Christian World View and Productive Community (Presented in LM 2004)

Pengenalan

Visi ICF mengatakan bahwa ICF adalah “wadah mahasiswa-mahasiswi Kristen di Amerika Serikat untuk menciptakan intelektual Kristen yang mampu mengintegrasikan karya, iman, dan ilmu untuk memberikan dampak bagi keluarga, gereja, dan masyarakat.” Ada banyak sekali cara untuk mencapai visi tersebut. Sebagai manusia yang terbatas (finite), kita tentu tidak akan dapat menjalankan setiap hal yang kita pikir baik untuk mencapai visi ICF. Menyadari bahwa ICF terbatas dalam hal sumber daya, fasilitas, waktu, dan tenaga, maka ICF harus mencari jalan yang terbaik dimana cara itu bersifat strategis dan mampu untuk memanfaatkan sumber daya yang terbatas ini untuk mencapai visinya.

Penulis ingin mengajak kita semua untuk melihat balik ke LM 2002 di Ames, Iowa dimana teman-teman KP (Key People) berhasil merumuskan Core Business ICF (bisnis utama) yaitu “Transforming Worldview (perubahan paradigma dunia)”. Dengan adanya Core Business yang jelas dan terarah, ICF sekiranya dapat memulai dirinya untuk mencurahkan sumber dayanya ke dalam hal ini untuk mencapai visinya. Di dalam Romans 12:2, yaitu “… but be transformed by the renewal of your mind…,” jelas sekali bahwa ada bagian dari diri kita di dalam proses penyucian (sanctification) untuk semakin menyerupai Kristus melalui pembaharuan akal dan budi kita.

Tujuan dari paper atau presentasi ini adalah hakikatnya agar kita semua dapat mengerti kenapa worldview itu penting dan mengapa “transforming worldview” dapat menjadi core business ICF. Kemudian saya ingin mengajak kita semua untuk melihat hubungan antara worldview dengan ICF Core Business, dan tidak terlepas juga yaitu tujuh pertanyaan dasar untuk membantu kita membentuk worldview Kristen yang solid, utuh dan konsisten.

Pentingnya Worldview

Pertama kali penulis akan mencoba untuk memberikan definisi dari worldview itu. Definisi Worldview: A commitment, a fundamental orientation of the heart, that can be expressed as a story or in a set of presuppositions (assumptions which may be true, partially true, or entirely false) which we hold (consciously or subconsciously, consistently or inconsistently) about the basic constitution of reality, and that provides the foundation on which we live and move and have our being (The Universe Next Door, James W. Sire).

Mengerti akan worldview adalah seperti melihat segala sesuatunya melalui lensa kacamata orang tersebut. Kita bisa saja tidak menyadari atau tidak konsisten dengan worldview kita, akan tetapi, kita melihat segala sesuatunya melalui worldview itu. Worldview secara sederhana dapat dijelaskan sebagai kacamata dimana kita melihat dan memahami dunia ini. Dari worldview itulah manusia mengambil keputusan dan hidup di dalamnya. Dikatakan di Kisah Para Rasul 17:28 worldview adalah “the foundation on which we live, and move, and have our being.” Ketika kita menyadari bahwa worldview adalah pondasi dari basis kita untuk hidup, bergerak, dan berbuat maka kita dapat mengerti pentingnya worldview itu.

Setiap orang pada hakikatnya mempunyai worldview atau pandangannya terhadap dunia disekitarnya. Sewaktu penulis berbicara bahwa setiap orang mempunyai worldview, dalam hal ini penulis sudah mempunyai suatu pemisalan (presupotition) bahwa setiap orang mempunyai worldview. Dalam hal ini penulis percaya bahwa tidak ada namanya kenetralan di dalam dunia ini. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa “Either you are with Me or against Me.” Berangkat dari pemisalan ini maka jelas sekali bahwa worldview itu haruslah ditelusuri lebih lanjut; misalnya, berasal darimanakah pemikiran tersebut? Worldview lain selain Kristen tidak akan bisa konsisten. Hanya worldview Kristen yang solid dan konsisten, yang mampu menyediakan jawaban ke setiap bagian hidup manusia.

Sayangnya, banyak orang Kristen yang terjebak di dalam worldview sekular. Dia boleh saja pergi ke gereja, ikut small group, dan mengambil pelayanan, akan tetapi pemikiran yang ada, keputusan yang diambil, kata-kata yang keluar, dan perbuatan yang tercermin itu tidaklah Kristiani. Ketidak-konsistenan ini sangatlah berbahaya baik bagi saudara seiman maupun teman-teman non-Kristen.

Di dalam konteks komunitas ICF, kita mengetahui bahwa ICF dijalankan oleh sekumpulan orang untuk mencapai visinya. Banyak orang-orang yang datang dari luar ICF dengan membawa worldviewnya masing-masing. Ada yang membawa worldview Kristen dan non-Kristen. Dalam hal ini, core business ICF berperan besar untuk membuat semua partisipan memeluk worldview Kristen yang benar. Karena dari worldview yang benar ini maka komunitas tersebut akan berjalan efektif dan efisien dalam mencapai visinya. Jikalau sebuah ICF tidak memiliki worldview yang benar dalam menjalankan  Core Businessnya yang tidak lain adalah “transforming worldview”, maka ICF tersebut akan tersendat-tersendat untuk membawa dirinya sendiri untuk mendekati visi-nya.

Melihat hal ini, maka penulis ingin membantu pembaca untuk mengerti dan mencoba untuk mengenal worldview Kristen secara utuh dengan mencoba untuk menjawab 7 pertanyaan dasar yang menjadi alat kita untuk membentuk worldview yang utuh dan bahwasannya adalah benar.

Apakah kenyataan akhir dari dunia

 Didalam bagian ini penulis akan banyak mencoba untuk memberikan pembahasan tentang kebutuhan akan Tuhan yang ada disana dan tidak berdiam diri dengan mencoba memberikan pembahasan filsafat dalam area metafisik (rohani) dan dalam area keberadaan manusia.

