ICF Dalam Era Globalisasi – Leaders Meeting 2002

Aktualiasi Injil dalam kehidupan kita tidak pernah dapat lepas dari konteks kehidupan yang ada. Oleh karena itu di dalam usaha membawa Injil kebenaran Allah, kita perlu mengerti situasi konteks dimana Injil itu dikabarkan sehingga kita mampu merelevansikan Injil tsb. Sebagai suatu movement ICF memiliki visi untuk ikut berpartisipasi dalam mewarnai budaya di Indonesia dengan kebenaran Allah, sehingga mau tidak mau ICF harus punya pengertian tentang peta konteks Indonesia yang komprehensif dan akurat .

Namun, perlu disadari bahwa Indonesia ada di dalam dunia, sebagai suatu konteks kehidupan yang lebih luas, oleh karena itu konteks budaya dan situasi sosial politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di dunia. Apalagi dalam era globalisasi, ditambah dengan era perdangan bebas dan meningkatnya teknologi komunikasi dan transportasi, dimana interaksi antar negara menjadi sangat tinggi intensitasnya, bahkan bisa dikatakan dunia ini menjadi suatu komunitas “without boudary”. Oleh karena itu, untuk mempunyai pengertian yang komprehensif dan akurat mengenai peta konteks di Indonesia, kita perlu mengerti situasi global dalam era globalisasi ini. Kita akan melihat bagaimana secara jelas perubahan yang terjadi dalam dunia secara langsung sangat mempengaruhi kehidupan di Indonesia.

icf era globalisasi 1 

Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia dengan segala isu disekelilingnya

Overview of Interaction Development between Civilizations

… – 1500 A.D

Sebelum 1500 A.D. interaksi antar peradaban yang ada di dunia sangat minim. Beberapa peradaban awal di sekitar sungai Nil, daerah sungai Eufrat-Tigris, sungai Indus, dan Sungai Kuning tidak berinteraksi satu sama lain. Interkasi awal banyak terjadi antara peradaban di daerah Mediteran Timur, Asia Barat Daya, daerah India utara. Namun komunkasi dan hubungan dagang yang terjadi sangat terbatas karena tidak adanya transportasi yang memadai. Penyebaran ide dan teknologi dari satu peradaban ke peradaban lain berlangsung sangat lambat.[1] Di awal abad ketujuh, hubungan antara peradaban Islam dan Barat, juga antara Islam dan India mulai terjadi secara berkesinambungan bahkan seringkali muncul ketegangan.

The Expansion of the West (1500 AD – 1900 AD)

Setelah beberapa abad tertinggal dari peradaban Cina, Islam, dan Byzantine, diantara abad 11 dan 13 peradaban Barat mulai berkembang dengan pesat. Zaman renaisance di abad 16 dengan segala perkembangan perdagangan, pemikiran filosofis, dan kemajuan teknologi menjadikan dasar dan modal perkembangan peradaban Barat yang nantinya membawa perubahan pada peta politik global. Ekspansi militer dari peradaban Barat menyebabkan meluasnya pengaruh peradaban ini di banyak negara dunia. Di tahun 1800 35% dari permukaan bumi dikuasai peradaban barat, 67% di tahun 1878 dan 84% di tahun 1914. Dalam ekspansi ini India, negara negara Islam dan Afrika ditaklukkan. Cina terpenetrasi, hanya Rusia, Jepang, dan Etiopia yang mampu bertahan dari pengaruh ekspansi barat.

icf era globalisasi 2 

The Revolt Against the West

Berawal dari dirangkulnya paham Nationalis liberal & Marxis  di sekitar tahun 1920, kemudian juga dengan kemenganan kaum Wahabi[2] di Mekkah, negara-negara yang sangat dipengaruhi bahkan dikuasai oleh peradaban barat mulai bangkit, berusaha melepaskan diri dari kekangan dan pengaruh barat. Masyarakat non-barat mulai menjadi penggerak, pembentuk, dan secara mandiri ingin menentukan nasib perjalanan sejarah kehidupan mereka lepas dari barat. Di abad ke 20 inilah terjadi banyak perubahan dalam peta politik global, dimana sedikit demi sedikit kekuatan peradaban barat mulai menurun relatif terhadap kekuatan peradaban lain yang timbul di dunia. Tabel-tabel berikut menunjukkan fenomena penurunan kekuatan peradaban barat jika dibandingkan dengan peradaban lain:

