Salah satu komponen yang paling penting dalam suatu organisasi adalah program-program yang dijalankan oleh organisasi tersebut. Tidak jarang bahkan program yang dijalankan oleh organisasi tersebut mendefinisikan atau membentuk persepsi masyarakat tentang apa sebenarnya organisasi tersebut. Misalnya kalau kita tinjau WWF (World Wild Fund), yang membentuk penilaian kita terhadap organisasi tersebut adalah program-program yang mereka kerjakan, misalnya demonstrasi terhadap pemburuan lumba-lumba, dan pelestarian panda. Tentunya sangat mudah bagi kita untuk mencoba mengambil kesimpulan akan apa sebenarnya World Wild Fund itu.
Tapi sayangnya, ada kecenderungan dalam suatu organisasi untuk mendefinisikan diri mereka hanya dengan program-program saja. Kalo bisa saya coba gambarkan, kira-kira bagannya seperti di bawah ini,
Pemahaman tentang organisasi seperti ini akan sangat-sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dan perkembangan organisasi tersebut. Akhirnya apa yang akan dilakukan adalah terus memperbaiki dan membentuk program-program yang baru tanpa tahu esensi dan fungsi dari program itu sendiri. Kalau saya boleh kutip, efek dari organisasi yang “program-oriented” ini bisa dianalogikan seperti perlombaan balap mobil F1 atau Nascar. Organisasi dengan program yang bagus saja bisa diibaratkan dengan mobil-mobil balap tersebut, dimana tiap lap mereka berputar semakin cepat dan cepat, tapi tidak menuju kemana-mana. Mereka hanya berputar-putar dalam satu lingkaran tanpa ada satu tujuan yang jelas.
Analogi ini terdengar agak lucu, tapi kalau kita berani jujur, seringkali organisasi-organisasi yang kita tangani mempunyai perilaku seperti ini. Saat kita membuat atau menjalankan suatu program, jarang kita tanyakan fungsi dari program tersebut, dan bagaimana program tersebut dapat membantu untuk mencapai visi dari organisasi. Program adalah suatu alat untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan akhir dari organisasi kita.
Masalah yang juga nyata dalam organisasi ICF adalah program-program yang selama ini dijalankan ICF ternyata tidak mampu menghasilkan manusia-manusia yang dicita-citakan dalam visi ICF.
Melihat keberadaan masalah seperti ini, Kami coba berikan proposal pemetaan tenang proses apa saja yang sebaiknya dilewati oleh suatu organisasi (khususnya ICF) sebelum kita membuat program-program kita. Peta ini kami sebut dengan “ICF Functional Block.” Di bawah ini adalah bentuk dari bagan Functional Block yang kami tawarkan.
Berpatokan pada bagan diatas, komponen-komponen yang perlu dilewati sebelum kita mulai mendefinisikan suatu program yaitu: Dream, Visi, Core Business, Strategy, Fungsi, Kapabilitas, Process/Organization, Key People, dan beberapa yang lainnya.
Sisa pembahasan paper ini akan difokuskan pada apa arti dari komponen-komponen dalam ICF functional block, bagaimana hubungan satu komponen dengan yang lainnya, dan contoh kasus yang nyata tentang pengimplementasian konsep ini
Dream, Visi dan Core Business
Salah satu pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap filsuf di dunia ini adalah “kenapa?” Saya rasa pertanyaan “kenapa” ini sangat penting untuk selalu hadir dalam setiap tingkah laku kita. Kenapa kita melakukan hal-hal yang kita lakukan? Kalau kita tidak mempunyai kemampuan untuk menjawab pertanyaan “kenapa” ini, akan tiba saatnya dimana kita capek dan lelah, tapi kita tidak merasa telah mencapai suatu hasil yang berarti.
Satu jawaban yang bisa diberikan kepada pertanyaan kenapa satu spesifik organisasi bisa terbentuk adalah “mimpi.” Ada suatu mimpi, atau angan-angan, atau cita-cita, atau apapun namanya untuk mencapai suatu kondisi yang ideal. Mimpi dari Coca-Cola adalah untuk menebar keceriaan di seluruh dunia. Mimpi dari Martin Luther King Jr. adalah agar teman-teman Afrika Amerika yang tinggal di US bisa mendapat hak-hak yang sama. Mimpi dari pemuda-pemudi Indonesia pada tahun 1928 adalah untuk membentuk suatu Negara yang Indonesia yang satu (Sumpah Pemuda), dan mimpi dari Tuhan Yesus adalah untuk membawa kembali orang-orang yang hilang untuk kembali kepada Allah.