Pertanyaan akan kenyataan akhir dari dunia, selalu diawali dengan pertanyaan (dilema) akan keberadaan manusia. Keberadaan manusia ini juga merupakan bagian dari pertanyaan (dilema) akan keberadaan semua yang ada di alam semesta. Adalah seseorang filsuf bernama Jean-Paul Sartre yang mengatakan bahwa dasar dari segala pertanyaan filsafat adalah, “Sesuatu itu ada, dan bukanlah tidak ada.” Bertentangan dengan kepercayaan atau iman dari timur maupun posmodernisme yang mengatakan segala sesuatu adalah imajiner (ilusi), karena pada kenyataannya segala sesuatu yang dapat dirasakan oleh panca indra manusia normal adalah nyata. Berangkat dari sini maka penulis ingin mencoba untuk menjelaskan akan dilema lainnya dari manusia.

Dilema kedua dari manusia adalah, manusia sebagai mahkluk pribadi tetapi juga terbatas. Dengan segala keterbatasan manusia, maka manusia itu sendiri tidak bisa menjadi landasan yang pasti untuk menjawab dilema dari manusia. Satre dan bahkan Plato beratus-ratus tahun sebelumnya mengatakan tidak akan ada satupun keadaan yang terbatas (finite point) yang dapat memberikan arti, bila tidak ada sebuah keadaan referensi yang mutlak (infinite reference point).

Walaupun manusia itu terbatas, tapi manusia memiliki satu karakter yang membedakan ia dengan hewan. Manusia adalah makhluk yang personal atau memiliki sifat kemanusiaan. Berbeda dengan behaviornisme yang mengatakan bahwa manusia tidaklah personal, tetapi impersonal; atau dengan kata lain manusia adalah sebuah mesin. Walaupun para pengikut paham behaviornisme[i] mengatakan manusia bukan makhluk personal, tetapi tak ada seorangpun yang dapat hidup secara konsisten dan menghidupi dirinya secara tidak manusiawi.

Kenyataan yang lain adalah, manusia memiliki nilai yang tinggi dibanding makhluk lain. Manusia adalah makhluk yang mulia dengan segala akal pikirannya, dan budi pekertinya. Tetapi manusia juga adalah makhluk yang kejam. Hal ini kemudian menimbulkan kembali sebuah dilema tentang keberadaan manusia. Manusia adalah makhluk yang mulia tetapi kemudian dihadapi dengan kenyataan lainnya bahwa manusia adalah makhluk yang  kejam. Penulis akan membahas hal ini di bagian berikutnya.

Untuk menjawab pertanyaan filsafat dasar ini, tidaklah tersedia banyak jawaban yang memungkinkan. Walaupun mungkin banyak kemungkinan secara detilnya yang mengelilingi jawaban dasar yang ada, tetapi kalau kita perhatikan sebenarnya hanya ada sedikit konsep dasar untuk menjawabnya.

Jawaban pertama yang ada adalah tidak ada jawaban yang masuk akal dan rasional. Penyelesaian yang diajukan biasanya adalah tidak ada jawaban yang masuk akal dan rasional yang ada hanyalah kekacauan, irasional dan aneh. Biasanya yang memegang solusi ini adalah orang yang memegang paham existentialisme[ii].

Bila seseorang mengatakan bahwa semuanya adalah tidak berarti, tidak ada jawaban untuk semuanya dan tidak ada hubungan sebab dan akibat didalamnya, maka tidak ada orang yang dapat menyangkalnya. Tetapi pada kenyataannya tidak ada orang yang dapat menghidupinya secara konsisten dan mengatakan bahwa semuanya adalah kekacuan, kerancuan dan irasional, dan tidak ada solusinya. Seseorang dapat memegang cara berpikir ini secara teori, tetapi tidak ada yang dapat melakukannya secara konsisten.

Alasan utama mengapa posisi ini tidak dapat dilakukan secara konsisten karena pada kenyataannya karakter dari alam semesta ini memiliki bentuk dan keteraturan. Bila alam semesta merupakan suatu kekacauan, maka dengan sendirinya sains dan juga semua kehidupan (kerja tubuh manusia, komunikasi, bahkan tulisan saya yang anda baca ini) akan berakhir. Untuk manusia hidup di alam semesta yang kacau, dan juga kekacauan akan aturan dari tubuh kita adalah mustahil. Alam semesta dan tubuh manusia memiliki suatu bentuk dan keteraturan, dengan itulah maka manusia dapat hidup.

Jawaban kedua atas filsafat dasar manusia adalah adanya jawaban yang masuk akal dan rasional, dan juga tidak terlepas dari komunikasi dengan alam semesta. Dalam hal ini dapat ditarik dua jawaban. Yaitu adanya pencipta, dan tidak ada pencipta.

Alasan pertama yang tidak memungkinkan alternatif tidak adanya pencipta adalah bila seseorang mengatakan bahwa alam semesta itu adalah muncul dari ketidakadaan. Untuk memegang cara berpikir ini secara konsisten, seseorang harus memulai dari ketidakadaan mutlak (ketidakadaan dari ketidakadaan). Tidak ada sesuatupun sebelumnya, berarti tidak ada energi, massa, partikel, gerakan, dan personalitas.

Untuk menjelaskan ketidakadaan mutlak adalah seperti ini. Pikirkan sebuah papan tulis yang tidak pernah digunakan sekalipun. Kemudian, coba gambar sebuah lingkaran. Didalam lingkaran ini adalah semua yang ada; dan yang ada didalam lingkaran itu adalah sesuatu yang tidak ada. Kemudian, hapus lingkaran itu. Inilah ketidakadaan dari ketidakadaan.

Alasan kedua untuk alternatif yang kedua adalah memulai dengan cara berpikir impersonal. Orang yang memegang paham reductionisme[iii] mengatakan segala sesuatu dapat dimengerti bila segala sesuatu yang ada diturunkan hingga ke impersonal faktor (partikel, massa dan energi).

Masalah utama dari paham ini adalah dalam mencari arti dari sebuah partikel. Memulai dengan impersonal, semua termasuk manusia harus dijelaskan dengan impersonal ditambah waktu ditambah kesempatan, dan terbentuklah segala sesuatu yang ada. Memulai dengan impersonal selalu akan diakhiri dengan ketidakberartian segala sesuatu (hidup manusia, moral, dll); dan berarti tidak ada jawaban yang pasti dan bermakna untuk menjelaskan arti hidup seorang manusia dengan segala kompleksitasnya dan kepribadiannya.