World Population in Percentage Under the Political Control of Civilizations

Year

Western

African

Sinic

Hindu

Islamic

Latin

Orthodox

1900

44.3

0.4

19.3

0.3

4.2

3.2

8.5

1970

14.4

5.6

22.8

15.2

13

8.4

10

1990

14.7

8.2

24.3

16.3

13.4

9.2

6.5

1995

13.1

8.5

24

16.4

15.9

9.3

6.1

2010

11.5

11.7

22.3

17.1

17.9

10.3

5.4

 

World Teritory in Percentages

Year

Western

African

Hindu

Islamic

Orthodox

1900

38.7

0.3

0.1

6.8

16.6

1920

48.5

0.8

0.1

3.5

19.5

1971

24.4

8.8

2.4

17.5

19.7

1993

24.2

10.8

2.4

21.1

13.7

World Gross Economic Product in Percentages

Year

Western

African

Sinic

Islamic

Orthodox

1950

64.1

0.2

3.3

2.9

16

1970

53.4

1.7

4.8

4.6

17.4

1980

48.6

2

6.4

6.3

16.4

1992

48.9

2.1

10

11

6.2

 

Percentages of World Total Military Man Power

Year

Western

African

Sinic

Hindu

Islamic

Orthodox

1900

43.7

1.6

10

0.4

16.7

16.6

1920

48.5

3.8

17.4

0.4

3.6

12.8

1970

26.8

2.1

24.7

6.6

10.4

25.1

1991

21.1

3.4

25.7

4.8

20

14.3

Cold-War and The Aftermath – Post Cold War

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, dunia pada dasarnya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan kelompok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Persaingan kedua kelompok ini sangat terasa dalam “konflik” semu di diantara beberapa negara seperti Jerman, Vietnam, dan Korea. Satu kelompok lain yang sering disebut Gerakan Non-Blok pada dasarnya tidak mempunya bargaining power yang cukup untuk bisa diperhitungkan dalam peta kekuatan politik global saat itu. Malahan yang justru terjadi adalah meski negara negara tertentu tidak mengakui secara formal di blok mana ia berada, mereka terlihat jelas sangat bergantung pada blok blok tertentu. Kemudian, yang seringkali terjadi adalah konflik antara kedua blok tersebut  menunggangi konflik di negara-negara yang kebanyakan merupakan negara Non-Blol; misalnya: konflik antara Irak – Iran, konflik di Afghanistan antara taliban dan mujahidin, dan bahkan di Indonesia dimana Suharto dengan bantuan dari Amerika berhasil menjatuhkan Sukarno yang saat itu sangat dekat hubungannya dengan komunis.

Pecahnya Uni Soviet di tahun awal tahun 1990 menandakan berakhirnya perang dingin dengan kekalahan di pihak komunis. Francis Fukuyama[3] berteori bahwa jatuhnya komunisme akan membawa peradaban dunia kembali pada dominasi dan pengaruh peradaban barat. Ia berkata ,” We may be witnessing, … the end of history as such: that is, the end point of man kind’s ideological evolution and the universalization of western liberal democracy as the final form of human government.” Namun teori ini ternyata berbeda jauh dengan kenyataan yang muncul saat ini. Selama perang dingin beberapa negara bisa mengatakan bahwa dirinya adalah non-blok, ada beberapa yang berpindah blok dengan mempertimbangkan kepentingan militer/keamanan, perhitungan perimbangan kekuatan regional maupun internasional, dan juga berdasarkan preferensi ideologi.

Dalam era baru pasca – perang dingin ini terjadi erupsi krisis identitas pada negara-negara di dunia. Pertanyaan “di pihak mana anda berada?” yang ada pada masa perang dingin, berubah menjadi pertanyaan yang lebih mendasar pada masa pos-perang dingin ini, “siapa saya, siapa anda?”, pertanyaan yang lebih merujuk kepada suatu hal yang lebih fundamental, y.i identitas diri. Pertanyaan ini dijawab berdasarkan referensi dari hal yang paling penting dan berarti buat mereka, yaitu hal-hal yang menyangkut kultur/budaya, misalnya: asal, keturunan, sejarah, agama, bahasa, value, dan norma; sehingga negara memisahkan diri satu dari yang lainnya dan membentuk kelompok peradaban sendiri berdasarkan nilai-nilai kultural/budaya tersebut. Situasi ini menyebabkan dunia tidak lagi dipolar (Komunis – Barat) melain menjadi multipolar dimana dunia global terbagi menjadi 9 peradaban, yaitu:

  1. Western: Amerika, negara negara eropa barat dan Australia
  2. Latin: negara di Latin amerika, Meksiko dan sekitarnya
  3. Africa: negara negara di Africa bagian tengah dan selatan
  4. Islam: negara negaa di timur tengah (Irak, Iran, Arab Saudi, dll.), negara negara afrika utara (mesir, etc.) dan daerah Asia barat sepert Pakistan and Afghanistan
  5. Sinic: China, Vietnam, Korea
  6. Hindu: India
  7. Orthodox: Rusia dengan negara negara pecahannya
  8. Buddhist: Thailand, Sri Lanka, Laos, Combodia and Burma
  9. Japanese

Perubahan peta politik global dari dipolar menjadi multipolar bisa dilihat dari dua gambar di bawah ini.

icf era globalisasi 3

Peta politik global pada masa perang dingin

 icf era globalisasi 5

Peta politik global pada masa pasca perang dingin

Namun pengelompokkan yang terjadi dalam masa pasca perang dingin ini sangatlah religious based, dimana agama menjadi karakter sentral perbedaan antar peradaban tersebut, seperti yang pernah dikatakan Dawson,” the great religions are the foundations on which the great civilizations rest.” Mengapa demikian? Memang jika kita perhatikan, di dalam aspek-asepk yang ada dalam suatu kultur/budaya, religi/agama menjadi satu hal yang paling dasar dan paling pribadi. Namun ini bukanlah satu-satunya alasan, karena jika kita amati lebih lanjut dalam beberapa dasawarsa terakhir kebangkitan pengaruh agama juga terjadi secara global.

Pada awalnya westernisasi menghadirkan modernisasi, namun pada tahap tahap selanjutnya modernisasi mulai menghapuskan pengaruh westernisasi dan justru membangkitkan budaya lokal. Dalam level masyarakat, modernisasi meningkatkan perekonomian, kekuatan militer, dan memperbaiki sistem politik, yang mendorong anggota dari suatu masyarakat menjadi makin percaya diri terhadap kultur lokal yang mereka miliki. Pada level individu, modernisasi menyebabkan tingkat individualis yang tinggi, dimana ikatan tradisi dan ikatan sosial banyak yang terputus sehingga individu pun mengalami krisis identitas. Disinilah agama hadir memberikan suatu pegangan, tujuan dan arti hidup.

 icf era globalisasi 6

Lebih jelasnya, kebangkitan pengaruh agama dalam kehidupan ini disebabkan justru pada faktor yang selama ini menghanyutkan peran agama itu sendiri yaitu modernisasi. Banyak  orang berpindah dari desa ke kota menyebabkan menyebabkan mereka makin jauh dari asal usul identitas mereka untuk memulai hidup yang sama sekali baru. Tingkat interaksi pun menjadi makin tinggi dan intense dimana banyak pengaruh luar masuk. Di tengah semuanya itu kebutuhan akan sumber identitas muncul kembali untuk memberikan arti dan tujuan dari kelangsungan hidup dan disinilah agama kembali dibutuhkan.  Manusia tidak hidup dari akal semata, dengan kata lain segala kebutuhan kalkulasi dan tindakannya mengejar kepentingan diri tidak dapat dilakukan secara rasional tanpa mereka mengerti siapa diri mereka sendiri. Dengan jatuhnya ideologi komunis yang selama perang dingin mempengaruhi banyak daerah melengkapi kebangkitan pengaruh agama dalam abad ini karena di tengah kekosongan identitas yang ditinggalkan oleh ideologi ini, agama kembali menjadi alternatif utama untuk mengisi kekosongan tersebut