Mimpi merupakan suatu motivator yang penting dan esensial dalam perkembangan suatu organisasi. Mimpi memberikan kita arti dalam perjuangan. Tapi mimpi saja tidak cukup. Mimpi masih merupakan suatu hal yang terlalu abstrak untuk bisa direalisasikan dalam program-program kita. Dari mimpi kita harus bisa menarik dua komponen dasar untuk organisasi, yaitu visi dan core business.
Visi adalah suatu bayangan mental yang jelas tentang masa depan yang diinginkan. Core Business adalah aktivitas utama dengan batas-batas tertentu dimana kita harus mengalokasikan sebagian besar sumber daya kita. Dari suatu mimpi yang abstrak, kita harus bisa meaktualisasikan bayangan tersebut terhadap konsep-konsep yang nyata.
Contoh visi dari perusahaan mobil Ford adalah: “Our vision is to become the world’s leading consumer company for automotive products and services.” Dengan adanya satu visi, suatu organisasi baru dapat beroperasi dengan benar, karena mereka tahu tujuan akhir dari tindakan mereka. Sebelum visi itu terpenuhi, mereka tidak akan berhenti berusaha. Dan setelah visi itu terpenuhi, mereka akan berjuang untuk tetap mempertahankan visi tersebut. Salah satu hal yang perlu diperhatikan tentang visi adalah kemampuan visi tersebut untuk mengikuti tuntutan zaman. Visi yang statik adalah visi yang mati. Tapi visi yang terus bisa melihat tuntutan zaman adalah visi yang hidup dan dinamik. Salah satu contoh nyata adalah visi dari girls scout di Amerika. Pada tahun 1932, visi mereka adalah: … to prepare young girls for motherhood and wifely duties. Pada tahun 1992, visi mereka berubah menjadi … to inspire girls with the highest ideals of character, conduct, patriotism, and serivce … in a supportive, all-girl setting. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi terhadap organisasi girls scout ini jika visi mereka tidak berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Sekarang, mari kita bahas tentang point kedua yang dapat muncul dari mimpi, yaitu core business. Dalam kita mendefinisikan Core Business, kita harus berani memberi batas-batas tertentu agar operasi organisasi kita terarah dan lebih tajam. Tapi kita juga harus berhati-hati agar tidak memberikan batasan yang berlebihan, sehingga scope kita beroperasi akan menjadi terlalu sempit dan monoton. Contoh core business dari Ford Motors adalah membangun mobil yang berkualitas. Core Business dari Coca Cola adalah Non-Alcoholic Beverages.
Visi dan Core Business harus bisa mempertajam satu dengan yang lainnya. Dalam menetapkan Core Business, setiap organisasi harus dapat menilai apakah Core Business yang mereka lakukan sesuai dengan visi mereka. Dan setelah organisasi tersebut beroperasi dalam batasan core business mereka, mereka harus dapat menggunakan pengamatan mereka terhadap hasil operasi tersebut untuk kembali mengevaluasi ketajaman visi mereka. Hubungan interelasi yang dinamik ini sangat penting untuk membuat operasi suatu organisasi lebih efektif dan efisien. Dan terakhir, visi dan core business harus dapat kembali kita relasikan dengan mimpi kita mula-mula. Apakah dengan mengimplementasikan visi dan menjalankan core business, kita dapat bergerak lebih dekat menuju mimpi kita.
Visi, Strategi dan Kapabilitas
Setelah kita dapat mendefinisikan dengan tajam visi kita, Tahap selanjutnya yang harus kita pikirkan adalah strategi apa saja yang perlu kita laksanakan agar bisa mencapai visi tersebut. Strategi adalah rencana-rencana aksi yang disusun secara sistematis dan rinci. Strategi adalah komponen yang luar biasa penting dalam kita menghadapi realita yang ada. Akan sangat berbahaya bila kita punya satu idealisme tanpa tahu bagaimana cara menggapai idealisme itu. Istilah untuk itu adalah “hidup dalam mimpi.”