Alternatif terakhir untuk menjawab filsafat dasar manusia adalah adanya pencipta yang personal. Adanya pencipta akan menjelaskan bahwasanya segala sesuatu itu dimulai oleh sesuatu yang personal. Manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang personal akhirnya juga memiliki arti, bahkan segala kompleksitas hidup, aspirasi dan inovasi sains dari manusia akhirnya memiliki arti.

Bila bicara tentang pencipta yang personal, maka seseorang harus memilih dan menjalani langkah berikutnya, yaitu, Pencipta seperti apakah yang akan kita dengarkan. Untuk mendapatkan jawaban yang lengkap akan pencipta yang personal, seseorang memerlukan dua syarat. Pencipta itu harus personal dan tidak terbatas (infinite), dan Pencipta itu harus personal dalam hal kesatuan dan perbedaan (unity & diversity). Selanjutnya penulis akan menuliskan Pencipta yang personal dan tidak terbatas ini sebagai Tuhan.

Bila pencipta itu tidak tak-terbatas, maka pencipta itu tidak cukup kuat untuk menjadi titik referensi untuk menjawab filsafat dasar manusia. Bagaimanakah pencipta yang terbatas dapat menciptakan dunia yang begitu kompleksnya, dan kemudian menjaga keseimbangannya.

Kedua, kita membutuhkan Tuhan yang memiliki karakter personal dalam hal kesatuan dan perbedaan. Tanpa ini kita tidak memiliki jawaban dalam hal kesatuan dan perbedaan. Yang sedang penulis ingin jelaskan disini adalah tentang kebutuhan filsafat akan Tuhan yang ada disana dan tidak berdiam diri.

Sejak dahulu manusia selalu mencoba menjawab hubungan antara kesatuan dan perbedaan dalam hal personality antar manusia tetapi tidak pernah dapat menyentuhnya. Berbeda dengan  keKristenan, hanya dalam Kristen lah kita memiliki Tuhan Trinitas: tiga individu dalam sebuah kesatuan, saling mencintai satu sama lain, berkomunikasi satu sama lain sebelum segala sesuatu diciptakan (tidak berdiam diri).

Bila Tuhan tidak Trinitas maka kita akan memiliki Tuhan yang membutuhkan untuk mencipta makhluk lain untuk mencintai dia dan berkomunikasi dengan dia. Dalam hal ini, Tuhan membutuhkan dunia, sama seperti dunia membutuhkan Tuhan. Tetapi, Tuhan tidak butuh menciptakan dunia, Tuhan tidak butuh dunia seperti dunia butuh Tuhan. Tuhan tidak butuh karena dari awal tiga pribadi dalam Trinitas saling berkomunikasi dan saling mencintai sebelum segala sesuatu diciptakan. Kesatuan dan perbedaan dalam hal personality tidak dapat muncul sebelum Tuhan, atau sesudah Tuhan menciptakan dunia, karena segala sesuatu bermula dan berakhir pada Tuhan.

Dalam perkembangan kebudayaan manusia yang telah berumur ribuan tahun, tidak ada satupun paham, filsafat atau agama yang dapat memberikan jawaban filsafat secara lengkap. Hanya didalam kebudayaan Judeo-Christian lah yang memiliki Tuhan yang dapat menjawab pertanyaan filsafat ini. Jawaban dari pandangan Kristen bukanlah yang terbaik, tetapi adalah satu satunya jawaban. Jawaban dari segala sesuatu yang ada mengenai keberadaan manusia, dan alam semesta adalah karena adanya Tuhan Trinitas yang ada disana dan tidak berdiam diri.  Jawaban dari kesatuan dan perbedaan personality ditengah manusia juga karena adanya Tuhan Trinitas yang ada disana dan tidak berdiam diri. Tidak ada jawaban diluar Tuhan Trinitas.

Tuhan tidak berdiam diri. Karena inilah kita dapat mempunyai jawaban. Tuhanlah yang telah memberitahukan manusia lewat wahyuNya. Tuhan tidak berdiam diri, Tuhan memberitahu manusia akan siapakah Dia. Karena Tuhan memberitahu bahwa kita manusia diciptakan sesuai gambaranNya, dan Tuhan memiliki tujuan waktu Dia menciptakan manusia, maka manusia dapat mencari arti dari hidupnya.

Kesimpulannya, apabila manusia mencari jawaban dari dirinya sendiri maka ia tidak akan pernah dapat membuat jawaban akan dirinya. Jawaban dari segala hal adalah karena Tuhan Trinitas yang ada disana dan Dia tidak berdiam diri, dan Dia memberikan wahyunya kepada manusia.

Apakah alam semesta itu, dan karakteristiknya?

Dalam pandangan Kristen, alam semesta itu diciptakan oleh Tuhan yang ada disana dari ketidakadaan. Didalam Alkitab mengatakan bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.  Sebelum penciptaan ini tidak ada satupun kecuali Allah.

Alam semesta ini bukanlah Tuhan, ataupun perpanjangan tubuh Tuhan seperti halnya yang dipercaya oleh orang yang menganut paham Pantheisme[iv]. Alam semesta ini adalah sesuatu yang berbeda dari Allah.

Didalam Ibrani 1:3, Tuhan dikatakan disini menopang segala sesuatu dengan FirmanNya. Dalam hal ini Tuhan berlaku sebagai penopang, tanpa Tuhan, maka alam semesta tidak akan bertahan. Berbeda dengan pandangan Islam, bahwa segala sesuatu fenomena di alam semesta disebabkan oleh tangan Tuhan; didalam keKristenan, Tuhan tidaklah bertanggung jawab atas segala fenomena yang ada di alam semesta, melainkan Tuhan telah menciptakan alam semesta dengan bentuk dan aturannya, dan Tuhanlah yang menopang keteraturan dan bentuk dari alam semesta itu.

Dalam perkembangannya kita dapat melihat, bahwa alam semesta ini memiliki keteraturan dan bentuk. Pengenalan akan pemahaman inilah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan yang modern. Hanya didalam keKristenan-lah, manusia memiliki Tuhan yang teratur, yang menciptakan alam semesta dengan rasional, sehingga bentuk dan aturan fisik dari alam semesta itu dapat dipelajari melalui pikiran yang rasional, data empiris dan penelitian untuk kebaikan dan keberlangsungan hidup manusia.

Siapakah manusia itu, dan apa yang terjadi dengan manusia?

