Indonesia diharapkan bisa mencapai suatu masyarakat ideal, tidak primodialisme, dan juga tidak membedakan SARA.

 

Note: coba cari pengaplikasian dalam bidang KKN dan SARA

 

Leave Comment