Salah satu contoh orang yang punya strategi adalah Napoleon Bonaparte. Dia punya satu visi yang jelas akan apa yang harus ia lakukan, terlepas dari benar atau tidaknya visi tersebut. Pada saat dia berusaha untuk menggapai visi dia dia punya strategi-strategi yang jelas akan negara apa yang harus diserang dulu, perjanjian apa yang harus ia tanda tangani, bagaimana cara perang yang efektif dan strategi-strategi lainnya. Tanpa strategi yang jelas, pereleasisan visi akan jadi sangat sulit, bahkan mustahil.
ICF pun harus punya kapabilitas menganalisa realita, dan mengimplementasikan strategi yang tepat agar dapat mencapai visi tersebut. Dari penjabaran strategi-strategi, kita baru dapat melihat apa dan seberapa besar kapabilitas yang kita miliki. Mengetahui kapabilitas berarti mengetahui potensi-potensi kita, dan mengembangkan potensi tersebut semaksimal mungkin. Tapi mengetahui kapabilitas juga berarti tahu batasan-batasan yang saat itu kita miliki, dan mencari solusi yang optimal sambil memperhatikan batasan-batasan itu. Satu hal yang harus kita perhatikan, bahwa kapabilitas harus bisa semakin bertumbuh seiring dengan waktu.
Strategi dan Kapabilitas harus bisa berjalan seiringan. Dengan mengetahui kapabilitas, kita harus bisa menentukan strategi apa yang harus kita lakukan, demikian juga dengan kita bisa mendefine satu strategi, kita harus bisa melihat kapabilitas mana yang perlu dikembangkan, dan kapabilitas mana yang diperlukan tapi untuk sementara tidak kita miliki.
Core Business, Fungsi, Proses/Organisasi
Sisi kedua yang juga penting untuk kita pertimbangkan dalam pembentukan program adalah sisi Core Business, fungsi, dan organisasi.
Fungsi adalah Operasi yang penting yang dapat menunjang pelaksanaan Core Business.
Mari kita melihat Ford Motors sebagai contoh. Core Business Ford Motors (refer to this page: http://www.ford.com/en/ourCompany/corporateCitizenship/buildingRelationships/strategicIssues/businessValueCorporateCitizenship.htm) Providing affordable mobility to people around the world.
Fungsi-fungsi yang diperlukan agar mereka dapat menyediakan “affordable mobility” ke manusia di seluruh dunia adalah: marketing, finance, manufacturing, operations, info system, research & development, dll. Setelah mengetahui fungsi-fungsi, kemudian Ford membentuk departemen-departemen untuk merealisasikannya.
Jika dalam menganalisa suatu program kita mendapatkan bahwa program tersebut tidak punya fungsi yang ada dalam kerangka core business, seberapa kreatifpun program tersebut kita harus tetap berani untuk membuang program itu. Agar bisa efektif dan efisien, program-program yang kita lakukan harus punya satu tujuan/fungsi. Dan untuk kembali merelasikan dengan Core Business, fungsi-fungsi yang kita definisikan harus dapat menunjang core business kita.
Sekarang, mari kita meninjau komponen “Organisasi”. Setelah kita mempunyai fungsi, baru kita dapat membentuk organisasi yang dapat mendukung fungsi-fungsi tersebut. Dua hal yang perlu untuk kita pertanyakan dalam ICF kita masing-masing adalah:
1. Apakah organisasi-organisasi kita punya satu fungsi yang jelas. Kita harus ingat bahwa fungsilah yang melahirkan organisasi, bukan sebaliknya.
2. Apakah fungsi tersebut dapat mendukung core business kita?
Tentunya dalam pelaksanaan organisasi, kita tidak akan terlepas dari masalah-masalah internal dan teknikal. Dalam Fellowship setiap minggu misalnya, masalah yang mungkin muncul adalah: minimnya jumlah yang hadir, bahan untuk didiskusikan atau dibagikan di dalam fellowship itu kurang dapat memenuhi kebutuhan rohani para peserta, seksi penjemputan yang kurang sigap, seksi konsumsi yang suka telat, tidak bisa memulai acara dengan tepat waktu dan hal-hal yang lainnya. Masalah-masalah yang muncul ini dapat menyebabkan ketidak efektifan jalannya suatu organisasi untuk bisa mencapai fungsinya. Masalah ini dalam istilah manufacturing disebut “bottle neck.” Ada kutipan menarik yang mengatakan: “Your process/organization is only as good as your bottleneck.” Bottleneck ini yang harus pertama kali kita bereskan bila kita ingin punya satu organisasi yang efektif.