Didalam Kejadian 2:7 dijelaskan bahwa Tuhan membentuk tubuh manusia dari debu tanah. Walaupun begitu, manusia tidak hanya sebuah tubuh. Manusia diciptakan dalam gambaran dan rupa Tuhan. Inilah kemuliaan bagi seorang manusia, yang membuat manusia berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya.

Apakah artinya bila manusia diciptakan serupa dengan gambaran Tuhan? Hal pertama yang memberi arti manusia sebagai ciptaan yang serupa dengan Tuhan adalah manusia adalah makhluk yang memiliki moralitas. Manusia adalah makhluk yang dapat mengambil keputusan tentang moralitas. Hal kedua adalah manusia adalah makhluk yang rasional, yang berarti manusia memiliki akal pikiran yang membuatnya sebagai makhluk yang kreatif atau makhluk yang berkarya. Bila kita perhatikan, dimanapun manusia berada maka ada sebuah kebudayaan didalamnya, baik yang sederhana maupun kompleks. Hal ketiga adalah manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti membutuhkan komunikasi, dan juga membutuhkan hubungan antar sesama manusia yang lain.

Pada mulanya manusia diciptakan oleh Tuhan baik adanya. Manusia diciptakan dalam keadaan yang sangat baik, baik dalam hal jasmani dan rohaninya. Didalam Kejadian 3:8 manusia dikatakan memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan. Keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan juga terpancar dari hubungan yang harmonis dengan sesamanya, alam dan juga dengan dirinya sendiri.

Keunikan yang lain yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang spesial adalah ia juga memiliki kehendak bebas (free will). Didalam kejadian 2:16,17 Tuhan memberikan sebuah kondisi sebagai pengrealisasian dari kehendak bebas yang harus dipatuhi untuk manusia bisa tetap memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Kondisinya sangatlah sederhana yaitu mematuhi Tuhan. Bila manusia tidak mematuhinya, konsekuensinya adalah hubungan yang harmonis itu akan putus dan manusia akan mati secara jasmani dan rohani.

Dengan kehendak bebasnya, manusia memilih untuk tidak mematuhi Tuhan dengan menjadikan dirinya tuhan atas dirinya sendiri. Ketika itu juga seluruh aspek hidup manusia dipengaruhi oleh efek dari dosa. Oswald Chambers mengatakan dosa bukanlah perbuatan yang salah, tetapi pribadi yang salah, yang secara bebas memberontak dan ingin menjadikan dirinya tuhan. Efek dari dosa itu sendiri tidak hanya membawa kutukan kepada manusia tetapi juga alam dimana ia tinggal. Karena pemberontakan manusia ini, alam yang bahwasannya normal menjadi abnormal.

Dosa yang penulis coba jelaskan disini bukanlah dosa karena tidak melakukan peraturan yang ada, tapi dosa yang penulis maksud adalah berurusan dengan moralitas manusia. Kita harus dapat membedakan “dosa” didalam Alkitab dengan “dosa” didalam filsafat atau agama lain. Dosa itu adalah keangkuhan manusia yang secara bebas menolak Tuhan yang telah menciptakannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tuhan. Dosa ini hanya dapat diselesaikan oleh pekerjaan Kristus diatas kayu salib, yang kemudian menjembatani manusia yang secara bebas telah menolak Tuhan, untuk kembali dapat memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan.

Dengan mengetahui siapakah manusia, dan mengapa manusia yang mulia dapat melakukan hal yang sangat bertentangan dengan moralitasnya, maka kita dapat mengetahui dilema manusia, dan kebutuhan manusia untuk memuaskan “moral guilty” dalam hidupnya.

Mengapa Mungkin Untuk Mengetahui Segala Sesuatu? (Epistemology)

 Pertanyaan diatas adalah salah satu cabang dari filosofi yang dikenal dengan nama Epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (knowledge) and logos (theory). Tidak seperti binatang, manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui. Manusia mempunyai akal dan pikiran untuk mempertanyakan segala sesuatunya. Pertanyaan ini berhubungan erat sekali dengan pengetahuan (knowledge). Dari mana datangnya pengetahuan yang kita punya? Dari mana kita tahu apa yang kita tahu? Dari mana kita tahu yang kita tahu itu benar atau salah? Benar atau salah berdasarkan standard yang mana?

Ketika kita kembali melihat sejarah, ada dua pemikiran dominan di sekitar abad 17 yang mempengaruhi perjalanan filsafat epistemologi manusia: Rene Descartes dan John Locke. Descartes berpendapat bahwa rasio manusia adalah metode yg paling ultimat dan absolut dalam mencari dan menemukan kebenaran (The Truth). Dia tidak percaya dengan panca indera manusia yang terkadang bisa menipu. Jadi, Descartes percaya bahwa pendekatan sains, adalah yg paling mutakhir, yang akan menaklukan dunia dan membawa peradaban manusia ke arah yang lebih baik. Dia percaya bahwa hanya dengan rasio, manusia bisa mengetahui apa yang dia tahu.

Di lain pihak, John Locke, bapak empiris moderen, berpendapat bahwa otak manusia ketika lahir adalah seperti tablet kosong (tabula rasa). Jadi otak itu hanya bisa diisi oleh pengalaman-pengalaman yang manusia itu alami dan rasakan. Dia menekankan bahwa panca indera adalah sumber dari segala pengetahuan yang ada sehingga manusia bisa mengetahui segala sesuatunya melalui panca indera. Jadi dengan metode empiris, pengamatan melalui panca indera dan pengalaman, manusia bisa mencari dan mengalami kebenaran (The Truth).

Dua pemikiran ini kemudian dihancurkan oleh David Hume. Dia adalah seseorang yang selalu mempertanyakan segala sesuatunya (skeptis). Dia berpendapat bahwa rasio dan panca indera manusia tidak bisa dan tidak mampu untuk mengerti segala permasalahan yang ada di alam atau dunia ini. Hanya dengan rasio yang terbatas dan panca indera yang bisa menipu, manusia tidak akan bisa dan mampu untuk mencari kebenaran yang sejati sehingga rasio dan panca indera bukanlah sumber dari segala pengetahuan.