Setelah jatuhnya komunisme, dan timbulnya berbagai kelompok peradaban baru di dunia, menjadikan dunia ini rawan konflik terutama antar peradaban yang berbenturan dalam aspek keyakinan, kepentingan dan metode. Salah satu konflik yang paling menonjol dan diramalkan akan terus berlangsung lama adalah konflik antara barat yang identik dengan Western Christians dan Islam. Perlu dicatat bahwa elaborasi konflik antara kedua peradaban ini tidak bermaksud untuk mengeliminasi kapasitas konflik dari peradaban lain, namun jika diperhatikan dari berbagai aspek, konflik inilah yang sangat potensial untuk berlangsung dalam periode yang lama dan dalam skala yang besar. Berikut alasan-alasan mengapa konflik antara Islam dan Barat sangat potensial:

Ideologis

Antropologis/Sosiologis

  1. Islam melampaui dan menyatukan agama dan negara, sementara itu kekristenan lebih melihat pemisahan antara agama dan negara
  2. Keduanya merupakan agama monoteistik yang tidak akan pernah mengasimilasikan dan menerima “tuhan” lain, mereka melihat dunia sebagai “kami – mereka”
  3. Keduanya bersifat universal, yang meyakini bahwa agamanya merupakan satu satunya kebenaran
  4. Sama sama bersifat misionaris, Islam dengan dakwahnya dan Kristen dengan penginjillannya
  5. Berdasarkan pengalaman sejarah, keduanya menggunakan metoda penaklukkan untuk menyebarkan pengaruhnya

 

  1. Meningkatnya populasi remaja muslim yang cenderung pengangguran yang direkrut, diindoktrinasi untuk membela islam. Banyak dari mereka yang juga berimigrasi ke negara negara barat
  2. Kebangkitan Islam (lihat note) memberikan kepercayaan diri bahwa Islam merupakan sesuatu paham yang unik, berbeda, dan bahkan terbaik di dunia ini
  3. Usaha negara barat yang terus berusaha memperluas pengaruhnya di berbagai negara untuk mempertahankan superoritas militer dan ekonomi, dan juga banyaknyacampur tangan barat di beberapa negara muslim
  4. Kejatuhan komunisme sebagai musuh bersama Islam dan Barat

 

Konflik antara Islam-Barat sudah berlangsung cukup lama secara sporadis dan semu. Indikasi menarik adalah selama tahun 1980-1995 Amerika serikat melakukan operasi militer sebanyak 17 kali di daerah timur tengah, jumlah opeasi militer terbanyak amerika terhadap suatu peradaban. Namun perang teluk di awal tahun 90-an menjadi awal dari konflik berkesinambungan di dasawarsa terakhir ini antara Islam dan Barat. Meski saat perang teluk berlangsung banyak negara muslim mendukung operasi militer Amerika dan negara barat lainnya, tiga minggu setelah invasi militer barat ke Kuwait berlalu, banyak negara Muslim menjadi makin simpatik terhadap Irak bahkan mengutuk amerika serikat. Banyak dari negara tersebut yang mengganggap bahwa konflik Irak – Kuwait merupakan konflik “keluarga” muslim yang tidak berhak diintervensi oleh negara lain. Selain itu semakin banyak negara muslim yang tadinya pro-barat menjadi negara yang makin bahkan sangat anti-barat seperti: Irak, Libya, Yemen, Syria, Sudan, Lebanon, Afghanistan.

Juga, jika kita perhatikan makin hari serangan kelompok teroris yang identik dengan Islam garis keras terhadap berbagai kepentingan dan infrastruktur barat di seluruh dunia makin meningkat, dimana eskalasi terbesar mungkin terjadi setahun belakangan ini dimulai dengan serangan 11 September di New York, yang mana akhirnya menjadi awal permulaan perang antara barat dengan terorisme. Penyerbuan terhadap Afghanistan meski mengatasnamakan perang terhadap terorisme banyak ditentang oleh negara Islam, sementara itu rencana serangan Amerika kedua  terhadap Irak ditentang bahkan oleh Saudi Arabia yang merupakan salah satu koalisi Islam terdekat Amerika.

Di dalam dinamika keamanan global yang terjadi di beberapa tahun terakhir inilah Indonesia kembali muncul ke permukaan, apalagi Asia tenggara saat ini menjadi sorotan dunia internasional karena telah terbukti menjadi salah satu tempat dimana terorisme Islam garis keras sudah sangat mengakar pengaruhnya .