Program
Setelah kita mengetahui kapabilitas dan mempunyai organisasi untuk mendukung fungsi yang telah kita definisikan, barulah kita mulai memikirkan program; sebab kita telah punya jawaban akan pertanyaan-pertanyaan seperti: “untuk apa program itu dilaksanakan, batasan-batasan apa yang akan kita hadapi dalam pengimplementasian program tersebut, dan bagaimana cara mengembangkan program untuk mencapai visi.”
Hal yang perlu kita perhatikan juga dalam menjalankan program yaitu persepsi dari masyarakat, dan bagaimana kita meng-posisikan diri kita. Persepsi adalah cara pandang orang luar terhadap organisasi kita (misalnya ICF). Bila persepsi yang ada berbeda dengan persepsi yang ingin kita berikan, berarti ada masalah dengan program yang kita jalankan. Contohnya, bila fungsi yang kita ingin dapatkan dengan mengadakan fellowship setiap minggu adalah suatu keakraban dan persekutuan yang indah, tapi orang lain melihat persekutuan itu sebagai suatu acara eksklusif dan tersendiri, maka ada kemungkinan cara kita mengadakan fellowship itu salah. Dari kasus ini, kita bisa melihat bahwa persepsi dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur jalannya program kita.
Hal yang sama pentingnya yang harus kita perhatikan juga adalah apakah kita punya strategi yg jelas dan tajam bagaimana kita ingin memposisikan icf kita, sehingga kita bisa membenarkan persepsi orang terhadap organisasi kita. Hal ini juga merupakan hal yang penting.
Yang kedua adalah pemosisian diri. Hal ini agak lebih abstrak dari persepsi, tapi intinya adalah kita harus bisa menetapkan lingkungan bermain kita. Misalnya Ford Motors memposisikan diri mereka di industri transportasi, khususnya manufacturing, bukan service. Coca Cola coba memposisikan diri mereka di non-alcoholic beverages atau soft drink. Gatorade coba memposisikan diri mereka sebagai sport-drink, bukan soft drink. Salah satu indikasi bahwa pemosisian diri itu berhasil yaitu bila masyarakat dapat langsung mengasosiasikan organisasi kita dengan lingkungan bermain kita. Sebagai contoh, bila kita bertanya: “Sebutkan satu nama produk sport-drink!”, maka sebagian besar orang akan menjawab Gatorade, atau Pocari Sweat. Berhasilnya pengidentifikasian ini menunjukkan berhasilnya pemosisian diri. Bila ada yang bertanya: “Sebutkan nama organisasi Kristen yang orang-orangnya sering memberikan sumbangsih pada masyarakat!”, akankah sebagian besar orang menjawab ICF?
Jadi dua hal yang harus dapat kita perhatikan dalam memilih program adalah persepsi apa yang ingin kita berikan (apakah itu seiring dengan fungsi?), dan posisi apa dalam masyarakat yang ingin ICF ambil?
Pentingnya kita tahu akan persepsi dan posisi organisasi kita yaitu sebagai alat ukur untuk menentukan apa yang selama ini kita lakukan sudah pada jalur yang benar. Kita harus bisa menentukan playground kita, dan dari sini kita baru coba terus mengevaluasi apakah kita sudah “bermain” di tempat yang tepat, atau apakah kita sudah memberikan image yang kita inginkan kepada orang lain.
Aspek-aspek lain
Aspek-aspek lain ini adalah komponen yang perlu ada bila ingin menjalankan functional block ini. Key People, atau orang-orang inti adalah mereka yang punya konviksi yang kuat terhadap visi, core business, dan mimpi dari organisasi. Keberadaan key people ini sangat penting untuk jalannya sistem yang telah dibentuk. Mereka adalah orang-orang yang tidak perlu punya kesamaan pendapat, tapi harus mempunyai kesamaan visi. Mereka adalah orang-orang yang mau berusaha keras menggapai visi organisasi, karena mereka telah dapat mengkaitkan visi organisasi dengan visi mereka pribadi. Sistem yang baik tanpa key people yang memadai tidak cukup untuk kesinambungan hidup organisasi tersebut. Contoh yang paling konkrit adalah Indonesia. Indonesia punya konsep kenegaraan yang menurut saya cukup baik. Konsep Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Gotong Royong, Nasionalisme, Ketuhanan, Keadilan sosial, dan konsep-konsep idiil lainnya. Tapi sayangnya, tidak ada orang-orang (key people) yang percaya terhadap konsep seperti ini, dan akhirnya menciptakan sistem kenegaraan yang dapat membawa keuntungan pribadi semata-mata. Konsep-konsep yang bagus diatas hanya digunakan sebagai retorika dan kedok agar mereka terlihat suci.