Abad 18 yang juga dikenal dengan nama lain yaitu abad ‘Pencerahan’ (Enlightenment) – Aufklarung – munculah seorang filsuf revolusioner: Immanuel Kant. Dia membedakan antara dunia ‘phenomenal’ dan ‘noumenal.’ Dia berpendapat manusia tinggal di dalam batasan alam phenomenal sedangkan hal-hal yang spiritual (atau tuhan) tinggal di dalam alam noumenal. Ini berakibat fatal bagi perkembangan sejarah manusia. Manusia terbatas di dalam rasio dan panca indera di dunia phenomenal sehingga menyebabkan dia tidak akan bisa dan mampu untuk mengerti akan hal-hal yang ada di alam noumenal.

Pemikiran Kant mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam peradaban manusia moderen. Ini benar-benar dirasakan pada awal abad ke 19 dimana terjadinya Revolusi Industri. Kemajuan budaya manusia dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah dirasakan di jaman tersebut. Ini membuat manusia menjadi sombong dan lupa diri sehingga lahirlah prinsip humanisme dimana manusialah yang menjadi standard kebenaran yang mutlak. Manusia merasa bisa mencukupi kebutuhannya sendiri terlepas dari revelasi Allah Tritunggal. Tuhan benar-benar disingkirkan dari kerangka berpikir manusia sehingga manusia bergantung kepada dirinya sendiri. Manusia merasa bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu sudah sangatlah cukup untuk sehingga manusia bisa melupakan siapa penciptanya dan kepada siapa dirinya itu bergantung.

Ketika Tuhan dihilangkan dari cara berpikir manusia, adalah manusia itu sendiri yang menjadi standar kebenaran atau tolak ukur yang mutlak. Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa dan tidak ada sedikitpun dari sifat manusia yang menginginkan hal-hal yang baik, standar kebenaran pun berubah-ubah dari satu pribadi ke pribadi lain. Ini dikenal dengan paham relativisme. Paham ini telah masuk ke dalam seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat post-modern (sekarang ini). Akibatnya, bukan hanya dunia ‘sekular’ (hukum, sejarah, psikologi, ekonomi, dan pendidikan) yang terpengaruh, akan tetapi gereja dan orang-orang di dalamnya pun ikut terkena dampaknya. Banyaknya denominasi-denominasi baru yang bermunculan membuat gereja kehilangan arah dan arti yang sebenarnya.

Dari fakta diatas, kita bisa melihat bahwa dengan tidak mempunyai pengertian yang benar akan pengetahuan kita, manusia pasti menyimpang dari jalan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Dari sisi iman Kristen, semua pertanyaan yang menyangkut tentang pengetahuan harus dimulai dengan pasti dari pengenalan yang benar tentang Tuhan Trinitas (The Triune God) karena dari Dialah kita beroleh hikmat dan bijaksana (2 Chron 1:10, Job 37:16, Prov 2:4-6). Hanya di dalam Tuhan Trinitas-lah manusia bisa mengetahui apa yang dia tahu dan mempunyai pengetahuan. Presuposisi iman Kristen dimulai dengan fakta bahwa Tuhan terlebih dulu berinisiatif untuk menunjukan diriNya di dalam perjalanan sejarah manusia baik itu melalui Alkitab dan anakNya yang tunggal, Yesus Kristus (Special Revelation) maupun melalui seluruh karya ciptaanNya seperti alam semesta (General Revelation).

Ini berarti kita tidak akan bisa mempunyai pengetahuan tentang Kebenaran (Truth) kalau Tuhan tidak menunjukkan siapa diriNya. Keberdosaan yang membutakan manusia telah merubah cara berpikir kita sehingga kita berpikir bahwa pengetahuan yang kita punya adalah terlepas dari Tuhan. Konsep ‘Pikiran yang Tercemar oleh Dosa’ (Noetic Effect of Sin) mempunyai efek yang dahsyat yaitu seakan-akan pengetahuan yang manusia miliki itu terlepas dari providensia Tuhan. Detik demi detik Tuhan ‘menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan’ (Hebrews 1:3). Jadi, seseorang bisa mengetahui segala sesuatunya melalui cahaya yang Allah pancarkan ke otak manusia sehingga manusia bisa memperoleh pengetahuan akan segala sesuatunya.

John 18:37b-38a: Jesus answered, “You say that I am a king. For this purpose I was born and for this purpose I have come into the world–to bear witness to the truth. Everyone who is of the truth listens to my voice.”Pilate said to him, “What is truth?”  

Contoh diatas jelas sekali bahwa Pilatus, karena keberdosaannya, tidak bisa melihat “The Truh” yang telah berdiri di depan matanya. Jelas sekali Yesus berkata bahwa tujuan dia di bumi ini adalah untuk menjadi saksi Bapa di sorga dengan jalan menunjukan diriNya, lahir dan datang ke dunia yang penuh dengan dosa sehingga kita bisa mempunyai pengetahuan yang benar akan semua hal.

Dengan mempunyai fondasi yang benar tentang darimana pengetahuan kita berasal, kita akan mempunyai kemampuan untuk melihat realita yang sebenarnya dengan penuh pengucapan syukur dan pengagungan kepada Sang Pencipta. Kita akan melihat semua hal-hal yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dari kacamata dan dalam hubungannya dengan Tuhan Trinitas yang telah menjadikan langit, bumi, dan segala isinya.

Apa yang akan Terjadi Setelah Kita Mati? (Death)

Kita sebagai manusia pernah bertanya-tanya, mengapa kita semua akan mati? Apa yang akan terjadi setelah kita mati? Apakah jiwa kita akan lenyap seketika? Atau kita akan masuk ke dalam fase kehidupan selanjutnya dalam wujud yang berbeda—reinkarnasi? Ataukah kita akan mendapat tubuh yang baru dan berakhir di surga atau neraka?

Orang yang mempunyai agama atau aliran kepercayaan selain Kristen mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang kehidupan setelah kematian dan ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap mereka dalam melewati hidup dan mencari arti hidup ini. Seorang pesimistik eksistensialis akan melihat hidup ini hanya kesia-siaan belaka. Mereka eksis diantara dua pol (lahir dan mati) yang tidak mempunyai makna atau nihil sehingga mereka menganggap bahwa tidak ada tujuan di hidup ini. Hidup ini hanya sekali saja dan oleh karena itu sayang sekali kalau dilewatkan begitu saja. Mereka bersenang-senang, pesta pora, makan, dan menghambur-hamburkan uang untuk melewati hari-hari hidup ini. Tidak ada sama sekali tersirat di pikiran mereka kenapa mereka bisa eksis di hidup ini dan apa tujuan mereka di hidupnya masing-masing.