Indonesia and its Struggles

Di awal tahun 1990-an ketika dunia global menghadapi krisis identitas, Indonesia di bawah rezim Orde Baru masih mampu mempertahankan stabilitas kehidupan bernegara dengan Pancasila[4] sebagai identitas negara; meski saat itu tidak bisa dipungkiri rezim Orde Baru sudah mulai merangkul golongan Islam garis keras dengan dibentuknya ICMI[5] yang mendapat restu dari Suharto. Namun setelah Suharto jatuh di tahun 1998, Indonesia mengalami krisis identitas seperti negara lainnya. Apalagi selama jaman Orba, keaneka-ragaman yang ada di Indonesia tidak diberi tempat yang semestinya untuk memanifestasikan eksistensnya, bahkan diabaikan keberadaannya dengan slogan kebhinekaan dan persatuan-kesatuan. Dengan kata lain iapun harus menjawab pertanyaan: “Siapa saya?” sebagai suatu bangsa.

Dalam proses pencarian identitas ini, perlu diketahui bahwa Indonesia sangat unik dan berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari sisi historis, ideologis dan kultural Indonesia memiliki komitmen sebagai bangsa yang mampu mengakomodasi keragaman dengan identitas kebangsaan Pancasilanya.  Di sisi lain, ia memiliki Islam sebagai elemen mayoritas; dengan nilai-nilai Islam yang sudah bersinkretis dengan budaya-budaya lokal; selain adanya elemen mayoritas agama kedua yaitu Kristen. Dari sisi ekonomi, perdagangan orang-orang tionghoa memegang peranan yang sangat sentral dalam kelangsungan perekonomian. Sementara itu beraneka-ragamnya suku, agama dan ras yang ada menjadi sebuah variabel lagi yang perlu diperhitungkan dalam proses penentuan identitas bangsa ini.

Keberhasilan pembangunan civil society di Indonesia; suatu masyarakat yang mampu memberikan kesederajatan, keadilan,  ruang, dan peran yang sama dalam partsipasi pembangunan bagi setiap elemen yang ada didalamnya tanpa ada diskriminasi; akan sangat ditentukan dari gagasan identitas mana yang akan dipilih; apakah Indonesia akan terus setia dengan komitmennya untuk menjadi negara yang mampu mengakomodasi keragaman yang ada atau justru Indonesia berubah menjadi negara yang berdasarkan Islam, yang akhir-akhir ini banyak didengung-dengungkan idenya melalui implementasi syariah Islam.

Keberhasilan Indonesia untuk berkomitmen membangun civil society akan mempunyai dampak yang sangat luas. Dalam level domestik, komitmen ini akan memberikan arah bagi perjalanan bangsa kita dan juga memberikan jaminan bagi seluruh rakyat untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kesederajatan untuk pembangunan negara sehingga akan menghindarkan disintegrasi bangsa. Dalam level global, meski mengalami keterpurukan beberapa tahun belakangan, Indonesia (bersama India) diproyeksikan akan tampil sebagai kekuatan baru di Asia.  Hal ini disebabkan Cina dan Jepang akan mengalami “exhaustion” dalam beberapa tahun mendatang sehingga akan terjadi pergeseran kekuatan politik ke arah selatan Asia. Sementara itu sebagai salah satu negara yang mempunyai populasi dan populasi Islam terbesar di dunia, dan dengan letaknya yang startegis dalam arus perdagangan dunia dimana 70% arus perdangan laut melalui perairan Indonesia menambah pengaruh Indonesia dalam politik global.  Ditambah lagi dengan permasalahan terorisme dan makin tegangnya hubungan antara dunia barat dan dunia Islam, yang akan terjadi dalam periode yang berkepanjangan,  pengaruh Indonesia menjadi makin penting mengingat isu radikalisme Islam di Indonesia sangat dekat kaitannya dengan isu keamanan global.

Dengan segala modal dan pengaruh yang ia miliki dalam peta global, Indonesia akan memainkan peran yang sangat penting bagi stabilitas kehidupan global di masa sekarang maupun mendatang. Jika Indonesia menjadi negara yang uncivilzed; dalam arti mengalami banyak masalah seperti KKN, diskriminasi SARA, injustice dan bahkan menaungi radikalisme agama dan menjadi lahan operasi terorisme internasional; stabilitas kehidupan global akan makin terganggu dan Indonesia akan makin terpuruk dengan segala permasalahannya sehingga bukannya mengambil peran sebagai bangsa yang membantu menjaga stabilitas kehidupan global, ia akan menjadi negara yang merusak perdamaian dan stabilitas yang ada.