Tuhan Yesus sendiri dalam kesibukan pelayanannya di dunia juga membuat Key People. Key People Tuhan Yesus adalah ke-12 orang muridnya. Mereka adalah orang-orang yang pada akhirnya punya konviksi yang kuat dan kapabilitas yang cukup untuk memenuhi visi yang diberikan oleh Tuhan Yesus. Napoloen Bonaparte punya satu sistem perang yang luar biasa hebat, tapi sayangnya ia tidak membentuk key people. Akhirnya “legacy”nya mati bersama-sama dengan dia.
Saya ingin masukkan satu konsep ke dalam pengertian key people ini, yaitu konsep: “being versus doing.” Maksudnya adalah ada satu perbedaan antara melakukan suatu pekerjaan (doing), dengan mengerti apa yang harus dia lakukan (being). Key People adalah orang-orang yang “being”, orang-orang yang mengerti mengapa dia harus melakukan hal-hal yang ia lakukan. Key People bukan orang yang melakukan sesuatu hanya karena itu ada dalam program, atau karena itu terlihat menarik. ICF sendiri harus dapat menciptakan orang-orang yang dapat melakukan sesuatu hal karena hal-hal tersebut merupakan refleksi dari dirinya. Ini satu hal yang lebih dalam lagi yang perlu ICF jamah.
Komponen-komponen lain yang dapat mendukung program adalah uang, IT, Network, regenerasi, dan Continuous Improvement (CI). Relasi antara aspek-aspek diatas dengan jalannya program menurut saya cukup jelas. Uang, Informasi, dan Regenerasi merupakan komponen dasar yang memang seharusnya sudah ada dalam setiap organisasi.
Continuous Improvement
Setelah kita melewati semua proses yang disebutkan diatas, satu hal yang harus terus kita lakukan adalah re-evaluasi. Apakah visi cukup tajam dan sesuai dengan dream kita? Apakah Core Business kita telah memberikan batasan yang tepat agar kita bisa bergerak secara efektif dan efisien? Apakah Core Business kita sesuai dengan visi kita? Apakah visi kita perlu dipertajam lagi? Apakah Strategi yang kita lakukan sudah optimal? Hal-hal baru apalagi yang perlu kita pikirkan? Bagaimana cara meningkatkan kapabilitas kita? Apakah Fungsi-fungsi yang kita definisikan dalam program2 kita sudah optimal? Dimana terletak bottle neck kita? Apakah persepsi masyarakat sesuai dengan kesan yang ingin kita berikan? Dimana posisi organisasi kita? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang harus terus kita tanyakan pada diri kita. Dinamika suatu organisasi adalah hal yang esensial untuk kelangsungan hidup organisasi tersebut.
Konklusi
Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa perlunya suatu pemikiran yang matang dalam pembentukan program. Program tidak seharusnya menjadi akhir dari organisasi kita, tapi alat untuk mencapai tujuan akhir (visi) dari organisasi. Agar program dapat menjadi alat yang tepat, Fungsi dan Strategi dari organiasi harus jelas. Dan mentalitas untuk terus mengevaluasi ulang komponen-komponen dalam pembentukan program ini dapat menimbulkan dinamika yang sehat dalam pertumbuhan organisasi.
Karena itu, ada baiknya kalau kita meng-investasikan waktu, tenaga, dan pemikiran kita untuk coba mendefinisikan hal-hal dasar dan fundamental dalam organisasi, baru secara kreatif kita membentuk program-program yang dapat mendukung visi.
Referensi
Go, Kie Eng. Pembicaraan singkat pada tanggal 16 November 2002.
Luce, Mary. “A company’s mission”. Marketing 101 University of Pennsylvania. Summer 2002