Dari sisi iman Kristen, kehidupan manusia setelah kematian akan berakhir di salah satu dari dua tempat terakhir yang kekal, surga atau neraka. Bagi orang percaya, manusia akan pasti akan berakhir di tempat yang abadi, bersatu dengan Sang Pencipta, dan menikmati hubungan intim dimana tidak akan ada lagi sakit, ratap tangis, dan kematian. Atau, hidup manusia akan pasti berakhir di tempat yang penuh dengan penderitaan, sakit-penyakit, dan kesusahan.

Philippians 1:21, 23: For to me to live is Christ, and to die is gain.I am hard pressed between the two. My desire is to depart and be with Christ, for that is far better.

Ketika Paulus ‘ditangkap’ oleh Tuhan, tujuan hidup dan arti hidupnya tidak terlepas dari Tuhan. Visi hidup Paulus untuk memberitakan Kebenaran (Kristus) tidak terlepas dari penderitaan-penderitaan yang dialaminya baik itu fisik, mental, maupun spiritual. Paulus tentu ingin segera bertemu dengan Tuhan, sumber dari segala sukacita. Keinginannya ini bukanlah didasari untuk cepat-cepat mati atau untuk menghindari segala siksaan dan aniaya yang dialaminya. Akan tetapi, dia ingat akan jaminan keselamatan yang pasti dia akan terima di rumah Bapa dimana dia akan selalu dipuaskan dengan segala sesuatu yang ada disana. Kematian akan dihadapinya dengan penuh pengharapan.

Di lain pihak, hidup Paulus didedikasikan untuk Tuhan. Keinginan dia untuk hidup didasari oleh jaminan yang akan dia terima ketika dia mati. Jaminan keselamatan mendikte cara hidup Paulus. Hidup Paulus dilihat sebagai kesempatan untuk memberitakan tentang kekekalan, sukacita, dan pelayanan. Disiksa dan dianiaya membuat Paulus semakin yakin bahwa dia semakin dekat dengan visi hidupnya akan Injil Kristus yaitu berlari untuk mendapatkan mahkota abadi yang dijanjikan olehNya.

Mengapa Manusia Mempunyai Sejarah?

 Dari seluruh ciptaan yang ada di dunia ini, hanya manusia yang mampu membuat sejarah. Karena kita diciptakan di dalam konsep ruang dan waktu maka konteks sejarah itu lahir. Tindakan sekelompok manusia yang mempunyai persamaan latar belakang, adat-istiadat, dan nilai akan menimbulkan suatu kultur. Dan budaya itu akan selalu bergesekan dengan waktu dan membentuk sebuah sejarah peradaban. Oleh karena itu budaya dan sejarah tidak akan pernah terpisahkan.

Untuk seorang naturalis, teori evolusilah yang menentukan sejarah manusia. Mereka percaya bahwa mereka lahir dari satu sel yang bermutasi menjadi mahkluk-mahkluk yang ada seperti sekarang ini dan evolusi ini dinilai sebagai sebuah kemajuan peradaban. Bagi mereka, sejarah adalah seperti spiral menuju keatas ke satu titik tujuan. Jika mereka beranggapan bahwa evolusi ini menuju ke sebuah tujuan, tapi tanpa ada yang mengarahkan mereka ke tujuan itu, argumen itu sangatlah tidak valid. Dengan kata lain, jika dari pertama mereka mengaku bahwa mereka tidak diciptakan, melainkan lahir dari satu sel yang “tidak sengaja jatuh” ke bumi, untuk apa mereka beranggapan bahwa mereka berevolusi menuju ke satu tujuan yang lebih baik.

Untuk mempunyai pandangan yang benar tentang sejarah, haruslah dimulai dengan pengertian yang benar akan doktrin penciptaan. Waktu tidak akan pernah bisa eksis dengan sendirinya sehingga sejarah haruslah dimengerti dari kacamata Allah Tritunggal sewaktu dia  memberikan arti yang sebenarnya (the ultimate meaning) kepada ciptaanNya. Sewaktu Allah berkata: “Let there be light… (Gen 1:3-5),” disitulah secara implisit konsep waktu dimulai. Selanjutnya Allah Pencipta langit, bumi, dan seluruh isinya adalah Allah yang berdaulat yang juga telah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupaNya. Dari semula Allah juga menciptakan perjanjian (covenant) antara Dia, manusia, dan seluruh ciptaanNya. Oleh karena itu manusia sebagai gambar dan rupa Tuhan diberikan kapabilitas dan tanggung jawab untuk mencari arti dan tujuan hidup dia sendiri dan seluruh ciptaan di dalam kehendak Tuhan.

Dengan kita menolak doktrin penciptaan Tuhan Trinitas, maka kita akan mempunyai cara pandang yang salah dan tidak konsisten dalam memandang sejarah ini. Atau dengan kata lain pandangan kita akan penuh dengan hal-hal yang irrasional. Bagi orang Kristen, sejarah itu dilihat sebagai satu garis lurus atau linear dimana tangan penyertaan Allah Tritunggal yang penuh dengan kasih dan berkat akan menuntun dan menopang jalannya seseorang. Dengan kata lain, providensia Tuhan akan mengarahkan hidup orang itu ke satu titik atau tujuan mulia yang sesuai dengan panggilan orang itu yang sudah ditetapkan.

Apa itu moral atau etika?

Mengapa kita bisa mengetahui adanya benar dan salah? Darimana kita mengtahuit bahwa tindakan kita itu benar? Apakah ada standar universal untuk mengukur kebenaran tersebut? Mengapa kita berpikir tidak membunuh adalah lebih benar dibanding membunuh?

Setiap keputusan yang manusia ambil adalah sebuah keputusan moral termasuk sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Hawa melihat buah pengetahuan yang baik dan yang jahat dan mengingininya. “So when the woman saw that the tree was good for food, and that it was a delight to the eyes, and that the tree was to be desired make one wise, she took of its fruit and ate, and she also gave some to her husband who was with her, and he ate (Genesis 3:6).