So … what does this mean to ICF ?

Sayangnya dalam proses pergumullan bangsa Indonesia yang sangat urgent, yang sangat menentukan masa depan bangsa kita bahkan masa depan situasi global, ruang publik yang ada di masyarakat Indonesia dikuasi, dimonopoli, bahkan didominasi oleh pihak Islam. Sementara itu hanya sedikit jika tidak mau dikatakan sama sekali elemen gereja, yang seharusnya menjadi elemen penting dalam negara, yang ikut bermain dan memberikan alternatif dalam membantu bangsa ini dalam menentukan identitas yang tepat mengingat keterbatasan kapabilitas dan juga tidak adanya kemauan. Hal ini disebabkan terutama karena selama bertahun-tahun gereja membiarkan dirinya dikebiri oleh pemerintah orde baru sehingga kehilangan kemampuan untuk tampil dan membawa pembaharuan dalam negara.

Sebagai organisasi yang mempunyai visi membentuk cendekiawan Kristen yang utuh yang mampu membawa dampak bagi keluarga, gereja, masyarakat peran ICF menjadi makin  penting dan startegis dengan melihat kenyataan yang ada saat ini. Makin penting dan strategisnya pelayanan ICF disebabkan karena keberhasillan ICF untuk mencapai visinya akan sangat menentukan terealisasinya civil society di Indonesia, yang juga akan berdampak ke masyarakat yang lebih luas yaitu masyrakat global. Oleh karena itu ICF perlu menyadari bahwa ia tidak cukup menghasilkan “good Christians”, namun ia harus mampu menghasilkan cendekiawan kristen yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk mewarnai budaya.

Jika kita perhatikan segala permasalahan yang ada di Indonesia kita menyadari bahwa perjalanan & perjuangan kita ini bukanlah suatu hal yang mudah. Namun, jika kita melihat apa yang sudah Tuhan lakukan selama belasan tahun ICF hadir dalam pelayanan kampus dengan proses trasnformasi dan perkembangannya sampai saat ini, kita menyadari bagaimana Tuhan telah memberkati pelayanan kampus ICF. Memang di lain pihak kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada Indonesia 10, 20, 30 tahun mendatang. Kalaupun Indonesia makin buruk kondisinya, paling tidak biarlah sejarah mencatat bahwa pernah ada suatu pergerakan mahasiswa yang secara taat dan tekun menggumuli dan meresponi panggilan Tuhan untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi Indonesia, dan biarlah di masa mendatang dunia bisa melihat dan belajar dari apa yang sudah kita bangun.

Oleh karena itu marilah kita secara serius berusaha mengerti lebih dalam panggilan Tuhan atas diri kita, serius menggumuli apa yang perlu kita bangun, dan mencari jawaban dan bimbingan dari Alkitab yang merupakan sumber dari segala kebenaran.

Referensi

Giles Kepel, Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity, and Judaism in the Modern World

Samuel Huttington, Clash of Civilizatons, Remaking of World Order

Jacob Tobing, Indonesia dan Masyarakat Majemuk – TPM 9


[1] Sebagai contoh, kertas pertama kali dperkenalkan Cina di abad 2, sampai di Jepang pada abad 7, di Asia tengah abad 8, di Afrika utara abad 10, di Sapnyol abad ke 12, dan sampai di eropa utara abad 13

[2] Wahabi: suatu aliran Islam yang snagat puritan, aliran ini banyak dianut Islam garis keras saat

[3] Profesor bidang politik di JohnHopkinsUniversity yang juga sangat aktif di dalam pemerintahan Amerika Serikat dalam bidang Foreign Affairs

[4] Perlu diakui memang Pancasila saat ini hanya sekedar slogan dan simbol, namun dimainkan secara baik oleh rezim Orba saat itu untuk menjaga stablitas negara

[5] ICMI: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Suatu wadah Think Thank Islam yang saat itu ditujukan untuk menjadi alat tampilnya para pemikir Islam garis keras beserta ide-ide mereka, meski akhirnya ICMI ini menjadi sangat beragam anggotanya, dari kelompok garis keras, kelompok moderat bahkan dari para kelompok oportunis