Dari sisi iman Kristen, manusia diciptakan menurut gambar dan rupaNya. Ini berarti hanya manusia yang mempunyai sisi moralitas. Manusia mencerminkan karakter dan atribut dari Tuhan yaitu baik (good). Dan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, standard kebenaran yang mutlak itu tidaklah hilang melainkan tetap ada berdiri dari dulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya. Sampai detik ini sekalipun, Allah menopang segala yang ada melalui FirmanNya (Hebrews 1:3) termasuk hati seseorang.

Hal ini tidaklah terlepas dari doktrin kasih Allah terhadap seluruh ciptaanNya (common grace). Kasih Allah yang telah dimanifestasikan termasuk salah satu di dalamnya yaitu hati kita sehingga kita masih bisa mempunyai hati nurani (conscience) untuk membedakan mana yang baik dan yang jahat. Ini berarti di dalam hati manusia yang paling keji sekalipun, masih tersimpan secuil kebaikan.

Jeremiah 31:33: But this is the covenant that I will make with the house of Israel after those days, declares the LORD: I will put my law within them, and I will write it on their hearts. And I will be their God, and they shall be my people.

Terlebih lagi untuk orang-orang pilihanNya. Tuhan telah menulis hukum-hukumNya di hati kita dan ketetapan-ketetapanNya di pikiran kita. Sungguh adalah suatu hak istimewa ketika kita mengetahui bahwa ada suatu sumber kebenaran mutlak dimana tidak ada apapun dan seorangpun yang bisa merubahnya.

Satu hal yang saya ingin tekankan sekali lagi bahwa ketika kita mempunyai pengertian yang salah akan realita yang mutlak (Ultimate Reality), maka hal itu akan berdampak ke etika kita. Kita tidak lagi bisa melihat adanya suatu standard kebenaran yang mutlak, melainkan semuanya relatif tergantung manusia sehingga kita akan dengan mudah sekali terjebak di dalam pahan relativisme.

 Sekapur Sirih untuk ICF

Francis Schaeffer dalam bukunya “Two Contents and Two Realities” mengatakan apabila seseorang mempelajari Firman Tuhan dan Christian World View; segala yang ia pelajari tidaklah dapat dipisahkan dari segala aspek hidupnya secara menyeluruh. Schaeffer mengatakan bahwa Firman Tuhan adalah kebenaran mutlak yang menyentuh semua aspek hidup manusia.

Oleh karena itu, penulis ingin mencoba memberikan sedikit pembahasan dari buku “Two Contents and Two Realities” untuk menjembatani apa yang telah kita pelajari kedalam konteks ICF. Penulis berharap seorang ICF dapat membawa kebenaran itu ketengah-tengah dunia (market place).  Judul yang diambil adalah Two Contents and Two Realities. Dalam hal ini Two Contents atau 2 Isi menunjuk pada yaitu, pertama adalahdoktrin yang bersuara yang didasari atas kemutlakan Firman Tuhan dan bagaimana seseorang ICF menjalani Kebenaran (The Truth) yang mutlak sehari hari. Kedua adalah bagaimana seorang ICF harus berhadapan dengan pertanyaan yang jujur dari generasi dimana ia hidup, dan berusaha memberikan jawaban yang jujur yang hanya tersedia di dalam Firman Tuhan.

Schaeffer juga mengatakan bahwa tidaklah cukup untuk seseorang mengetahui doktrin yang bersuara, dan memberikan jawaban yang jujur atas pertanyaan yang jujur. Seorang Kristen juga harus menanggapi 2 realita. Realita yang pertama adalah waktu demi waktu berjalan bersama Kristus. Realita yang kedua adalah keindahan dalam hubungan dengan sesama manusia.

Doktrin yang bersuara

Doktrin yang bersuara adalah elemen dasar dari keKristenan. Kita sebagai seorang ICF harus menolong satu sama lain, dan menantang satu sama lain untuk memiliki pandangan yang jernih tentang doktrin yang benar. Kita harus berani mengatakan tidak pada teologi liberal dan teologi existential untuk ada ditengah-tengah lingkungan ICF.

Kita harus mengerti Tuhan kita adalah Tuhan yang personal dan tidak terbatas, dan kita juga harus mengerti bahwa manusia diciptakan sesuai gambaran rupa Tuhan, dan memiliki nilai yang mulia. Ketika manusia jatuh kedalam dosa didalam dimensi ruang dan waktu, kita mengetahui bahwa manusia mempunyai dilema dalam moralitasnya karena manusia telah berontak kepada Tuhan. Satu-satunya cara untuk manusia terlepas dari murka Tuhan karena dosanya adalah dengan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamatnya dan mengakui pemberontakannya. Kita juga harus berani mengatakan dan percaya bahwa segala kejadian yang ditulis didalam Firman Tuhan adalah benar, dan pernah terjadi didalam dimensi ruang dan waktu.

Setelah kita memiliki dasar yang kuat akan doktrin yang bersuara, maka kita harus menjalaninya. Kita harus memperlihatkan pada orang lain baik didalam maupun diluar ICF bila kita benar benar serius dalam memegang kebenaran disegala aspek hidup kita (sekolah, integritas, hubungan dengan teman, berkomunitas didalam ICF dll).

Inilah yang harus kita pegang teguh, yaitu doktrin yang bersuara. Tentu saja harganya sangat mahal, dan apabila kita harus menangis, kita harus tetap memegang kebenaran secara antitesis, dan tetap memegangnya di tengah “market place”. Karena tanpa memegang kebenaran ini, maka kita sedang membangun ICF di atas pasir.

Jawaban yang jujur untuk pertanyaan yang jujur

KeKristenan adalah kebenaran, kebenaran yang Tuhan beritahukan lewat FirmanNya. Bila kita yakin akan kebenaran akan Firman Tuhan maka kita dapat menjawab pertanyaan dari orang yang membutuhkan jawaban.

Didalam Alkitab, kita tidak mengenal yang namanya dikotomi antara intelektual dan kerohanian. Tuhan menciptakan manusia secara utuh, dan secara utuh pula Kristus telah menebus manusia. Setelah kita mengakui keTuhanan Kristus didalam hidup kita, maka segala kerohanian, intelektual, kreativitas, kebudayaan, termasuk hukum, ekonomi, sosial, dll ada dibawah Kristus. Bila keKristenan adalah kebenaran seperti yang Firman Tuhan katakan, maka kebenaran itu harus menyentuh segala aspek hidup manusia.

Tidak terlepas juga, seorang Kristen dalam hal ini kita yang ada didalam ICF, harus memiliki hati yang berbelas kasihan kepada generasi kita yang terhilang dan memberikan jawaban atas dilema mereka. Memberikan jawaban yang jujur adalah pekerjaan yang sangat sulit, tapi kita harus mencobanya. Dimulai dengan mendengarkan dengan sepenuh hati dan berbelas kasihan atas pertanyaan yang diajukan generasi kita.

Kerohanian yang sejati

Kerohanian yang sejati kita temukan ketika kita memegang tangan Tuhan setiap saat didalam hidup kita. Kerohanian yang sejati adalah ketika kita mempersilahkan Roh Kudus untuk bekerja didalam kita, dan membentuk kita dari dalam ke luar secara ajaib.

Ketika seorang Kristen tidak lagi percaya kepada hal-hal yang spiritual, dan tidak lagi percaya Tuhan yang bekerja didalam alam Roh, maka sebenarnya orang itu tidak lagi menjadikan Kristus sebagai Tuhan didalam hidupnya. Dalam hal ini, doa dan iman harus menjadi pengharapan dan kekuatan kita ketika kita melayani Tuhan didalam ICF. Kita yakin didalam doa kita, Tuhan mampu untuk membantu kita secara ajaib dalam menjalani tantangan kita yang terlihat berat dan penuh dengan penderitaan.

Keindahan didalam hubungan dengan sesama

Kristen adalah orang-orang yang mengerti siapakah manusia itu. Manusia modern sekarang berada didalam sebuah dilema karena mereka tidak mengetahui perbedaan secara kualitas antara manusia dan bukan manusia. Ketika kita mengatakan manusia unik karena diciptakan sesuai dengan gambaran Tuhan, maka kita harus melihat sesama manusia dengan menggunakan kaca mata Tuhan dan kemudian memperlakukan manusia dengan kehormatannya oleh karena kasih Tuhan.

Kristus mengatakan cintailah sesamamu manusia. Sesama manusia adalah juga orang diluar Kristen. Sesama manusia adalah setiap manusia tanpa peduli suku, ras, warna kulit, pendidikan maupun agamanya. Sebagai seorang Kristen kita dipanggil untuk memperlakukan mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang serupa dengan gambaran dan rupa Tuhan. Apapun hubungan yang ada, singkat maupun lama, kita harus dapat memperlakukan mereka sebagai manusia yang berharga dimata Tuhan.

Waktu kita dipanggil untuk mengasihi sesama kita diluar Kristen seperti kita mengasihi diri kita sendiri, terlebih lagi dengan sesama kita didalam Tuhan. Kita dipanggil untuk mengasihi sesama kita didalam Tuhan sehingga didalamnya tercipta suatu hubungan yang indah yang dapat mencerminkan kasih Tuhan bekerja didalamnya. Bila kita tidak dapat memperlihatkan kasih didalam komunitas Kristen kepada dunia, maka kita sedang menghancurkan kebenaran yang kita pegang.

Jadi, ada empat hal yang diperlukan bila kita mau menjawab kebutuhan manusia, yaitu doktrin yang benar dan bersuara, tanggapan untuk pertanyaan jujur dari generasi kita, berjalan bersama Kristus didalam kerohanian kita secara konsisten, dan terakhir keindahan hubungan dengan sesama manusia.

Francis Schaeffer didalam bukunya “The God who is there”, mengatakan bahwa seorang Kristen dipanggil untuk menolak roh yang datang dari dunia. Tetapi ketika kita mengatakan ini, kita harus mengetahui bahwa roh dunia tidak selalu mengambil bentuk yang sama. Jadi seorang Kristen harus dapat menolak roh dari dunia dalam bentuk yang ada didalam generasinya. Bila seorang Kristen tidak mengetahui dan melakukan hal ini, maka pada hakekatnya ia sama sekali tidak menolak roh dari dunia itu.

Pada akhirnya, berlandaskan dengan pengertian worldview Kristen yang utuh, dan yang selalu bertambah pengertiannya ketika seorang ICF mengundang Roh Kudus untuk bekerja didalam individu masing-masing, maka pencapaian sebuah komunitas yang produktif (productive community) itu tidaklah membingungkan. Dengan worldview Kristen yang utuh itu maka kemudian kita pula juga mampu untuk menelaah arti dari komunitas yang produktif, dimana komunitas yang produktif itu adalah sebuah komunitas yang mampu untuk mencapai bisnis utamanya secara efisien dan efektif tanpa melupakan bahwa sesungguhnya bisnis utama ICF adalah merubah worldview atau lebih kita kenal dengan “transforming worldview”.

Referensi

 (1)               Lewis, C.S., Mere Christianity, Harper Collins., New York, 2001

(2)               Chambers, O., My Utmost for His Highest, Oswald Chambers publication association, 1997

(3)               Schaeffer,  F.A., 25 Basic Bible Studies, Crossway books, Illinois, 1996

(4)               Schaeffer,  F.A., Two Contents and Two Realities, Crossway books, Illinois, 1996

(5)               Schaeffer, F.A.,  The God who is there, Crossway books, Illinois, 1968

(6)               Schaeffer, F.A.,  He is there and he is not silent, Crossway books, Illinois, 1972

(7)               Zacharias, R, Jesus among other gods, sermon, RZIM.org, 2004

(8)               Sproul, R.C., The Consequences of Ideas, Crossway Books, Illinois, 2000

(9)               Sproul, R.C., Essential Truths of the Christian Faith, Tyndale, Illinois, 1992

(10)           Pearcey, N., Total Truth, Crossway Books, Illinois, 2004

(11)           Van Til, C., Foundations of Christian Scholarship, Ross House Books, 1976

 

[i] Behaviorism is a school of psychology that takes the objective evidence of behavior (as measured responses to stimuli) as the only concern of its research and the only basis of its theory without reference to conscious experience.

[ii] Existentialism is a chiefly 20th century philosophical movement embracing diverse doctrines but centering on analysis of individual existence in an unfathomable universe and the plight of the individual who must assume ultimate responsibility for his acts of free will without any certain knowledge of what is right or wrong or good or bad

[iii] reductionism is the attempt to explain all biological processes by the same explanations (as by physical laws) that chemists and physicists use to interpret inanimate matter; also : the theory that complete reductionism is possible

[iv] Pantheism is a doctrine that equates God with the forces and laws of the universe